HIDUPKATOLIK.COM – Setiap kunjungan Paus tentu tidak saja sekedar sebagai kunjungan pastoral, namun kunjungan tersebut memiliki muatan politis, sebab kunjungan tersebut adalah pula kunjungan kenegaraan. Yohanes Paulus II sendiri di depan para tokoh-tokoh agama menyebutkan bahwa kunjungannya memang tidak terbatas hanya pada kalangan Katolik saja. Apalagi di tengah kenyataan keberagaman kepercayaan di Indonesia tentu perjumpaan yang meluas semakin menjadi relevan, juga bagi umat Katolik di Indonesia.
Di depan Presiden Soeharto, Paus memperkenalkan dirinya sebagai sahabat semua rakyat Indonesia. Tentu seorang sahabat baik tidak saja hanya memuji, namun pula memberi kritik ataupun dorongan demi semakin baiknya sahabatnya. Di depan Presiden Paus menyinggung soal hak asasi dan hak politik warga yang berakar pada penghargaan serta toleransi bagi kesatuan bangsa. Tentu catatan dan pesan ini bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Indonesia tidak akan maju tanpa penghargaan akan hak asasi warga. Apalagi di Dili, Yohanes Paulus II menyebut tentang jatuhnya kurban akibat dari konflik dan kebencian. Banyak orang yang tak bersalah menjadi kurban. Situasi tersebut mendatangkan persoalan ekonomi, selain persoalan sosial dan politik. Hanya dengan penghargaan akan hak hidup dan hak asasi, maka kehidupan yang lebih baik bisa terbangun.
Indonesia sendiri digambarkan oleh Paus sebagai negeri dengan banyak kekayaan: kepercayaan, budaya, bahasa dan etnis. Dan semua itu disatukan dalam satu prinsip pemersatu, yaitu Pancasila. Pancasila baginya mengingatkan bahwa landasan kokoh bagi kesatuan bangsa adalah penghargaan akan semua: menghargai pandangan yang berbeda, kebiasaan, nilai dan bahkan berbagai keterkaitan yang berbeda. Diakuinya semua ini ditapaki dengan tidak mudah, karena sering diabaikan ataupun disalaharahkan, seakan kesatuan politis hanya didasarkan pada kekuasaan militer atau ekonomi belaka. Dasar yang paling aman dan meyakinkan akan kesatuan dan pembangunan adalah penghargaan akan kehidupan manusia, yang ditandai antara lain dengan kebebasan warga yang bertanggungjawab. Paus Yohanes Paulus II mengatakan ini di depan Presiden Soeharto. Respek akan pribadi manusia merupakan sesuatu yang hakiki tidak saja dalam ajaran sosial Gereja namun pula dalam nilai serta ajaran semua agama dan tradisi. Hal itu akan membangun harmoni kehidupan bersama yang indah.
Dalam upaya menumbuhkan dan menyatukan kehidupan berbangsa yang sehat, Paus menyebutkan peran positif umat Katolik, terlebih di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial. Tentu semuanya itu dijalankan dalam kerjasama dengan sesama warga lain, di tengah keberagaman perbedaan yang ada, dalam keselarasan dengan segala harapan dan aspirasi mereka. Dalam tradisi Gereja memang dikenal dengan sebutan semua orang yang berkehendak baik, dan itulah rekan perjalanan dalam kerjasama umat Katolik dalam membangun dunia kehidupan yang lebih baik. Sebagai umat Katolik keterlibatan tersebut dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Katolik, yang mendorong bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang adil dan damai.
Prinsip Pro Ecclesia et Patria: sepenuhnya menjadi Katolik sekaligus sepenuhnya menjadi warga negara Indonesia, diakui Yohanes Paulus II telah cukup menjadi penanda penting bagi banyak umat Katolik, yang menandai dirinya sejak dari perjuangan kemerdekaan hingga kini. Prinsip tersebut sesuai dengan tradisi Gereja tdak bisa dilepaskan dari kewajiban moral umat Katolik akan kasih kepada sesama. Mereka yang sadar akan kasih kepada Allah tahu pula bahwa mereka memiliki tanggungjawab untuk terlibat aktif dalam ikut membangun masyarakat yang semakin adil dan manusiawi. Tentu agar semua ini dapat berjalan dengan baik dibutuhkan adanya fondasi kokoh, antara lain kebebasan beragama.
Dialog adalah jalan untuk membangun kehidupan bersama. Di depan para tokoh agama, Paus menyebut empat langkah dialog: dialog kehidupan, dialog tindakan, dialog teologis dan dialog pengalaman-pengalaman religius. Keempat jalan dialog tersebut telah lama diajarkan dan didorongkan oleh Gereja. Tentu dialog tidak akan terwujud kalau orang mengkompromikan kebenaran, sebab kebenaran itu sendiri yang merupakan landasan bagi dialog. Pembangunan kehidupan umat manusia berakar pada landasan kebenaran iman akan Allah, dan itulah pewartaan iman yang dibawa oleh agama-agama. Tentu jalan dialog tidak pernah senantiasa mudah.
Oleh karena itu, Yohanes Paulus II menyerukan pula tentang penyembuhan luka dan rekonsiliasi. Tentu hal tersebut terutama dikatakannya di Dili. Entah seberapa pun luka dan penderitaannya, entah seperti apapun perbedaan yang ada, kita diajak untuk saling mengampuni dan membangun langkah baru. Di sini ada peran penting perjumpaan dan dialog yang melibatkan semakin luas kalangan, juga di kalangan para intelektual maupun para pelaku kebudayaan. Mereka ini berada dalam simpangjalan kehidupan dan refleksi: titik ruang perjumpaan untuk mempertimbangkan berbagai hal yang berguna bagi kehidupan bersama.
Menurut Yohanes Paulus II salah satu tantangan mendasar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana membangun masyarakat yang harmonis di tengah berbagai keberagaman yang ada. Tantangan tersebut merupakan sumber bagi harapan akan masa depan yang lebih baik. Memang semua warga negara didorongnya agar selalu berupaya terlibat dalam membangun masyarakat serta bangsa yang lebih baik bagi setiap warganya. Hal tersebut merupakan wujud tanggungjawab sebagai umat beriman pula. Tantangan diberikan, sekarang bagaimana kita menanggapinya, dan setelah lebih dari 30 tahun Paus berkunjungan ke Indonesia, apakah harapan tersebut akan Indonesia yang lebih baik sudah terwujud dan apakah tantangan tersebut ditanggapi. Tampaknya, kita masih harus terus mengupayakan semua itu, karena hidup kita masih banyak persoalan yang menghadang.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, Tinggal di Girisonta, Jawa Tengah