HIDUPKATOLIK.COM – PAUS Fransiskus pada 7 Juli 2024 berkunjung ke Trieste, Italia, dalam rangka perayaan ke-50 “Minggu Ajaran Sosial”. Saat memberi sambutannya Paus mengeluhkan tentang demokrasi kita ini yang sedang sakit. Demokrasi saat ini sedang mengalami krisis. Partisipasi dalam pengambilan keputusan semakin dibatasi, penyingkiran sebagai akibat budaya membuang semakin mudah ditemukan. Selain itu, korupsi maupun penyelewengan hukum seakan menjadi santapan yang terlihat kasat mata. Kekuasaan semakin berpusat pada diri, mengacu pada kepentingan diri (self-referential). Penguasa lupa bahwa sebuah pemerintahan akan sungguh layak disebut demokratis kalau melayani kemanusiaan.
Tidak hanya sekali Paus bicara soal kritik atas kondisi sosial-politik dunia. Malahan dalam Fratelli Tutti, maupun Laudato Sí dan Laudate Deum, dia memberi kritik keras akan para elit politik dan ekonomi yang lebih cenderung merusak, daripada memulihkan bumi dan dunia kehidupan yang retak ini.
Dalam Evangelii Gaudium yang berbicara tentang evangelisasi, dia menyinggung juga soal ini. Demikian pula ketika berbicara tentang orang muda dalam Christus Vivit dan keluarga dalam Amoris Laetitia, Paus menyinggung pula persoalan realitas ekonomi dan politik yang ikut memperparah kondisi hidup keluarga maupun kaum muda. Dunia kita memang sedang mengalami krisis, dan dalam beberapa hal krisis ini akan semakin memperparah dunia kehidupan.
Wajah Dunia Politik
Demokrasi janganlah dipersempit sekadar sebagai pemungutan suara. Demokrasi hendaknya lebih ditempatkan sebagai terciptanya kondisi yang memungkinkan bagi setiap orang untuk mengungkapkan diri dan terlibat.
Maka Paus pun mengungkapkan kalau parsipasi warga hanyalah kecil, bisa jadi hal itu karena memang ruang demokratis sempit sehingga orang tidak menemukan manfaat ataupun dampak dari keterlibatan tersebut.
Dibayangkan di sini seolah-olah ada demokrasi, namun semuanya ditentukan oleh kelompok tertentu belaka. Tidak terjalin dialog, dan kalau pun ada pertemuan hanyalah monolog. Politik tanpa partisipasi menyeluruh tidak akan menyentuh hati, tidak akan membangun persaudaraan.
Dalam sebuah wawancara, Fransiskus mencemaskan akan fenomen yang disebutnya menyebar: ketidaksanggupan untuk merasa bersalah. Di balik ini menurutnya tersimpan pula ambisi akan karier (ambitious climbers), yang menjadikan orang kehilangan kemanusiaan dan daya kebijaksanaan.
Pemimpin merasa apa yang dipikirkan dan diputuskan selalu benar, akibatnya tidak peka akan suara-suara yang berbeda. Dia lalu mengatakan agar para penguasa jangan hanya mendengarkan orang-orang di sekitarnya, namun mau merendahkan diri untuk melihat realitas yang menyeluruh. Dia mengajak para penguasa untuk mengenal dan menyentuh realitas, menjauhkan diri dari kesombongan.
Dikeluhkan oleh Paus bahwa nyatanya sering berbagai kebijakan politik dibuat dengan menghasilkan kesenjangan sosial-ekonomi yang lebih tajam, kerusakan lingkungan alam yang lebih parah maupun perang.
Pemimpin politik lebih sibuk melayani dirinya maupun kepentingannya, sehingga tidak mau mendengarkan suara anggota masyarakat, dan tidak membuka ruang dialog terbuka maupun kerjasama yang melibatkan semakin banyak pihak, melayani semakin banyak pihak.
Kewajiban untuk melayani ini merupakan sesuatu yang melekat pada kekuasaan, semakin tinggi kekuasaan semakin besar pula tanggungjawab akan pelayanan itu. Maka menjadi politisi dan pelayan publik ditegaskan Paus sebagai panggilan.
Dalam Fratelli Tutti, Fransiskus melontarkan keluhan akan tendensi populisme, yang menggunakan jargon-jargon populer hanya untuk kepentingan sendiri, dan liberalisme politik, yang hanya melayani kepentingan ekonomi mereka yang berkuasa. Dalam populisme perhatian ataupun pelayanan kepada masyarakat dijalankan dengan memanfaatkan secara politis kultur rakyat bagi keuntungan personalnya atau untuk terus mencengkeram kekuasaan. Mereka mencari popularitas dengan menarik kecenderungan paling dasar dan paling egois dari warga tertentu, yang bahkan dengan menginjak institusi dan hukum.
Mereka memakai kata “rakyat” namun bukan rakyat yang sesungguhnya. Mereka lebih memberi perhatian pada keuntungan jangka pendek, sekedar untuk mendapatkan suara atau dukungan, namun tanpa mementingkan usaha demi kepentingan umum.
Sementara pendekatan liberal cenderung memandang masyarakat hanya sekedar dari sudut kepentingan. Pendekatan membayangkan suatu dunia yang mengikuti suatu tatanan yang telah ditetapkan dan dengan sendiri memastikan suatu masa depan yang indah dan menyediakan solusi dari setiap persoalan.
Walaupun pasar, dari dirinya sendiri, tidak dapat memecahkan setiap persoalan, akan tetapi semakin kita diminta untuk mempercayai dogma keyakinan neoliberal ini. Pendekatan ini memunculkan kembali teori “tetesan ke bawah”, sebagai solusi akan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Teori ini oleh Paus dalam Evangelii Gaudium dikritik, sebagai sesuatu yang fiktif dan manipulatif, yang nyatanya lebih memperbesar kesenjangan dan ketidakadilan.
Menata Tata Politik
Politik berbicara tentang mewujudkan kesejahteraan dan kepentingan umum. Oleh karena itu perlu senantiasa mewujudkan prinsip solidaritas serta subsidiaritas. Dengan mengatakan demikian Paus menegaskan ditegakkannya prinsip-prinsip etis dan moral dalam dunia politik.
Politik yang tidak bermoral, akan lebih menghasilkan kerusakan. Hal tersebut terlihat dari rusaknya lingkungan, kesenjangan dan ketidakadilan serta peminggiran orang miskin dan masyarakat adat setempat.
Politik yang baik menurut Fransiskus adalah politik yang berwawasan luas, yang karenanya tidak meminggirkan mereka yang lemah dan tidak menghabiskan waktu hanya untuk yang sementara belaka. atau terjebak dalam perdebatan yang tiada guna.
Politik seperti itu akan cepat bertindak kalau ada seseorang yang tertinggal di belakang, tidak hanya memikirkan mereka yang sudah melaju di depan.
Pengalaman pandemi sebenarnya, menurutnya, memberi kesempatan bagi penataan demokrasi dan kehidupan politik yang lebih baik. Pandemi mengajak kita untuk merancang suatu tata dunia baru, demikian kalau kita mau belajar dari pengalaman ini.
Kalau kita mau menjadi orang yang lebih baik, membangun dunia yang lebih baik, maka kita perlu mengevaluasi segalanya, menganalisa situasi dramatis yang terjadi dan menyusun langkah membangun hidup baru. Fransiskus menengarai adanya suatu konsep yang salah tentang manusia, antroposentrisme yang arogan, yang lebih menghasilkan kerusakan.
Namung sayang kita tidak belajar dari krisis, malahan mengundang krisis lebih lanjut. Paus menyebutkan virus yang lebih berat daripada virus Covid-19, adalah virus egoisme, sikap tidak peduli karena berpusat pada diri sendiri dan kelompoknya.
Tidak jarang malahan keputusan-keputusan politik dan ekonomi yang dibuat masih berpusat pada keuntungan serta kepentingan diri dan kelompoknya, bukan kepentingan masyarakat serta kesejahteraan umum. Rakyat tidak menjadi prioritas para pemimpin politik. Dunia kita tidak makin membaik, maka demokrasi pun tidak keluar dari krisis.
Para pemimpin politik dan masyarakat dipanggil untuk bekerja membamgun masyarakat serta dunia yang lebih baik, lebih damai, lebih adil dan sejahtera, terlebih bagi generasi mendatang. Kita tidak bisa selamat sendiri, kita tidak bisa hanya mementingkan diri atau kelompok sendiri. Mengejar kemajuan sementara tapi meminggirkan sesama, bukanlah suatu politik yang baik.
Maka menurut Paus tata dunia semakin perlu diubah agar makin mengarahkan pada kesejahteraan umum. Bila demikian, kehidupan demokrasi kita pun perlu diperbaiki.
Kita jadi ingat akan salah satu kata-kata Mgr. Albertus Soegijapranata,SJ uskup pribumi pertama, apa artinya merdeka kalau kita belum bisa mendidik diri sendiri. Kemerdekaan adalah pintu masuk bagi terbangunnya kehidupan yang mementingkan kesejahteraan umum. Demokrasi harus diperjuangkan dan dimurnikan demi kepentingan tersebut.
Pastor Dr. T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, tinggal di Girisonta, Jawa Tengah