web page hit counter
Minggu, 17 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Lawatan Paus Fransiskus dan Moderasi Beragama Ala Pemuda

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Menjelang lawatan Sri Paus Fransiskus ke Indonesia, jagat maya disuguhkan berita tentang kunjungan Pemuda Lintas Iman, yang terdiri dari Ketua Umum PP GP Ansor Addin Jauharudin, Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dzulfikar Ahmad Tawalla, Ketua Umum Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma, Ketua Umum Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sahat Marthin Philip Sinurat, dan Ketua Umum Perhimpunan Pemuda Hindu (PERADAH) Indonesia I Gede Ariawan, serta rombongan Sekretaris Jenderal masing-masing Ormas, yang menyambangi Vatikan dan bertemu dengan Paus Fransiskus.

Pertemuan historikal yang berlangsung di Paul VI Audience Hall, Vatikan, Roma, Italia pada Rabu (21/8) ini mengusung misi membangun komitmen bersama merawat Persaudaraan dan Kemanusiaan yang kemudian dikemas dalam sebuah naskah deklarasi yang diberi nama “Deklarasi Jakarta – Vatikan” yang ditanda tangani oleh seluruh delegasi Pemuda lintas iman dan Bapa Suci Paus Fransiskus.

Melalui butir-butir Deklarasi itu, Pemuda lintas iman menegaskan Ke-Indonesiaannya dengan menjadikan Pancasila sebagai titik pijak untuk merawat energi positif ke seluruh pelosok dunia, sembari mengajak kalangan muda seantero dunia untuk berpegang teguh pada prinsip toleransi, solidaritas, dan gotong royong, serta bertekad mendukung dan menyebarluaskan pandangan dan nilai-nilai yang tertuang dalam Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama (Dokumen Abu Dhabi) untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia.

Pemuda lintas iman yang menginisiasi pertemuan Sri Paus ini patut di apresiasi. Bagi Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Stefanus Asat Gusma, Perjalanan ke Vatikan dianggap sebagai perjalanan persaudaraan sejati. Organisasi pemuda lintas iman, mempertegas dan memperkuat nilai nilai perdamaian dan toleransi yang diajarkan dan dicontohkan oleh Bapa Suci Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmad Al-Tayyeb melalui Dokumen “Human Fraternity for World Peace and Living Together” yang di publikasikan pada 4 Februari 2019 silam.

Bila sejenak kita merunut perjalanan misioner Para Pemuda Lintas Iman menjelang lawatan Bapa Suci Paus Fransiskus ke Indonesia, kita akan menjumpai landasannya bahwa perjalanan para Pemuda lintas iman ini adalah bentuk upaya lain dalam mengkampanyekan Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia. Bagi Penulis, peristiwa luar biasa ini tidak hanya penting karena melecut cara pikir dan cara tindak para pemuda lintas iman untuk melihat nilai-nilai universal yang berasal dari jeritan dunia kontemporer, tetapi juga mengasah Para Pemuda lintas iman untuk memikirkan implikasi pentingnya solusi yang nyata dan cepat, di dalam proses menghadirkan perdamaian dunia. Karena itu, kehadiran Pemuda lintas Iman dan Deklarasi Dokumen Jakarta – Vatikan, harus dipandang dari aspek profetik yang nyata. Sebuah upaya yang timbul dari realitas konkret dan mendesak yang membutuhkan solusi bersama yang konkret dan segera.

Baca Juga:  Misa Gregorian: 30 Hari Tanpa Terputus

Dokumen “Human Fraternity for World Peace and Living Together”

Dokumen “Human Fraternity for World Peace and Living Together” merupakan dokumen bersejarah jaman ini yang di tanda tangani oleh Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmad Al-Tayyeb pada 4 Februari 2019 silam.  Pertemuan kedua tokoh agama ini diadakan di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.  Banyak kalangan menilai, pertemuan pemimpin Katolik sedunia Paus Fransiskus dengan Ulama Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, seakan menghidupkan kembali pertemuan antara Santo Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil pada tahun 1219, di tengah berkecamuknya Perang Salib V (1217-1221) yang dinilai tak hanya monumental, tetapi juga historis dalam konteks dialog antar iman.

Perjumpaan kedua tokoh dunia yang historical dan monumental ini, dilanjutkan dengan penandatanganan dokumen Dokumen “Human Fraternity for World Peace and Living Together” Sebuah dokumen penting yang mendorong seluruh pemimpin dunia untuk bekerja sama dalam menyebarkan budaya toleransi, mencegah pertumpahan darah, juga menghentikan peperangan, dan, mendorong agar manusia lintas iman di seluruh dunia memiliki hubungan yang lebih kuat, hidup berdampingan dengan damai, serta saling menghargai.

Dalam dokumen itu, baik Paus Fransiskus maupun Imam Al-Tayeb sepakat bahwa jalan menuju persaudaraan manusia universal bukan saja dilakukan melalui langkah- langkah penting, seperti berhenti menggunakan nama Tuhan untuk menghalalkan kekerasan, terorisme, dan pembunuhan, tetapi juga berhenti menginstrumentalisasi agama untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Dokumen “Human Fraternity for World Peace and Living Together” menyoroti dua belas pokok penting sebagai landasan untuk menghadapi krisis dunia modern yang mencakup kehilangan nilai agama, individualisme yang dominan, dan filosofi materialisme. Paus Fransiskus dan Ahmad Al- Tayyeb memandang krisis ini sebagai sumber berbagai permasalahan global dan mengajak untuk mengatasinya dengan merenungkan dan menerapkan nilai-nilai persaudaraan, dialog antaragama, perdamaian, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia.

Baca Juga:  Misa Gregorian: 30 Hari Tanpa Terputus

Salah satu fokus utama dokumen ini adalah mempromosikan persaudaraan manusia sebagai prinsip universal (Fransiskus & Al-Tayyeb, 2019, 26). Kemudian fokus lainnya ialah pemimpin agama menekankan perlunya menghormati kebebasan individu dalam berkeyakinan, berpikir, berekspresi, dan bertindak (Fransiskus & Al-Tayyeb, 2019, 28).

Dokumen ini juga menyoroti pentingnya keadilan yang didasari oleh belas kasihan serta perlindungan tempat ibadah sebagai kewajiban agama dan sosial (Fransiskus & Al-Tayyeb, 2019, 31). Dalam konteks konflik Timur Tengah dan tantangan global, dokumen ini menegaskan bahwa agama seharusnya menjadi sarana untuk mempromosikan perdamaian dan persatuan, bukan penyebab konflik (Fransiskus & Al-Tayyeb, 2019, 30). Dialog antarumat beragama dianggap krusial untuk mengatasi ketidakpercayaan dan ketidakpahaman yang dapat menyebabkan diskriminasi. Dokumen ini juga menyoroti isu terorisme, menekankan bahwa tindakan terorisme bukanlah representasi nilai sejati agama, melainkan akibat interpretasi keliru (Fransiskus & Al-Tayyeb, 2019, 32).

Pokok lainnya mencakup konsep kewarganegaraan yang didasarkan pada kesetaraan hak dan kewajiban, serta kerjasama antara Timur dan Barat untuk mencapai perdamaian global. Dalam ranah sosial, dokumen ini mendukung hak-hak perempuan, pendidikan anak-anak, dan perlindungan kelompok rentan seperti kaum lansia dan cacat (Fransiskus & Al-Tayyeb, 2019, 30-34). Paus Fransiskus dan Ahmad Al-Tayyeb berkomitmen untuk melawan kemunduran moral dengan memandang persaudaraan sebagai solusi untuk mengatasi krisis dunia modern.

Pernyataan dalam dokumen sebagaimana dilansir di atas, seakan menghembuskan angin sejuk perdamaian di tengah-tengah maraknya fundamentalisme dan kekerasan atas nama agama saat ini. Dua institusi besar dunia, baik Gereja Katolik maupun Islam, mempunyai tekad saling membangun persaudaraan bersama. Butir-butir penting yang ada dalam dokumen tersebut yakni, dialog, kerja sama, dan seruan perdamaian merupakan essensi penting dari hidup bersama. Fondasi itu mencerminkan moderasi beragama. Cara beragama yang moderat selalu inklusif (menerima keberagaman), terbuka, dan tidak menjadi ekstrem.

Moderasi Beragama Ala Pemuda Lintas Iman Indonesia

Pemerintah Indonesia mencanangkan program moderasi beragama sejak tahun 2019. Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama saat itu mensosialisasikan kepentingan program di semua lapisan instansi dan masyarakat. Moderasi beragama menurut Lukman “harus menjadi arus utama dalam membangun Indonesia.” Kepentingan akan hal ini menjadikan moderasi beragama sebagai bagian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 (Kementerian Agama RI, vi).

Rencana pemerintah tersebut sangat relevan bagi Indonesia. Fenomena kemajemukan dan kian maraknya pertumbuhan radikalisme atau fundamentalisme dalam penghayatan keagamaan kerap memicu sikap intoleran, konflik, serta kehancuran antar anak bangsa sendiri. Sudah lama Bangsa Indonesia mempunyai cerita-cerita kelam akan konflik-konflik SARA. Banyak pihak sampai saat ini masih gampang mempersoalkan Pancasila, tersulut oleh isu-isu penodaan agama, dan kekerasan.

Baca Juga:  Misa Gregorian: 30 Hari Tanpa Terputus

Melihat fakta-fakta tersebut, pada dasarnya peran moderasi beragama sangat dibutuhkan dalam menghadapi dan mencegah terjadinya konflik antar umat beragama, tumbuhnya sikap intoleransi dan radikalisme serta mencegah aksi kekerasan hingga tercipta kehidupan negara dan umat beragama yang damai. Sebagaimana fungsi moderasi beragama yang mempunyai peran dalam menghadapi budaya pluralistik, moderasi beragama merupakan senjata paling ampuh untuk mengalahkan agar radikalisme tidak terjadi.

Dalam Peta Jalan pada buku Penguatan Moderasi Beragama dikatakan bahwa Penguatan moderasi beragama tidak bisa hanya dilakukan oleh negara (state) dengan berbagai perangkatnya, melainkan juga sangat tergantung pada keterlibatan masyarakat sipil (civil society) dan akar rumput. Oleh karenanya, salah satu yang juga harus diprioritaskan dalam penguatan moderasi beragama adalah penguatan peran dan kapasitas tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, budayawan, organisasi berbasis agama, pengelola rumah ibadah, ormas sipil, keluarga, perempuan dan anak muda. Semua komponen masyarakat sipil harus bergerak bersama dalam irama yang harmonis dengan kelompok strategis lain, untuk penguatan moderasi beragama.

Kunjungan dan pertemuan Pemuda Lintas iman dengan Sri Paus Fransiskus, harus juga dimaknai sebagai upaya untuk menggaungkan moderasi beragama ala Pemuda, sebab generasi muda yang moderat akan membantu kita dalam menjaga kedamaian di muka bumi ini khususnya di Indonesia.

Strategi yang realistis ini dapat juga dipahami sebagai terobosan, sebab pemerintah menginspirasi masyarakat untuk mengambil peran mandiri dalam menggerakkan ikhtiar dan siar keberagamaan di ruang publik. Dengan demikian, agama-agama menemukan platform kebersamaan yang signifikan, yang sekali lagi dapat dicatat sebagai buah interaksi dialogis antaragama. Dengan menyadari perlunya membangun ekosistem moderasi yang lebih luas dari sekadar moderasi dalam kehidupan publik agama, proses moderasi yang holistik perlu diterapkan untuk menyebarkan dampak yang luas pula. Dan untuk itu, public menanti aksi nyata para pemuda lintas iman untuk mengimplementasikan komitmennya di bumi Indonesia.

Atanasius Dula, S.A.P
Pengurus Pusat Pemuda Katolik – Departemen Riset Dan Kajian Kebijakan Publik

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles