HIDUPKATOLIK.COM – DI manakah manusia zaman ini dapat menemukan keheningan? Apakah mudah untuk menemukan tempat yang benar-benar membawa dan membantu setiap orang masuk dalam keheningan?
Kedua pertanyaan ini – kalau sungguh-sungguh digali dan didalami – dapat menjadi bagian dari persoalan yang tidak dapat dijawab secara mudah. Zaman yang mengagungkan koneksi tanpa batas lewat bantuan internet dan alat-alat komunikasi yang terbarukan, seperti yang terjadi saat ini, menjadi salah satu alasan betapa sulitnya menjalani hidup dalam keheningan. Tempat-tempat pertapaan dan mungkin juga biara-biara religius yang dulunya menjadi destinasi peziarahan keheningan, kini tidak lagi sanggup menghadang pengaruh hiruk pikuk internet dan media-media yang menjadi bagian turunannya.
Generasi Klik
Salah satu kata yang dapat mewakili pola dan gaya hidup manusia zaman ini ialah ‘klik’. Kita semua menjadi saksi dari lahir dan bertumbuhnya generasi klik. Komputer dan telepon genggam (Hp) menjadi media utama yang membidani lahirnya dan mendukung pertumbuhan dan perkembangannya.
Mobeen (2021:271) mengatakan, “Kita berada di era di mana hanya dengan satu klik di ponsel atau komputer, kita dapat langsung terhubung dengan seluruh dunia, yang secara metaforis menjadikan para warga masyarakat digital menjadi bagian dari negara virtual”.
Kebenaran pernyataan ini dapat ditemukan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Orang tua dan anak-anak, tua-muda, laki-laki dan perempuan, singkatnya semua kategori jenis manusia selalu berurusan dan berhubungan dengan komputer atau ponsel. Keduanya memberikan pengaruh bagi semua bidang pekerjaan dan dunia kehidupan.
Ketergantungan pada hape dan/atau komputer membuat manusia zaman ini – kalau mau jujur – kurang mau dan mampu menghabiskan waktu dengan rekan atau sesama yang duduk atau berdiri di dekatnya setiap hari.
Armando Matteo (2020:44) mengatakan, “Revolusi digital zaman ini menyebabkan kehadiran internet dan teknologi komunikasi baru sangatlah masif dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, manusia lebih banyak menghabiskan waktu dengan perangkat elektronik daripada dengan salah satu rekan yang terdekat dengannya”.
Kehadiran media-media sosial dengan segala perangkat yang dibawanya (sebut saja: WA, FB, Tiktok, Youtube, Messenger, Telegram, dan seterusnya) membuat peradaban zaman ini hidup dalam keterhubungan satu sama lain. Setiap pribadi menyibukkan diri dengan jalinan relasi yang terbentuk dan tercipta di dunia maya sehingga terkadang menjauhkan sesama saudara yang ada di dekatnya.
Ketika koneksi dalam dunia virtual mengalami kemacetan atau kendala (karna gangguan jaringan listrik atau internet misalnya) maka muncul kecemasan, depresi dan kekecewaan yang luar biasa. Ada ketakukan akan ketinggalan informasi dan berita-berita mutakhir nan viral (feared of missing out).
Kesibukan dalam dunia virtual membuat anggota masyarakat dunia maya mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam keheningan. Internet telah menjadi pusat dari sebuah proses auto-formasi dan auto-informasi yang berkelanjutan (Matteo, 2020:44).
Proses itu yang menjadikan manusia selalu dibombardir oleh berbagai informasi, pertanyaan dan jawaban-jawaban yang bahkan tidak pernah dipikirkan oleh dirinya sendiri. Pengaruh internet yang begitu luar biasa menjadikan internet itu sendiri sebagai pusat segala tanya-jawab manusia abad ini (Pesan Paus Benediktus XVI pada Minggu Komunikasi Sosial 20 Mei 2012). Internet yang menjadi hasil kerja dan ciptaan manusia kini berubah menjadi ‘tuan’ dari penciptanya sendiri.
Harta yang Berharga
Hiruk pikuk manusia ‘generasi klik’ saat ini memakan korban yang luar biasa yakni hilangnya kebutuhan akan keheningan. Pola pikir dan gaya hidup mendapat pengaruh yang sangat besar dari algoritma dan efek ruang gema internet dan media-media sosial.
Ada sebuah dorongan untuk selalu berada dalam koneksi yang tidak terputuskan dengan pribadi-pribadi (yang dikenali ataupun tidak dikenali) yang berlayar dan berselancar dalam samudera virtual. Kesempatan dan waktu untuk berjumpa dengan diri sendiri dalam keheningan tenggelam dan berlalu begitu saja. Ada sebuah kecenderungan untuk mengindari perjumpaan tidak hanya dengan orang-orang yang terdekat melainkan juga dengan diri sendiri.
Keinginan untuk selalu berada dalam koneksi media maya menjadikan keheningan sebagai harta yang berharga. Paus Benediktus XVI (ibid) menyadari betul kenyataan itu dan mengusulkan agar semua orang yang tercebur dalam dunia virtual untuk membangun kembali semangat dan budaya hidup yang mencintai keheningan.
Beliau mengatakan, “Keheningan sangat berharga untuk mendorong setiap orang melakukan discermen yang sangat diperlukan di antara banyaknya rangsangan dan jawaban yang diterima, khususnya untuk mengenal dan memberikan fokus pada pertanyaan yang sungguh penting”.
Tanpa sebuah keheningan, teristimewa dalam membuat pembedaan antara penting-tidak penting, perlu-tidak perlu, berguna-tidak berguna dan seterusnya, maka manusia akan terseret dan terbawa arus gaya kerja dunia internet. Menciptakan dan menghidupi kembali budaya keheningan menjadi sebuah panggilan yang sangat penting saat ini.
Semangat hidup Bunda Maria yang mendengarkan, menyimpan dan merenungkan semua perkara hidup dalam hati (Luk. 2:19, 21) menjadi contoh dan teladan hidup bagi mereka yang lahir dan besar dalam budaya klik.
Keheningan menjadi sebuah harta terpendam yang terkubur dalam hingar-bingar pengaruh internet dan media komunikasi yang terbarukan. Kisah tentang harta terpendam, hemat saya, sangatlah relevan untuk mengingatkan dan memacu kembali perjuangan menghayati hidup dalam keheningan. Penginjil Matius menulis, “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu” (13:44).
Untuk menghidupi sebuah semangat hidup yang dijiwai oleh keheningan, butuh sebuah pengorbanan yang luar biasa yakni menjaga jarak dari media-media yang mengahalangi dan mengganggu keheningan itu sendiri. Jika harta terpendam disamakan dengan keheningan maka ‘milik yang harus dijual’ ialah ketergantungan pada koneksi dan penggunaan media elektronik yang berlebihan. Keheningan menuntut setiap orang untuk melepaskan diri dari keterhubungan tanpa batas dan menarik diri dalam kesendirian untuk menciptakan ruang hening dalam diri.
Di ruang itu, setiap orang dapat menjumpai diri sendiri dengan segala kerapuhannya dan di saat yang bersaam dapat bertemu dengan Allah yang setia menanti untuk ditemui dan dijumpai oleh para putera dan puteri-Nya (bdk. Mat. 6:6).
Hiruk pikuk manusia ‘generasi klik’ saat ini memakan korban yang luar biasa yakni hilangnya kebutuhan akan keheningan.
Oleh: Hironimus Edison, SMM, Imam Montfortan Indonesia
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 32, Tahun Ke-78, Minggu, 11 Agustus 2024