HIDUPKATOLIK.COM – SEJAK terpilih di tahun 2013, Paus Fransiskus telah berkunjung ke 59 negara, di luar Italia. Seluruh kawasan dunia telah dikunjunginya, mulai dari Eropa, Afrika, Amerika Utara dan Selatan, Australia dan Asia.
Kunjungan di bulan September ini (3-6/9) dikatakan sebagai kunjungan dengan bentangan geografis yang paling jauh: terbentang dari Singapura hingga Papua Nugini. Namun menarik kalau menyimak, bahwa hingga kini Paus belum pernah berkunjungan ke negara asalnya: Argentina.
Salah satu intensi kunjungan Paus ke berbagai negara, selain alasan kedudukannya sebagai kepala negara, juga adalah mewujudnyatakan peran penggembalaan pastoral kepada umat di belahan negara yang dikunjungi, menunjukkan solidaritas atas pergulatan dan perjuangan mereka, serta juga menyatakan dukungan moral dan spiritualnya.
Maka senantisa dikatakan bahwa dalam setiap kunjungan Paus ke berbagai belahan dunia, termuat nuansa dasar sebagai kunjungan pastoral. Oleh karena itu selain ada sisi diplomatik, namun terlebih sisi perutusan Gereja, yang menunjukkan pula ikatan persaudaraan serta kesatuan dalam tubuh Gereja, antara Gereja setempat dengan gembala utamanya.
Maka setiap kunjungan Paus selalu menyita perhatian tidak saja kalangan Gereja namun pula kalangan luas di luar Gereja. Bahkan ada beberapa kunjungan yang menyita perhatian internasional, seperti kunjungan ke Markas Besar PBB maupun ke berbagai kawasan konflik: Irak, Israel-Palestina, Afrika Tengah, Sudan. Tidak hanya itu kunjungan Paus juga menjadi perhatian dan memberi dampak dalam konteks dialog agama, seperti kunjungan ke Mesir, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kazakhstan bahkan saat berkunjung ke Thailand, Myanmar, Jepang, Bangladesh dan Mongolia. Kunjungan ke Indonesia pun diharapkan memiliki dampak meluas.
Satu kunjungan, beragam tema
Kunjungan Paus ke setiap negara senantiasa membawa tema ataupun pesan tertentu. Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia memuat tema: iman-persaudaraan dan belarasa. Ketiga tema tersebut merupakan sesuatu yang penting dan mendasar dalam penggembalaan Paus, menggambarkan keseluruhan dan rangkaian utuh landasan pastoralnya.
Pada saat diperkenalkan pertama segera setelah dinyatakan terpilih sebagai Paus, dia menggambarkan dirinya sebagai orang yang datang dari ujung dunia. Penggambaran dirinya itu seakan memperlihatkan apa yang menjadi salah satu ciri kuat penggembalaannya: perhatian pada mereka yang tersingkir, yang berada di pinggiran. Apalagi, dia meyakini bahwa perubahan tidak datang dari pusat, melainkan dari pinggiran.
Hal ini sesuatu yang kontras dengan kecenderungan kita, yang lebih suka memandang ke pusat, berorientasi pada yang besar atau cenderung memalingkan muka pada yang kecil dan pinggiran. Padahal, diingatkan Paus, dari sesuatu yang jauh dari pusat perhatian seringkali kita dapat menemukan tapak kehadiran Allah, sesuatu yang hadir bukan dari segala apa yang terlihat, namun dari pandangan yang menatap ke hati. Tuhan tidak mencari panggung dunia, namun memandang hati yang sederhana mereka yang mendamba dan mencintai-Nya, tanpa kesombongan dan meninggikan diri. Tidak mengherankanlah kalau sampai ada yang menuliskan bahwa pilihan perhatian tersebut merupakan suatu tusukan bagi umat Katolik yang mudah cenderung merasa mapan dan akibatnya lebih suka sibuk sendiri dan kurang peduli akan yang lain.
Berbagai tema menjadi perhatian Paus dari berbagai kunjungannya. Tema bisa bergerak dari pergumulan intern umat, mulai dari hidup doa dan sakramen, namun juga pergulatan dalam menghayati imannya. Namun dia mengingatkan janganlah kita membangun Gereja yang berpusat pada diri sendiri, sibuk dengan diri sendiri, yang diistilahkannya sebagai self-referential Church.
Fransiskus ingin membebaskan Gereja Katolik dari keterikatannya pada kekuasaan dan rasa puas diri, merasa diri hebat dan besar, dengan akibat malahan mengabaikan perjumpaan personal dengan Yesus Kristus dan sesama. Berjalan keluar dan membangun jembatan perjumpaan, itulah yang dikehendakinya, bukan sibuk dengan dirinya sendiri atau diam, tidak berbuat apa-apa. Terbuka, menerima sesama, siapapun mereka itu, tanpa membeda-bedakan latar belakang dan status sosial, itulah peziarahan Gereja di dunia dewasa ini: ada bagi sesama, membangun persaudaraan sejati, menjaga rumah kita bersama.
Gereja ada di tengah dunia. Kegembiraan dan harapan umat manusia zaman ini, terlebih mereka yang miskin dan menderita adalah juga kegembiraan dan harapan murid-murid Kristus, demikian Gaudium et Spes dari Vatikan II menyatakannya. Dalam pemahaman itu Paus berbicara pula tentang persoalan politik, perdamaian, keadilan, rusaknya lingkungan dan pula soal ekonomi.
Mereka yang terkena dampak dari itu semua adalah orang-orang miskin. Inilah yang menginspirasinya untuk memilih nama Fransiskus, sebagai nama Paus, bercermin dari Santo Fransiskus Assisi. Belajar dari Poverello dari Assisi tersebut Paus mengumandangkan desakan bagi dialog, penataan rumah bersama dan membangun persaudaraan sejati.
Keberagaman tema yang diusung dari berbagai kunjungannya sebenarnya mengungkapkan misi dasar: mengembalikan kehidupan kepada Allah. Kesadaran bahwa segalanya adalah ciptaan yang ada di hadapan Pencipta, mengingatkan kita untuk membangun tata dunia kehidupan yang lebih mencerminkan intensi dasar penciptaan, dalam kebaikan bagi semua serta harmoni dalam segala.
Memperkirakan dampak
Kunjungan Paus memang tidak pertama-tama untuk menyelesaikan segala persoalan sosial yang dihadapi umat dan masyarakat setempat. Namun harapan masyarakat mekar dengan kunjungan tersebut, dan itu merupakan modal dasar penting bagi membangun kehidupan masa depan.
Harapan mengajarkan untuk tidak menyerah dan terus mau berupaya bersama dan di dalam Dia. Itulah yang ditinggalkan Paus Fransiskus dari berbagai kunjungan di kawasan pinggiran dan konflik. Rekonsiliasi membangun dunia kehidupan, itulah pesan yang dibawanya.
Namun apakah lalu kunjungan tersebut tidak berarti. Kalau kita sekadar berorientasi mengejar hasil, maka kita bisa saja berkomentar kunjungan Paus hanyalah sebuah peristiwa yang sekali terjadi lalu berlalu begitu saja. Akan tetapi proses lebih penting daripada hasil agar orang tidak terobsesi akan hasil langsung dan kerja cepat, sebab dibutuhkan senantiasa kesabaran dalam menghadapi situasi sulit dan ketegangan yang ada, tanpa terlalu mau ingin mencari segala kelengkapan dan mau menguasai proses.
Ketegangan dan konflik akan selalu ada dan terjadi, namun kita harus mencoba hidup dalam ruang-ruang ketidaksepakatan. Jangan terlalu terobsesi dengan persoalan yang terbatas dan setempat belaka, sebab cakrawala harus terus-menerus diperluas dan melihat kebaikan yang lebih besar.
Dari sini kita bisa memahami bahwa kunjungan Paus sebenarnya lebih bermakna untuk membangun dan menghidupkan budaya perjumpaan. Kita diajak untuk menemukan kembali rasa saling memiliki di antara kita, memperbaharui ikatan percaya dan memiliki, sebab penyelamatan terwujud bukan dari gagasan atau pemikiran, namun dari perjumpaan, perjumpaan dengan Allah dan dengan sesama dengan saling melayani.
Kita diajak melintas batas mengubah cara pandang, tidak menutup dari dari kepedulian dan keterlibatan, serta menarik diri dari logika kekerasan dan marginalisasi, memeluk solidaritas dan persaudaraan terbuka. Bila demikian, kunjungan Paus sebenarnya lebih bermakna sebagai undangan serta dukungan bagi terjalinnya dialog, terwujudnya perjumpaan agar kita dapat semakin keluar dari diri sendiri, bekerjasama membangun tata dunia kehidupan yang lebih mewujudkan kepentingan bersama.
Tentu sebuah kunjungan tidak bisa berbicara banyak, kalau gema dan pesan kunjungan tersebut tidak kita gaungkan serta resapkan, apalagi dicoba diwujudkan.
Pesan yang disampaikan dari kunjungan Paus dan makna yang bisa kita petik perlu kita dalami dan pelajari terus-menerus, sebagai bagian dari proses belajar beriman yang tiada henti. Maka apakah nantinya kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia memiliki dampak besar bagi Gereja Indonesia: tergantung pada diri kita sendiri, bagaimana kita menanggapinya.
Pastor Dr. T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, tinggal di Girisonta, Jawa Tengah