HIDUPKATOLIK.COM – USKUP Agung Ende yang baru, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, dari Roma, Italia, berbagi inspirasi hidup serta visinya yang berpusat pada kasih persaudaraan. Uskup memberikan pandangannya tentang peran Gereja dalam dunia yang terus berkembang. Berikut adalah beberapa kutipan wawancara jarak jauh dengan HIDUP, 19/7/2024.
Bagaimana perasaan Monsinyur saat pertama kali mengetahui tentang penunjukan sebagai Uskup Agung Ende?
Saya amat terkejut karena dua alasan. Pertama, saya tahu kelemahan-kelemahan saya. Itu hal pertama yang membuat saya terkejut. Kedua, keputusan itu datang ketika saya sebagai Superior Jenderal Serikat Sabda Allah (SVD) sedang dalam persiapan terakhir pelaksanaan kapitel umum kami. Saya merasa sedikit lega ketika disampaikan bahwa saya diizinkan mempersiapkan dan memimpin kapitel sampai selesai.
Bagaimana pengalaman sebagai Superior Jenderal SVD mempengaruhi visi dan misi sebagai Uskup ke depannya? Apa momen atau peristiwa penting dalam hidup Monsinyur yang dirasakan mempersiapkan diri untuk peran ini?
Saya belum bisa katakan sekarang. Yang pasti adalah bahwa pengalaman saya sampai sekarang menempa kepribadian saya dan mempengaruhi saya dalam cara saya berpikir dan bertindak. Tidak ada peristiwa penting yang mempersiapkan saya untuk perutusan baru ini. Saya menjalani tugas yang diberikan kepada saya seperti adanya, sebagaimana semua orang lain berusaha melaksanakan tanggung jawab apa saja yang diembankan kepada mereka.
Apa yang paling menginspirasi dalam perjalanan iman Monsinyur hingga saat ini?
Motto tahbisan imamat saya adalah: Ia menuntun aku ke tempat yang lapang (Mzm. 18:20). Saya merasa Tuhan selalu membawa saya keluar ke tempat yang lapang, membuka wawasan saya, memungkinkan saya menemui orang baru, menghadapi tantangan dan peluang baru. Amat memperkaya. Di mana-mana saya menemui saudara dan saudari. Janji Tuhan kepada para murid bahwa mereka akan mendapat saudara-saudari seratus kali lipat, memang sungguh saya alami (Mat.19:29).
Bagaimana Monsinyur melihat peran seorang Uskup dalam konteks Gereja Katolik di Indonesia dan dunia saat ini?
Model kegembalaan Yesus, Sang Gembala Agung, yang kembali ditekankan di dalam semangat dan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, dan yang kini diingatkan kembali oleh Paus Fransiskus adalah model kegembalaan dalam semangat sinodal, berada dan berjalan bersama yang lain. Kita semua berjalan bersama sebagai rekan, saudara seperjalanan. Karena itu, kita perlu pupuk kasih persaudaraan dalam berjalan bersama itu. Uskup berjalan bersama umat, umat adalah rekan seperjalanan uskup. Kita saling menguatkan dan menginspirasi. Paus Fransiskus ketika bebicara tentang kepemimpinan dalam Gereja sinodal, menekankan tiga posisi pemimpin, tepat seperti yang kita kenal dari Ki Hajar Dewantara: pemimpin yang berjalan di depan, di tengah, dan di belakang.
Mengapa memilih motto “Caritas Fraternitas Maneat in Vobis”?
Saya yakin, itulah hakikat Gereja: sebuah persaudaraan yang diikat dalam kasih, menghidupi dan mempromosikannya di tengah dunia. Hukum tertinggi bagi para murid Yesus adalah hukum kasih, kepada Tuhan dan kepada sesama, kasih persaudaraan. Bagi KAE, ini bukanlah hal baru. Kita mewarisi semangat ini dari para pendahulu kita, dan kita teruskan, kita pelihara itu dalam konteks kita sekarang.
Apa tantangan terbesar yang prediksi akan dihadapi?
Saya belum tahu. Saya akan dengar dari saudara-saudari saya di Ende dan mengajak semua untuk memikirkan bersama apa yang bisa dibuat.
Apa prioritas utama saat ini?
Prioritas saya adalah mengatur diri saya untuk dapat menjadi seorang saudara yang baik, saudara yang mengasihi dan kalau boleh dikasihi.
Bagaimana Monsinyur melihat peran Gereja dalam mendukung pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia di KAE?
Pendidikan adalah soal kunci, dan sejak awal menjadi satu prioritas Gereja di Nusa Tenggara, juga di Keuskupan Agung Ende. Sekarang konteks sudah berubah, tetapi komitmen kita tetap sama. Sebab itu, pelaksanaan dari komitmen itu tentu harus disesuaikan dengan situasi baru. Saya amat mengharapkan agar pendidikan, juga yang informal dan non-formal, terus ditingkatkan kualitasnya serentak diperluas jangkauannya.
Apa pandangan Monsinyur tentang peran Gereja dalam dialog antaragama di Indonesia, dan apa rencana untuk mempromosikan toleransi dan kerukunan?
Kita memelihara kasih persaudaraan dengan pemeluk semua agama. Juga dengan alam lingkungan. Paus Fransiskus amat menekankan kasih persaudaraan lintas ini. Kunjungan beliau ke Indonesia adalah sebuah bukti penghargaan beliau akan kasih persaudaraan lintas agama yang kita pelihara di Indonesia, serentak memberikan kita semangat untuk terus memperkuat komitmen kita untuk memelihara dan mempromosikannya.
Bagaimana melibatkan kaum muda dan memastikan dukungan terhadap pemberdayaan Kelompok Basis Gerejawi?
Kaum muda adalah masa sekarang dan masa depan Gereja. Saya yakin sudah ada banyak inisiatif di Ende untuk kaum muda. Pemberdayaan Kelompok Basis Gerejawi pasti diberikan prioritas. Soal bagaimana, saya harus bicarakan dengan saudara-saudari saya di Ende.
Dalam konteks globalisasi, bagaimana Gereja dapat tetap relevan dan dekat dengan umatnya di tingkat lokal?
Saya amat yakin akan kuatnya daya kasih persaudaraan. Dunia membutuhkan Gereja dan agama-agama sebagai model kasih persaudaraan dan suara yang mengingatkan akan pentingnya hal ini. Dan itu kita mulai di tingkat lokal, di dalam keluarga, di dalam KBG, di dalam paroki dan keuskupan.
Apa strategi membangun hubungan yang lebih kuat antara Gereja dan pemerintah lokal dalam upaya kesejahteraan masyarakat?
Sekali lagi, semangat kasih persaudaraan membawa konsekuensi juga dalam berhadapan dengan pemerintah lokal.
Apa pesan yang ingin disampaikan kepada umat di KAE?
KAE adalah kita, ini keuskupan kita. Tentu amat dimengerti, dengan adanya usukup baru ada banyak harapan. Tetapi, saya minta, agar harapan-harapan itu tidak hanya dipundakkan pada saya. Saya yakin bahwa seluruh umat sadar dan bersedia untuk mengambil bagian dalam usaha untuk mewujudkan harapan-harapan kita untuk kehidupan kita di KAE, dalam semangat persaudaraan. Bagi saya, partisipasi dalam memelihara dan mempromosikan kasih persaudaraan ini adalah ucapan syukur kita paling besar bagi para bapa Uskup yang terdahulu, sejak Mgr. Petrus Noyen, SVD, Mgr. Arnoldus Verstralen, SVD, Mgr. Hendrikus Leven, SVD, Mgr. Antonius Theisen, SVD, Mgr. Gabriel Manek, SVD, Mgr. Donatus Djagom, SVD, Mgr. Abdon Longginus da Cunha, dan Mgr. Vincentius Sensi Potokota. Karena kita mengasihi mereka dan mereka sudah menunjukkan betapa mereka mengasih kita, kita terus pelihara kasih persaudaraan itu.
Hermina Wulohering (Ledalero, NTT)
Sumber: Majalah HIDUP Edisi No. 31, Tahun Ke-78, Minggu, 4 Agustus 2024