HIDUPKATOLIK.COM – Biasanya dari pilihan menjadi perutusan, dari berbagai pilihan dan keinginan menjadi perutusan. Kebiasaan itu tidak berlaku bagi Romo Wiryono, sebab ditahbiskan sebelum selesai kuliah filsafat-teologi.
“Di sini saya awalnya penugasan akhirnya jadi panggilan,” kata Romo Wir, biasa dipanggil – di gandok terbuka di atas Embung Grigak dengan panorama indah Samudera Hindia, pertengahan Mei yang lalu. Terik matahari siang itu menyengat, tetapi angin berembus kencang, membuat suasana nyaman-sejuk. Gandok berbentuk limas itu kantor; lebih tepat tempat berbagai kegiatan Eco Camp Mangun Karsa yang kegiatannya sudah berjalan sejak tahun 2015.
Mendapat perutusan Romo Provinsial untuk menyiapkan lokasi Eco-Camp, Romo Wir praktis melakukan dan bertanggung jawab semuanya. Berjalan lancar berkat kerja sama berbagai lembaga dan pribadi dalam organ kepengurusan berdasar SK Uskup Agung Semarang Mgr. Robertus Rubiyatmoko, tertanggal 4 Januari 2018. Lewat SK itu Romo Wir sekaligus mengemban perutusan secara tidak langsung. Masa kerja panitia lima tahun per 2018, diperpanjang tiga tahun. “Saya diuntungkan oleh popularitas Romo Mangun yang serba bisa dan penuh rasa kemanusiaan. Saya pun tertarik menangani Eco-Camp karena kekaguman saya pada beliau.”
Di samping sebagai Ketua Panitia Penyiapan Lokasi Eco-Camp, di saat yang sama Romo Wir ditugasi mengajar di dua almamaternya Universitas Sanata Dharma (UGM) dan Universitas Gadjah Mada, staf formatio spiritual para romo Jesuit yang menjalani masa tertiat (novisiat tahun ketiga) di Girisonta, dan Ketua Yayasan Sandjojo. Semua dijalani sebagai perutusan dengan dasar ketaatan, salah satu kaul tahbisan yang dihidupi sebagai bagian utuh panggilan biarawan-rohaniwan.
Dengan penugasan di beberapa lembaga itu, keseharian Romo Wir sudah padat teratur terjadwal, walaupun masih terbuka ada beberapa penugasan pokok dan dadakan, resmi struktural maupun bagian utuh sebagai pastor. Penugasan-penugasan itu akhirnya menjadi bagian utuh dari rahmat, panggilan, dan pilihan hidup Romo Wir yang menjalani pendidikan awal imamatnya sejak jenjang SMP Seminari Mertoyudan.
Bidang Pertanian
Menurut Romo Wir yang lahir di Madiun dan besar di Sleman (Desa Warak) – waktu itu masuk Paroki Mlati, satu-satunya pilihan yang bukan perutusan mungkin adalah keinginannya masuk seminari. “Bade dados romo,” jawab Wiryono kecil ketika ditanya Romo Thomas Harsawidjaya, SJ (1922-1969), Pastor Paroki Mlati. “Kalau besar mau jadi apa”? Pertanyaan itu dia tafsirkan sebagai permintaan, sebab Romo Harsawijaya sempat memanggilnya datang ketika akan meninggal. “Ibarat pesan wasiat. Isyarat,” katanya. Dan, pendidikan lima tahun di seminari kecil (dasar dan menengah) di Mertoyudan berjalan mulus. Lulus SMA seminari, ia masuk novisiat Jesuit di Girisonta.
Ayahnya, Antonius Yoseph Wiryono, pensiunan Kepala Bimas Katolik Propinsi Sunda Kelapa (NTT dan NTB) dan ibunya, Maria Askamah, tidak pernah membawa turun ke sawah kedelapan anaknya, termasuk Wiryono anak ketiga. Namun sejak kecil Wiryono memang menyukai bidang pertanian, mata pelajaran favoritnya Biologi dengan nilai rapor tak pernah kurang dari delapan, kegemarannya naik gunung. “Anehnya, seperti kebetulan begitu selesai novisiat diminta kuliah di Fakultas Pertanian UGM. Saya diminta sekolah dulu di bidang nonpastoral, sebelum filsafat dan teologi. Bisa saja itu tes ketaatan, bisa juga pimpinan melihat Serikat Jesus perlu memiliki ahli bidang pertanian yang memang belum ada saat itu.”
Lagi-lagi perutusan dan kebetulan. Setelah ditahbiskan, Rowo Wir diminta mendalami bidang pertanian. Ia meraih gelar MSc tahun 1983 dan Phd bidang pendidikan pertanian tahun 1986 di Oklahoma State University, AS. Tetapi setelah lulus, penugasan yang diberikan tidak langsung berkaitan dengan pertanian atau pendidikan pertanian, tetapi beragam perutusan di bidang lembaga pendidikan. Katanya, “Tentu ini kehendak Tuhan.” Sebelum di Eco-Camp, selain di berbagai lembaga pendidikan tinggi, ia juga pembimbing formatio spiritual Serikat, Profinsial Jesuit Indonesia 1996-2002 dan Direktur Program Tertiat Sedunia yang berkedudukan di Sri Lanka 2002-2005.
Romo Petrus Sunu Hardiyanto, SJ sama-sama mantan Profinsial SJ Indonesia, sama-sama alumni UGM. Romo Sunu, yuniornya, diutus belajar Biologi di UGM setelah selesai S1 Filsafat Teologi, meraih MSc dan Doktor di Vrije Universiteit, Belanda tahun 2020 (HIDUP, 2 April 2023). Romo Wir kuliah di UGM sebelum filsafat-teologi. Bagi kedua anggota Yesuit itu, muara akhir bidang-bidang yang mereka jalani, geluti dan hidupi menjadi panggilan yang integral sebagai medan pelayanan imamat. “Sepertinya privilese, jarang terjadi, sebab saya dengan gelar sarjana pertanian ditahbiskan sebelum lulus sarjana filsafat-teologi.”
Beragam dan Berbeda-beda
Sesuai jiwa Ignatian yang dihidupi, Romo Wiryono mengelola Eco-Camp Mangun Karsa tidak akan selamanya. “Suatu saat tiba-tiba Romo Provinsial memindahkan saya, saya harus siap.” Sesuai medan pelayanan yang beragam, terentang tugas perutusan yang beragam dan berbeda-beda, yang juga dialami para romo kolega kami.”
Romo Wiryono yang bergelar doktor Pendidikan Pertanian, begitu pulang dari AS tidak langsung ditugasi berkarya di bidang pertanian dan bidang pendidikan. Melainkan ditugasi sebagai Direktur Asrama Realino dan Asrama Syantikara 1987-1988, sebelum sebagai Rektor Universitas Timor Timur 1989-1993. Menyusul perutusan memimpin lembaga pendidikan tinggi: Rektor Universitas Soegiyapranata 1993-1996, dan dua kali periode sebagai Rektor USD 2006-2014.
Tidak sempat disindir rekan-rekan sekolega “sudah ngrektori” seperti seniornya, Romo Michael Sastrapratedja, SJ yang dijuluki “ngrektori” sebab berkali-kali ditugasi sebagai rektor, Romo Wir lebih menunjukkan keberagaman pelayanan. Di samping tetap mengajar, tahun 2014-2020 Romo Wir menjadi Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK), lembaga kerja sama perguruan tinggi Katolik yang didirikan empat PT, yakni Unika Atmajaya Jakarta, Unversitas Sanata Dharma, Unika Parahyangan, dan Unika Widya Mandala tanggal 24 Februari 1984.
Beragamnya medan pelayanan, beragam pula pengalaman. Misalnya, saat sebagai Rektor Universitas Timtim, dia mau diusir keluar dari Timtim. Pasalnya, dalam salah satu pidato, Romo Wir berkata, “untuk mendapatkan hasil yang sama, orang Timtim harus mengeluarkan keringat empat kali lipat dari orang Jawa”. Persoalan bisa diatasi baik-baik. Ia batal diusir. Karena pengalaman dan medan pelayanan, ia memiliki banyak jaringan masalah Timtim. Di antaranya, diminta ikut menangani berbagai persoalan pasca-jajak pendapat tahun 1999, kendati sudah tidak sebagai Rektor Universitas Timtim.
Banyaknya jaringan berkat beragam penugasan dan bidang keahliannya, menurut Romo Wiryono, rupanya menjadi pertimbangan pimpinan menugasi dia berkarya di Eco-Camp Mangun Karsa. Nama Eco-Camp Mangun Karsa, hasil musyawarah warga Dukuh Karang tanggal 7 Desember 2016 bersama sejumlah tokoh masyarakat, dimaknai antara lain sebagai kebulatan hati mewujudkan kehendak (kerso) Romo Y.B. Mangunwijaya membangun masyarakat Dukuh Karang, Girikerto tahun 90-an.
“Ke depan Eco-Camp Mangun Karsa seluas 14 hektar ini dibangun dan dikembangkan tidak hanya sebagai obyek pusat pariwisata pantai, tetapi juga sebagai wadah pendidikan ekologi, seperti yang ditegaskan Bapak Uskup Robertus Rubiyatmoko,” tambah Romo Wiryono, pertengahan September lalu di gandok, kantor Eco-Camp, Grigak. Mengapa lokasi peninggalan dan gubuk Romo Mangun tidak dijadikan kantor Eco-Camp saja?” Jawab Romo Wiryono tegas, “Peraturan daerah tidak mengizinkan ada bangunan di sana, sebab itu daerah sempadan.”
Profil
Romo Paulus Wiryono Priyotamtomo, SJ
Lahir :Madiun, 8 September 1947
Tahbisan imam :30 Desember 1980
Pendidikan
- S1 Fakultas Pertanian UGM 1979
- S1 Filsafat-Teologi USD 1981
- MSc Bidang Agricultural Education Oklahoma State University, AS 1983
- Phd Bidang Agricultural Education Oklahoma State University, AS 1986
Karya
- Musyawarah: Adaptive Democratic Value for Catholic Leadership Development, 2013
- Nutrasentika: Sebuah Tinjauan Pengembangan Produk Pangan, 2009
St. Sularto (kontributor)