web page hit counter
Selasa, 17 September 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

(Keuskupan Agung) Ende, Akhir atau Awal

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – HANYA enam bulan pascawafatnya Uskup Vinsentius Sensi Potokota (19/11/2023), pada Sabtu 25/5/2024, ‘sede vacante’ di Keuskupan Agung Ende (KAE) terisi. Uskup Agung, Mgr. Paulus Budi Kleden SVD yang akan ditahbiskan pada tanggal 22 Agustus 2024, akan bersama 239 imam melayani wilayah seluas  5.084 km² dengan 480 ribu umat yang tersebar di 72 paroki.

Kenyataan ini memunculkan pertanyaan: mengapa hanya dalam waktu  27 minggu atau 189 hari KAE sudah memiliki uskup baru? Pertanyaan ini penting karena keuskupan seperti Timika,  meski sudah 5 tahun, belum juga punya uskup.  Apa makna simbolik di baliknama Ende yang bisa saja merupakan kekuatan KAE?

Sutera Warna-Warni  

F.X. Soenaryo dkk. dalam Sejarah Kota Ende, 2006 memberikan tafsiran tentang nama Ende. Ada yang menafsirnya dari nama kain sutera ‘Cindai’ berbunga-bunga. Ada yang mengaitkannya dengan ular sawah piton jenis Cinde, sebutan yang diberi oleh para pendatang melayu meski orang setempat menyebutnya sebagai sawa lero.

Nama Cindai dalam penuturan lisan terdengar sebagai Cendau, Cindau, Sendau, Cinde, Kinde, Ciendeh, akhirnya Endeh dan Ende. Sebutan lisan itu minimal terjadi jauh sebelum tahun 1560, karena setelahnya sudah digunakan nama Endeh/Ende.

Mgr. Paulus Budi Kleden SVD menyampaikan sambutan setelah ditahbiskan menjadi Uskup Agung Ende di Katedral Ende, Kamis, 22/8/2024.

Yang lebih penting, makna di baliknya.  Kain sutera berbunga-bunga atau ular Cinde warna-warni, menggambarkan khasanah masyarakat yang yang heterogen. Ende bagaikan ‘melting pot’ alias panci peleburan dalamnya orang dari berbagai suku, ras, agama bisa melebur. Penamaan ular Cinde dari kosa kata melayu menjadi salah satu contoh tentang keterbukaan masyarakat untuk berasimilasi.

Keunggulan lain Ende bisa dilihat dari penetapannya sebagai  Prefek Apostolik Sunda Kecil tahun 1913. 11 tahun kemudian (1922), berubah menjadi Vikariat Apostolik Sunda Kecil. Tahun 1951 menjadi Vikariat Apostolik Ende dan akhirnya menjadi Keuskupan Agung Ende tahun 1961. Hal in adalah tanda betapa pentingnya Ende sehingga sejak awal disiapkan menjadi pusat kekuasaan Gerejani.

Ende juga menjadi pilihan bagi Belanda mengasingkan Soekarno (1934-1938). Pemerintahan kolonial hanya melihat dari luar berupa tingkat kesulitan dari segi transportasi dan komunikasi sehingga mereka membayangkan bahwa ide-ide Bung Karno bakal sirna di bawah kaki gunung Meja itu.

Tetapi justru di kota ini ia hidup dan berinteraksi dengan masyarakat, berdialog dengan pastor Johanes Bouma, SVD dan Gerardus Huijtink, SVD.  Hasil dari rangkaian interkasi ini kemudian melahirkan Pancasila.  Hal ini mengingatkan bahwa Ende bukan saja tempat geografis tetapi menjadi simbol keterbukaan. Ada kehidupan ‘warna-warni’ seindah kain sutera ‘Cindai’ dan ular piton ‘Cinde’ yang penuh warna.

Penyeimbang

Ende, awalnya menjadi tempat paling sentral dari dua kabupaten (Ngada dan Sikka) yang mejadi wilayah bagian dari Keuskupan Agung Ende. Kini, setelah lahirnya Maumere yang berdiri 2 November 2006, dan Keuskupan Labuan Bajo (21 Juni 2024), letaknya menjadi lebih strategis lagi: di Timur ada Keuskupan Maumere dan Larantuka dan di Barat ada keuskupan Ruteng dan Labuan Bajo.

Tetapi posisi ini lebih jauh dimaknai secara simbolis sebagai penyeimbang. Peran ini terinspirasi dari peran ular sawah yang merupakan penyeimbang ekosistem yang mengontrol populasi burung dan hewan kecil seperti tikur, kelinci, burung kecil yang merusak tanaman. Juga menjadi pemangsa hama.  Dalam arti ini, Keuskupan Agung Ende memainkan peran strategis.

Pertama, sebuah keberuntungan, karena Keuskupan Agung Ende dipimpin uskup dengan jam terbang internasional. Jabatan Superior Jenderal yang telah mengantarnya sukses memimpin 5754 orang yang tersebar di 84 negara telah menjadi tempat belajar bagi Uskup Budi.

Lebih dari itu, jaringan yang mau dibentuk tidak terbatas pada kehidupan spiritual tetapi meluas menckaup manusia seutuhunya. Karena itu yagn paling memperkuat ‘network society’. Hal ini dipahami sebagai jaringan sosial kemasyarakatan, untuk mencermati perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang disebabkan oleh penyebaran teknologi informasi dan komunikasi digital dalam jaringan.

Kedua, pemahaman tentang masyarakat jaringan akan secara logis bertujuan akhir untuk menjadikan wajah gereja yang lebih terlibat. Hal ini sejalan dengan teologi terlibat yang sangat dikembangkan oleh Uskup Budi saat menjadi dosen Teologi di STFK (kini IFTK) Ledalero

Itu berarti, Gereja yang ditawarkan oleh Uskup Budi tidak sekadar bernuansa sakramental tetapi secara holistik mencakup semua dimensi kehidupan manusia baik rohani maupun jasmani. Keterlibatan utuh itu bertujuan akhir mengadakan transformasi terhadap  adat istiadat, pendidikan, HAM dan kebudayan, pendasaran etika politik, dan pembentukan spiritualitas pembangunan, pemanfaatan otonomi daerah, pencegahan disintegrasi bangsa dan keterlibatan dalam partai-partai politik.

Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden SVD. Ia menggantikan Mgr. Vincentius Sensi Potokota yang meninggal dunia pada bulan November 2023.

Ketiga, Uskup Budi akan lebih hadir sebagai inpirator untuk memperkuat kerjasama dalam tim. Keuskupan Agung Ende sangat luas dengan jumlah umat hampir setengah juta orang adalah sebuah kekuatan yang besar. Namun kekuatan ini bakal tak efektif kalau tidak ditunjang oleh kekompakan dan kerjasama yang kuat dalam tim.

Itu berarti keterlibatan perangkat pastoral baik Pusat Pastoral. Komisi-komisi keuskupan,  kevikepan, paroki, dan pelayanan  kategorial lainnya menjadi kekuatan yang besar yang diharapkan di tangah Uskup Budi dapat menemukan fungsi dan mendapatkan ruang gerak yang jauh lebih efektif dan efisien.

Kerja sama dalam tim ini bisa disebut menjadi salah satu sisi kuat dari   Uskup Budi. Saat menjadi Superior Jenderal, ia tidak pernah tampil sendiri sebagai ‘single fighter’ tetapi selalu dalam semangat tim. Karena itu di setiap dokumen selalu tetulis Fr. Paulus Budi Kleden, SVD and    (   ). Ini sekaligus menyadarkan bahwa harapan pada Uskup Terpilih hanya mungkin terwujud ketika semua komponen terlibat dalam team kerja sebuah model yang dilakukan saat memimpin SVD sejagat.

Keempat, Uskup Budi bukan pertama-tama hadir di Ende untuk menabur tetapi justru menuai buah yang sudah lama ditanam. Di Ende, Uskup Budi akan menyaksikan kedewasaan iman umat yang sudah terbiasa dengan heterogenitas. Juga akan menyaksikan para imam yang tidak terfragmentasi dalam warna kongregasi atau projo. Mereka justru tahu bahwa warna yang berbeda seperti ukiran sutera dan warna ular piton adalah simbol kekuatan. Keutuhan inilah yang perlu ditata dan dijaga.

Keempat, poros pemersatu dan penentu segalanya pada akhirnya terdapat dalam diri Uskup Budi sebagai pribadi yang rendah hati dan bijak. Ia tahu akan hak orang yang pernah jadi mahasiswa (tidak sedikitnya merupakan imam projo KAE), kaum intelektual yang menjadi mitra atau pun umat untuk menyanjung secara pribadi, Uskup Budi tahu bagaimana ‘membumi’. Kerendahan hati inilah yang menjadikan dirinya sebagai pembelajar dari semua yang telah ada lebih dahulu di Ende. Ia patut menyapa mereka ‘ka’e’ lebih dahulu berada di KAE dan ia harus belajar. Tetapi ia juga tahu bagaimana bisa mengarahkan mereka pada momen yang pas.

Pada Akhirnya….

Saat pertama kali belajar bahasa Spanyol, ada satu frase yang sangat menarik:  ‘Por ende’. Saat diucapkan, yang teringat adalah Ende, terutama Keuskupan Agung Ende. Frase ini berarti:  pada akhirnya sebuah frase yang digunakan sebagai sebuah kesimpulan. Bila digunakan pada bagian penutup, maka ‘pada akhirnya’ tidak sekadar ungkapan syukur karena Keuskupan Agung Ende sudah punya uskup.

Tetapi ‘pada akhirnya’ tidak memiliki arti begitu terbatas untuk mengakhiri semuanya. Sebaliknya ia sebuah awal. Awal karena di sini, Teologi Terlibat yang digagas Uskup Baru menemukan lahan untuk ditabur, hidup, dan kalau boleh berbuah. Yang terbayang, ine-weta  penjual sayur di Nduaria, ine-weta  petani sawah di Mbay, dan ine weta penganyam bambu di Mataloko -Todabelu memahami Teologi Terlibat dalam konteks yang sangat nyata.

Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD berfoto bersama dengan Nunsius Apostolik, para Uskup beberapa saat setelah tahbisan di Katedral Ende, Kamis, 22/8/2024.

Keberhasilan Uskup Baru menjawab harapan itu tentu menjadi awal dari sebuah proses pertumbuhan iman umat. Tetapi juga siapa tahu, seperti Soekarno menemukan inspirasi Pancasila yang membuatnya melangkah lebih jauh, di Ende Uskup Budi juga bisa memulai sebuah perjalanan yang‘endingya’ hanya Tuhan yang tahu tetapi yang pasti harus dimulai dari Ende.

Robert Bala, asal Lembata, NTT/tinggal di Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles