HIDUPKATOLIK.COM – JEFFREYJ A. Krames (59), pengarang Amerika masalah kepemimpinan menulis antara lain buku Lead with Humility, 12 Leadership Lessons from Pope Francis, terbit 2015. Dia mencatat satu khotbah dalam misa perayaan St. Yusuf, suami Bunda Maria yang disampaikan Paus Fransiskus tentang sikap melayani dengan rendah hati.
Menurut Paus Fransiskus, kekuasaan yang sesungguhnya adalah melayani. Seorang Paus pun ketika berkarya harus masuk lebih total dalam kehendak melayani; membiarkan dirinya diinspirasi pelayanan yang rendah hati, konkret, dan setia. Seorang pemimpin harus membuka tangannya untuk melindungi, merangkul semua orang dengan kasih sayang dan kelembutan, terutama mereka yang sangat miskin, dan kurang diperhatikan.
Dalam jumpa pers pertama dengan 6.000 jurnalis di Aula Paulus VI, Vatikan — tiga hari setelah terpilih — Paus Fransiskus menyampaikan, ingin menjadikan Gereja yang bertransformasi menjadi Gereja yang sederhana, hadir untuk orang miskin.
Paus juga menyampaikan, ketika sudah terpilih dan seusai berdoa di Kamar Air Mata, ia duduk berdampingan dengan Kardinal Claudio Humes dari Sao Paulo yang mengucapkan selamat dan berbisik “jangan lupa orang miskin”. Bisikan ini diingatnya terus ketika memikirkan nama baru kepausannya.
Terinspirasi nama Santo Fransiskus dari Asisi yang dia inginkan sebagai referensi dan panutan kegembalaannya. Yakni, Gereja yang miskin, dekat dengan orang kecil, berdialog dengan agama-agama lain, dan menjaga integritas lingkungan. Payung besar deskripsinya: sederhana dan cinta damai.
Lesson, lebih tepatnya petunjuk kepemimpinan Paus Fransiskus ini oleh Krames ditempatkan dalam urutan pertama Lead with Humility. Paus Fransiskus menggarisbawahi keyakinannya sejak sebelum jadi paus. “Kalau kita bisa mengembangkan sikap rendah hati yang benar, kita dapat mengubah dunia”. Tulis seorang wartawan, kerendahan hati Paus Fransiskus sudah melegenda. Untuk pertama kali dalam sejarah kepausan, ketika dinyatakan terpilih dan menyatakan “saya menerima”, Paus Fransiskus berdiri sejajar dengan tempat duduk para kardinal yang baru saja memilihnya. Ia menyalami dan berkeliling menyapa para kardinal, bukannya duduk manis di kursi menerima ucapan selamat.
Dalam lesson kedua, Paus Fransiskus secara direktif menyebutkan seorang pemimpin harus berbau domba gembalaannya. Bergelut melekat dengan kelompok masyarakat yang dipimpin dan memberi inspirasi. Berdialog dengan serius dan bijak, tanpa rasa takut. Sedangkan di nomor kelima lesson-nya, Paus menegaskan sikap inklusivitas sebagai prioritas. Gereja adalah rumah bersama. Gereja bukanlah sebuah kapel yang memusatkan diri pada doktrin, ortodoksi dan terbatas agenda ajaran moral. Tujuan utamanya, jangan membiarkan seseorang tertinggal di belakang. Di lesson kesembilan, Paus mengingatkan, Gereja ibarat rumah sakit di medan perang. Yang dibutuhkan adalah kesembuhan yang luka dan memberikan penghiburan, dan karena itu perlu kedekatan hati dan kepedulian.
Mengutip sepintas empat lessons leadership dari antara 12 lessons Paus Fransiskus versi Krames, ke-12 lessons itu tidak berangkat dari spekulasi akademis-intelektual, tetapi dari pengalaman bertahun-tahun yang sudah dia jalani jauh sebelum sebagai Paus. Paus menjalani karya pelayanan apostolik dan kepemimpinan politiknya sebagai bagian utuh dari sosok-pribadinya. Terwujud dalam sikap dan tindakan rendah hati, inklusif, mendahulukan orang miskin dan terpinggirkan, dialogis, cinta damai.
Magisterium dalam Tiga Ensiklik
Oleh karena itu, dalam ucapan, tindakan dan magisterium kegembalaan Paus Fransiskus, selalu menonjol keutamaan ini dia tegaskan sebagai acuan seorang Kristen. Beberapa peristiwa mengentak dia lakukan, di antaranya saat pertama keluar dari tembok Vatikan, tempat yang dia kunjungi adalah rumah sakit yang menampung penderita kusta dan lepra; ketika merayakan suatu Misa Perjamuan Terakhir, Kamis Putih dia mencuci kaki para napi termasuk napi perempuan.
Kerendahan hati seperti dikatakannya mengubah dunia, sudah dia tunjukkan di awal kepausan ketika menjawab pertanyaan “siapakah Jorge Bergoglio” yang dijawabnya “saya seorang pendosa.” Pada sore harinya ketika tampil di depan ratusan ribu umat, dia memohon umat mendoakannya, “pergate per me ….berdoalah untuk saya”.
Dalam Ensiklik Pertama Lumen Fidei (Terang Iman) 29 Juni 2013, Paus Fransiskus melanjutkan seruan Tahun Iman yang dicanangkan Paus Benediktus XVI. Tahun iman merupakan kesinambungan dengan semua yang telah diajarkan Gereja tentang keutamaan teologis, melengkapi apa yang ditulis Paus Benediktus XVI yang hampir selesai. Paus Fransiskus menambahkan, iman, harapan dan kasih merupakan daya penggerak kehidupan orang Kristen sehingga mengarah secara penuh dengan Allah. Itulah cahaya hidup kita.
Ensiklik Kedua Laudato Si’ (Terpujilah Engkau), 24 Mei 2015, menunjukkan keprihatinan Paus Fransiskus tentang keserakahan manusia terhadap alam. Menyambung Ajaran Sosial Gereja tentang makin mendesaknya tantangan, Paus menunjukkan beberapa aspek krisis ekologi. Diingatkan mulai dari yang paling dekat seperti polusi, limbah dan budaya membuang hingga keserakahan manusia dalam merusak alam lingkungan. Ensiklik yang dikembangkan dari syair Santo Fransiskus Asisi, Gita Sang Surya –alam sebagai sebuah alkitab yang sangat indah–, ini menarik perhatian banyak pimpinan pemerintahan dunia, menjadi pemantik yang mengingatkan pengrusakan alam atas nama tidak lagi survival kehidupan tetapi keserakahan. Laudato Si’ adalah peletak dasar kesadaran tentang penyelamatan lingkungan dan alam semesta.
Ensiklik Ketiga Fratelli Tutti (Saudara Sekalian), 3 Oktober 2020 berbicara tentang persaudaraan dan persahabatan sosial; penjabaran terpadu topik-topik Ajaran Sosial Gereja, mengingatkan persaudaran dan persahabatan sebagai hakikat ciptaan Tuhan. Dia tegaskan kembali tentang ketidaksetujuan Gereja pada hukuman mati.
Di Bab Delapan ensiklik ini, Paus Fransiskus menyerukan hendaknya agama-agama melayani persaudaraan dunia. Harus diakui, “di antara penyebab utama krisis dunia modern adalah ketidakpekaan hati nurani manusia…”. Tentang persaudaraan universal ini, dia garisbawahi “menerima budaya dialog sebagai jalan, kerja sama timbal balik sebagai kode etik, saling pengertian sebagai metode dan kriteria”.
Cinta Perdamaian
Dengan ensiklik-ensiklik awal kepausannya, Paus Fransiskus menyatakan amanat untuk umat Kristiani, begitu juga seruan apostolik, sikap dan komitmen juga dilakukan lewat berbagai pertemuan dan dialog dengan pimpinan pemerintahan, termasuk ketika melakukan kunjungan-kunjungan apostolik. Kasus-kasus konflik yang terjadi di Iran, Irak, Ukraina vs Rusia, Hamas vs Israel, juga konflik antara Palestina vs Israel masalah Timur Tengah yang tidak pernah berhenti, menjadi perhatian besarnya.
Tercatat di antaranya, belum satu tahun sebagai Paus, Fransiskus terlibat dalam sebuah pertemuan internasional perdamaian 13 September 2013. Pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, bersama Imam Besar al-Azhar at-Thayeb menandatangani dokumen, keprihatinan bersama dan refleksi teologis dalam bahasa dialogis. Dokumen itu mengajak umat Muslim dan Kristiani berpijak pada iman kepada Allah yang bermuara pada tindakan nyata demi kemanusiaan, bergerak bersama membantu korban perang, pengungsi, perempuan, dll. Sebuah teologi publik karena berangkat dari keprihatinan bersama yang nyata.
Pada 8 Juni 2014, Paus Fransiskus mengundang Simon Peres dari Israel dan Mahmoud Abas dari Palestina menyelenggarakan Doa Perdamaian fokus konflik Israel vs Palestina dan konflik di benua lain. Mereka bertiga menandai peristiwa itu dengan menanam pohon zaitun. Pada 7 Juni 2024, Paus Fransiskus di lokasi penanaman pohon zaitun itu, mengundang Dubes Palestina untuk Vatikan Issa Kassissieh dan Dubes Israel untuk Vatikan Raphael Schutz memperingati 10 tahun Doa Perdamaian di tempat yang sama. Acara berlangsung di tengah perang di Gaza yang terus berkobar, termasuk keinginan dunia agar dilakukan gencata permanen di sana, dan ultimatum PBB Israel sebagai penjahat perangk. Dalam peperangan, yang paling menderita adalah warga dan masyarakat sekitarnya. Paus mengimbau kembali gencatan senjata, semua sandera dibebaskan, Israel dan Palestina bisa hidup berdampingan.
Menjadi hamba, berbau domba gembalaan, terlihat pada sikap dan tindakan nyata rendah hati, dan kecintaannya pada hidup bersama yang damai membuahkan kegembalaan Paus Fransiskus pada sikap prihatin serta seruan tentang awal kehancuran universal adalah keserakahan dan peperangan.
St. Sularto
Wartawan Senior