HIDUPKATOLIK.COM – Paus pertama yang berkunjung ke Indonesia adalah Paus Paulus VI, dalam lawatan panjang ke kawasan timur jauh, Iran, Pakistan, Filipina, Srilangka, Samoa dan Australia juga. Kunjungan ke Indonesia tersebut tidak penuh satu hari, tanggal 3 Desember 1970. Betapapun demikian, acaranya padat, selain misa akbar di stadion, pertemuan dengan presiden Soeharto, namun juga pertemuan dengan para pimpinan Gereja serta tokoh awam. Tentu tidak mudah mengatur suatu kunjungan resmi dengan berbagai agenda dalam jangka waktu satu hari.
Paus Paulus VI mengatakan bahwa kunjungan yang dilakukannya ini sebenarnya berangkat dari motif dan dorongan yang sama dengan para misionaris yang dahulu datang ke Indonesia, yaitu iman akan Yesus Kristus. Terkait dengan hal ini secara khusus Paulus VI menyinggung tentang misionaris besar yang pernah datang ke Indonesia, Fransiskus Xaverius.
Bagi Paus, Xaverius datang tidak berbekalkan ambisi politis, menjarah kekayaan atau ketenaran atau penghormatan karena menemukan menemukan hal-hal baru, serta kemudian mewartakannya kemana-mana. Dia datang karena ingin berbuat baik, sebisa mungkin mengerjakan hal-hal yang terbaik bagi sesama yang didatanginya, sebab dia tahu hal itulah yang dikehendaki Tuhan baginya.
Belajar dari sini Paus mengajak kita untuk berupaya serupa, dengan segala keterbatasan yang ada pada diri kita, untuk bekerja bagi semakin baiknya kehidupan sesama. Sehingga kerajaan kedamaian dan kemenangan keadilan terwujud.
Menjadi Gereja yang misioner ditegaskannya dibangun dengan mengenakan cara bertindak berdialog. Kita mengetahui bahwa Paus Paulus VI, terutama lewat ensiklik pertamanya, Ecclesia Suam, menegaskan bahwa dialog adalah jalan yang ditempuh oleh Gereja saat ini. Gereja harus masuk melalui pintu dialog dalam mengemban tugas perutusannya , terlebih dengan berdialog dengan realitas nyata dunia tempat Gereja ada. Yang dimaksudkan dengan ini adalah melangkah untuk mengenakan kebiasaan dan tradisi setempat dalam menghidupi imannya.
Baginya, hal ini penting dan mendesak dilakukan, apalagi di tengah terpaan kritik bahwa Gereja Katolik tidak jarang lebih berwajah dan berwarna Eropa, daripada warna dan wajah Gereja Indonesia. Baru hadir sebagai Gereja di Indonesia, belum melangkah untuk menjadi Gereja Indonesia.
Perlu kita ketahui bahwa pada saat itu istilah inkulturasi belumlah populer dan biasa digunakan, betapapun istilah tersebut sudah sempat muncul di tengah-tengah hari-hari terakhir konsili Vatikan II. P
Perdebatan akan hal itu masih berlanjut, namun istilah inkulturasi belum menjadi istilah kepekatan mayoritas kalangan Gereja. Memang istilah inkulturasi pada awalnya lebih kuat bergema di kawasan daerah-daerah yang masih disebut sebagai daerah misi, seperti Indonesia. Tidak jarang sesuatu yang dipandang baru, apalagi datang dari kawasan pinggiran secara ekonomis, politis dan geografis, malahan juga secara ekklesial, akibat dominannya warna barat dalam tubuh Gereja, kurang mendapatkan sambutan kuat.
Paulus VI memuji upaya untuk itu, menjadi Gereja Indonesia. Para misionaris telah merintis hal itu, dan kini saatnya Gereja di Indonesia melanjutkan terus upaya tersebut. Janganlah Gereja Katolik dipandang sebagai sesuatu yang asing di antara masyarakat tempat dia berada. Antara lain yang disebutkannya sebagai buahnya adalah keterlibatan yang luas dan positif dalam kancah kehidupan berbangsa, yang dibuat oleh berbagai kalangan umat Katolik.
Hal ini tentu bisa terwujud karena relatif baik lah ruang kebebasan beragama dan juga keterlibatan sosial bagi kawanan minoritas kecil umat Katolik di Indonesia. Di tengah kawanan pulau-pulau yang tersebar dan indah, hendaknya umat Katolik yang tersebar-sebar ikut membangun keindahan dunia kehidupan di Indonesia, demikian Paus menyerukannya. Tentu untuk itu perlu umat Katolik memegang sungguh nilai-nilai serta prinsip yang diajarkan serta dihidupi oleh Gereja.
Yesus Kristus datang untuk memberi pertumbuhan pada benih-benih yang telah disebarkannya dalam hati setiap orang, di tengah kenyataan budaya dan cara hidupnya yang khas. Dia ambil bagian dalam realitas nyata kehidupan kita, malahan menjadikan diri-Nya sebagai bagian dari dunia pada saat itu, berbicara dalam bahasa negeri itu, dan mengambil kisah dari kondisi serta kenyataan kehidupan setempat saat memberi contoh ilustratif dalam mengajarkan tentang keadilan, harapan, kebenaran serta kasih.
Tidak mengherankanlah kalau ajaran-Nya dapat tersebar sampai segala penjuru dunia, mengadaptasikan diri dalam pengungkapannya dengan segala bahasa, tradisi maupun peradaban. Hal itu dirangkumkan Paulus VI sebagai wajah Gereja yang terus berdialog dalam rangka mewujudkan diri menjadi Gereja setempat.
Semua ini masih terus menjadi pekerjaan rumah dan tugas penting yang dihadapi oleh Gereja Katolik di Indonesia. Menjadi Gereja setempat sehingga Gereja di Indonesia dapat semakin menjadi Gereja Indonesia, inilah gerak misioner bagi kita hingga saat ini. Proses ini panjang, namun perlu dengan tekun dan setia dijalani. Paus Paulus VI telah memberikan tantangannya, selanjutnya lalu bagaimana kita, sejauh mana kita membangun dan menghidupi diri sebagai Gereja Indonesia.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, tinggal di Girisonta, Jawa Tengah