web page hit counter
Sabtu, 21 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Kami di Sini untuk Penderita Kusta

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COMSeperti Yesus dan kedua belas murid-Nya yang pernah mendapat penolakan ketika mewarta kabar baik, demikian para suster yang merawat penderita kusta di Agats-Asmat.

“MEREKA selalu mengatakan, ini panu, bukan kusta,” ujar penanggung jawab komunitas Kongregasi Puteri Reinha Rosari (PRR) di Agats dan Penanggung Jawab Lapangan Karya Pelayanan Kusta di Mumugu, Keuskupan Agats-Asmat, Suster Maria Florida, PRR saat ditemui di medio Oktober 2022 silam. Suster Flori, sapaan akrabnya, datang ke Kabupaten Asmat, Papua pada 8 September 2020 dan di tanggal 12 September 2020 masuk ke Komunitas PRR Agats.

Dalam liputan Kompas.com “Separuh Penduduk di Kampung ini Mengidap Kusta” yang tayang pada tahun 2013, disebutkan oleh Uskup Agats-Asmat, Mgr. Aloysius Murwito, OFM bahwa laporan kasus kusta di Desa Mumugu sudah ada sejak 2006. “Kami terbelalak ketika Pastor Vince Cole, MM, yang bertugas di Paroki Sawa Erma, mendokumentasikan dan menyerahkan ke Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agats tahun 2011,” sebutnya. Untuk itu, sejak 2011 telah ditempatkan dua pastor di Kampung Mumugu Atas yang kondisinya lebih parah. Kemudian suster Kongregasi PRR yang telah ahli menangani penderita kusta pun didatangkan untuk membantu.

Jalan Terjal Mumugu
Suster Flori pun mengenang perintis pelayanan kusta sebelumnya yang didapuk oleh Suster Maria Dorothea, PRR dan tiga suster lainnya yang dimulai di Desa Mumugu dan Desa Mumugu Dua. “Meskipun kondisi fasilitas umum dan sarana pelayanan waktu itu sangat terbatas, dengan rahmat Tuhan dan dukungan keuskupan lewat Yayasan Alfons Sowada Asmat (YASA) mereka mampu merawat hampir 200 orang penderita kusta,” bebernya.

Suster Maria Florida, PRR saat mengobati penderita kusta dengan luka basah.| Dok.pribadi

Untuk mencapai Mumugu butuh perjuangan yang tidak ringan. Perlu waktu tempuh sekitar 5-10 jam untuk sampai di sana. “Macam kita pakai speed 15pk yang jalan dari pukul 08.00 pagi tiba 08.00 malam. Jika bawa banyak barang seperti beras untuk masyarakat, kami harus pelan- pelan,” tuturnya. Tidak hanya perhitungan beban yang dibawa, tetapi juga kondisi penerangan dan hambatan tak terduga di aliran air.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

“Jika keadaan sangat gelap dan senter tidak bisa, kami akan menginap di salah satu kampung,” ujarnya melanjutkan, “Di jalan itu kan kayu berserakan di dalam sungai, jadi kami harus potong-potong dulu.” Untuk mereka yang baru menjalani medan demikian pasti timbul perasaan was-was. “Pokoknya, kalau sudah di perahu sudah benar-benar pasrah saja. Kehendak Tuhanlah yang terjadi dalam misi ini.”

Dijabarkan Suster Flori, biaya perjalanan tentu menguras kocek. Sekali jalan bisa meraup dana sebesar lima juta rupiah. Ini juga tergantung jenis perahu speed apa yang digunakan sesuai kebutuhan yang diperlukan saat itu. Namun, perjuangan ini terbayar. Ini dialami juga para perintis suster PRR yang sebelumnya belum pernah mendengar nama “Asmat”. Ketika berjumpa dengan masyarakat Asmat di Mumugu, mereka langsung jatuh hati. “Usai melihat mereka, bergetarlah hati dan keinginan kuat untuk melayani mereka, terutama yang terjangkit kusta,” Kisah Suster Flori.

Sebelumnya, para suster ini tinggal di rumah pelayanan kusta. Akibat rumah pelayanan tidak cukup, proses pelayanan pasien juga dilakukan di puskemas dan balai-balai desa. Pelayanan kepada penderita kusta ini dimulai dengan edukasi pentingnya memakan makanan bergizi dan menjaga kebersihan.

Tidak hanya mengobati luka, para suster juga memasakan masakan sehat untuk mereka. Memberi makanan gratis bergizi ini juga sebagai upaya pemantauan gizi dan memastikan para penderita kusta meminum obat yang diberikan sebab mereka harus rutin minum obat selama beberapa bulan tanpa putus. Para suster dengan sabar bersama perawat harus sabar menunggu dan mengecek dengan pasti mereka telah meminum obat yang diberikan.

“Pelayanan ini juga memiliki tantangannya. Kadang kita sudah masak baik tapi mereka mengatakan itu masak untuk babi karena banyak sayur,” terangnya. Akibatnya, tak sedikit suster yang hatinya tersayat karena melihat pasien membuang makanan bahkan melemparnya ke wajah sang suster pemberi makan. “Tidak hanya satu kali saya alami ini,” sebutnya sedih. Meskipun menghadapi situasi tidak mengenakkan itu, para suster sudah datang dengan tekad kuat untuk melayani. “Segala suka dan dukanya kami terima. Kami di sini untuk melayani penderita kusta,” tegasnya lagi.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Jenis Kusta
Kendala lainnya ialah menyakinkan para penderita kusta untuk dirawat. Umumnya, masyarakat yang terjangkit menolak menerima perawatan. Menyiasati hal itu, para suster dan perawat mengadakan kunjungan rumah satu per satu bahkan sampai ke bivak-bivak mereka di hutan yang dalam. Mereka mencari orang yang terjangkit kusta dan memastikan mereka yang sudah menerima obat untuk meminumnya jikalau tidak datang ke balai pengobatan.

“Kunjungan rumah itu kita adakan pemeriksaan ulang pasien berserta keluarga yang ada di dalam rumah,” terangnya, “Kami juga banyak menemukan pasien anak-anak dalam kunjungan itu.” Melakukan door to door pun menuai tantangan. Mengalami penolakan menjadi konsumsi harian kala berkunjung. Pernah Suster Flori diancam akan dikampak salah satu anggota keluarga jika nekat mengobati anggota keluarga yang menderita kusta. Namun, seminggu kemudian ia datang memohon maaf dan minta diberikan obat. “Akhirnya saya terbiasa dengan peristiwa seperti itu,” ungkapnya. Perlahan masyarakat di sana menyadari pentingnya rajin dan rutin meminum obat sesuai anjuran berlaku.

Mengutip laman halodoc.com disebutkan penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (M.leprae), sejenis bakteri yang tumbuh dengan lambat. Penularan kusta bisa melalui kontak kulit yang lama dan erat dengan seseorang yang mengidapnya. Di samping itu, kusta juga bisa ditularkan lewat inhalasi alias menghirup udara saat pengidapnya bersin atau batuk. Alasannya, bakteri penyebab kusta dapat hidup beberapa hari dalam bentuk droplet di udara. Namun, penyakit kusta bukanlah penyakit yang mudah untuk menular sebenarnya. Perlu diketahui, penyakit ini memerlukan waktu inkubasi yang cukup lama, antara 40 hari sampai 40 tahun. Rata-rata seseorang yang terserang bakteri ini membutuhkan 3-5 tahun setelah tertular sampai timbulnya gejala.

Seorang bapa di Mumugu datang ke pos pelayanan kusta untuk mengambil obat rutin yang harus ia minum sesudah menyantap makan siang.| Dok.pribadi

“Setelah kita temukan pasien, kita diagnosa dan karena tidak ada laboratorium pemeriksaan di sini, kita periksa lewat pengamatan fisik,” urai Suster Flori. Dengan telaten, lima tanda fisik utama dalam penderita ia kaji. “Kami lihat apakah ada bercaknya di keseluruh tubuh, di wajahnya apakah masih punya alis mata atau sudah gugur?” Menurutnya, baik kusta PB maupun MB harus diberikan pengobatan tepat waktu agar penderita tidak sampai cacat.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Ia melanjutkan, ada dua jenis kusta, yakni Kusta Pausibasiler (PB) atau Kusta Kering dan Kusta Multibasiler (MB) atau kusta basah. “Kusta PB minum obat selama 6 bulan seperti dapson dan rifampisin sedangkan Kusta MB meminum dapson, rifampisin, hanya ditambahkan clofazimine.”

Bukan Diasingkan
Meskipun medan pelayanannya bersama rekan suster serta perawat dan relawan itu berat, tetapi penghiburan Tuhan selalu ada. Merawat orang kusta di Mumugu bukanlah pengalaman pertama Suster Flori. Satu hal yang paling menyentuh dari pelayanan ini adalah bagaimana masyarakat memperlakukan mereka yang terjangkit kusta.

Berbeda di tempat dulu ia melayani di mana keluarga dan masyarakat cenderung mengasingkan penderita kusta bahkan membiarkan mereka mati pelan- pelan, di Mumugu, tidak ada perlakuan diskriminasi. Baik sehat maupun sakit semuanya dirangkul dengan kasih.

“Saya terkesan di sini tidak ada penolakan dari mereka punya keluarga. Mereka tidak pernah menolak anggota keluarganya yang sakit,” ujarnya dengan mata berlinang. Lanjutnya, “Di tempat lain mereka mengasingkan orang kusta tetapi justru di sini yang katanya jauh dari peradaban, kasih itu bergema kuat.”

Selama melayani di sana, Suster Flori tidak pernah sekali pun melihat lontaran tatapan jijik dari masyarakat Asmat ketika melihat saudara-saudarinya mengidap kusta. Kenyataan ini pun meneguhkan imannya bahwa memang Kristus bersemayam di dalam diri orang yang sederhana. Hal ini seperti yang dikatakan Yesus, “Aku bersyukur kepada-Mu Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil” (Mat.11:25).

Felicia Permata Hanggu dari Agats-Asmat, Papua Selatan

Telah terbit di Majalah HIDUP edisi 32 Tanggal Terbit 11 Agustus 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles