HIDUPKATOLIK.COM – Negara ini harus memperhatikan para pejuang bangsa yang sudah berbuat untuk negeri ini. Jangan sampai bak pusara tak bernama.
PEMERINTAH Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) memberikan dukungan penuh atas pengusulan Letnan Anumerta Herman Yoseph Fernandez yang merupakan anak asli daerah itu menjadi Pahlawan Nasional.
Herman Fernandez, Frans Seda, Willem Wowor, dan Silvester Fernandez adalah remaja Flores yang mengarungi lautan Pulau Flores hingga Jawa untuk melanjutkan pendidikan. Hingga akhirnya nasib membawa Herman sebagai garda terdepan membela bangsa. “Jiwa petarung menyeberangi lautan kala itu hingga menginjakan kaki di Muntilan, Jawa Tengah menjadikannya prajurit pembela negara. Ini warisan berharga bagi generasi muda,” ujar Penjabat Bupati Flores Timur, Doris Rihi.
Herman Fernandez adalah anak asli Lamaholot yang gugur dalam perang mempertahankan NKRI. Berdasarkan penelitian dan dokumentasi yang diusulkan keluarga dan pemerintah, Herman dianggap layak jadi pahlawan. “Keluarga sudah berjuang. Tinggal pemerintah daerah menindaklanjuti perjuangan ini ke pusat,” ucap Doris.
Jangan Takut Mati
Tidak semua orang muda NTT rela keluar daerahnya untuk meneruskan pendidikan berhasil. Sebagian dari mereka gagal dan kemudian lebih menjadi beban keluarga. Sejak remaja, Herman tak ingin dianggap beban. Meski hidup seadanya, ia ingin mengepakkan sayap pengetahuannya. Awalnya tak terpikirkan akan banting stir menjadi patriot bangsa. Cukup menjadi guru yang baik dan kembali membangun negeri bunga tercinta.
Takdir membawanya dari cita-cita jadi guru hingga menjadi kusuma bangsa. Di usianya yang masih muda, ia memiliki cakrawala berpikir yang terbuka tentang hidup yang layak. Ia tidak sekadar merantau agar kaya cerita, tetapi ada satu harapan besar berbuat yang lebih untuk tanah air. Anak muda yang berani bertindak; keluar dari zona nyaman di bawah kepak sayap keluarga.
Cukup asupan nilai-nilai kebangsaan dan kekatolikan selama dididik keluarga dan dibina para imam Serikat Sabda Allah. Ia anak pendiam dan sopan tapi cekatan, pemberani dan berkemauan keras. Herman anak alam yang gemar bertualang menjelajahi gunung, bukit, dan hutan. Ia pandai membuat parang atau golok yang diberikan kepada petani yang membutuhkan.
Dalam hal karakter, Herman seorang yang memiliki amarah yang cepat mereda. Dia tidak pernah menyimpan sesuatu di hati. Dalam beberapa kesaksian diungkapkan bahwa Herman berhati lurus, berbicara apa adanya meski terkadang dianggap terlalu keras. Ini bukti bahwa Herman seorang yang memiliki ketangguhan mental.
Di Holandsche Indische Kweekschool Muntilan, Herman Fernandez menjalin persahabatan dengan banyak kawan baru dari berbagai suku. Ada yang dari Flores, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Ambon, Batak, dan lainnya. Antara lain Yos Sudarso, Alex Rumambi, Cornel Simanjuntak. Semua ini merubah pola pikir yang semula Flores sentris, berubah menjadi wajah Nusantara.
Sejak di Muntilan, Herman dikenal sebagai pribadi yang menolak keras sikap kepura-puraan. Ia berpikir dan berbicara dengan kritis, selalu mengatakan kebenaran. Herman selalu setia pada hal-hal sederhana. Relasi sosial yang dibangun bukan lagi berprinsip pada balas budi tetapi relasi persaudaraan tanpa syarat.
Di Sekolah Van Lith ini, selain mata pelajaran umum untuk menjadi guru, ia juga diajarkan semangat militansi, humanis, toleransi dan nasionalisme. Ia mengkolaborasi ilmu pedadodik dan semangat nasionalisme kala pendudukan Belanda. Meski batal jadi guru, ia tahu cara tepat mengajak kawan-kawannya menolak rencana Belanda saat ingin dilatih menjadi Seinendan dan Keibodan. Tanah air memanggilnya bersama patriot Sunda Kecil terjun ke dalam bara api revolusi.
Suatu hari ia diinterogasi Polisi Militer Belanda. Ia ditanya, “Kau lebih memilih mana, Negara Indonesia Timur atau Yogyakarta.” Dengan lantang Herman menjawab, “Yang kami kenal dan kami pertahankan cuma satu, NKRI.” Jawaban singkat tanpa kompromi ini membuatnya disiksa dan dipukuli berkali-kali. Ia wafat karena dituduh menembak mati Komandan Belanda Nex, padahal bukan perbuatannya. Penembakan ini dilakukan La Sinrang – temannya. Sebuah pengakuan beresiko tinggi. Harga sebuah kesetiakawanan sejati. Pengakuan ini berujung kematian. “Jangan takut mati. Mati ditembak lebih baik daripada mati konyol,” ujarnya pada La Sinrang.
“Angkat Senjata”
Dalam buku, Frans Seda Ad Multos Annos,1991, disebutkan Frans Seda adalah orang pertama yang memperjuangkan Herman menjadi pahlawan. Ia menghadap pemerintah untuk memperjuangkan agar Herman ditetapkan dan diakui sebagai pahlawanan, patriot bangsa. Para Muntilanners pun berusaha mengumpulkan dana untuk membuat sebuah patung pahlawan Herman di Larantuka. Sesuai arahan Frans Seda, patung itu dibuat dengan latar belakang sejarah pertempuran Sidobunder. Patung itu melukiskan Herman yang gagah, tinggi besar, berdiri tegak dengan mata menatap tajak ke depan. Sepucuk bedil disandang di belakangnya dan sepucuk lagi di pegang erat. Tangan kirinya sedang membopong sahabatnya Alex Rumamdi dalam posisi membungkuk dengan kondisi sekarat akibat terkena tima panas. Kini patung itu beridiri tegak di Taman Kota Larantuka, menjadi ikon kota Renya Larantuka.
Uskup Agung Ende, Mgr. Budi Kleden, SVD angkat bicara soal rencana penetapan Hermen Fernandez sebagai pahlawan. Teladan Herman menginspirasi orang-orang muda agar berani turun ke jalan mendobrak sebuah kekuasaan yang telah lupa akan tujuannya. Herman adalah model kepahlawanan baru bagi orang muda untuk mendobrak kemapanan elit politik yang meremehkan aspirasi rakyat. Kemapan ini nampak dalam politik uang yang kian sering dipakai merebut kekuasaan. Pola pikir yang terbatas pada kelompok tertentu, cara kerja yang oportunis, yang memanfaatkan semua peluang dan membenarkan segala macam cara untuk menghimpun kekuasaan, tampaknya telah menjadi sebuah cara politik yang diterima. Herman mengajarkan orang muda untuk menolak proses pembiasaan, pemapanan dan pengerasan pola pikir yang patut diragukan kadar moralitasnya.
Selanjutnya, Herman menjadi contoh dan teladan bagi orang muda agar menolak ketidakpastian sosial karena adanya rasa terancam dan saling mencurigai dari berbagai kelompok primordial. Saat ini dibutuhkan pahlawan yang “angkat senjata” ketika tidak ada ketidakpastian ekonomis karena keseluruhan kekuatan ekonomi yang ditentukan oleh para spekulan di pasar-pasar modal besar dunia, ketidapastian ekologis karena adanya fenomena pergeseran musim akibat terganggunya ekosistem.
“Mereka inilah para pahlawanan yang kita butuhkan sekarang ini. Wajah, kisah dan idealisme mereka perlu diangkat dewasa ini. Mereka adalah orang-orang yang perlu ‘dirayakan’ agar para penguasa sekarang yang sangat mudah berkamuflase di balik retorika demokrasi dapat diingatkan akan niat luhurnya,” sebut Mgr. Budi Kleden.
Khusus untuk calon pahlawan Herman, Mgr. Budi Kleden mengatakan jangan sampai yang dibiarkan berdebu dan terlantar dewasa ini adalah hanya kubur pahlawan tak dikenal, tetapi juga sebagian besar warga bangsa. Negara ini harus memperhatikan para pejuang jangan sampai bak pusara yang dilupakan. “Jangan sampai menjadi pusara tak bernama, seperti patung Herman di Larantuka, di depan gedung DPRD dan rumah jabatan bupati Flores Timur. Jangan menjadi sama seperti pusara tanpa nama, meski orang tahu perjuangannya luar biasa,” ujarnya.
Terakhir, Mgr. Budi mengatakan, sejarah Herman Fernandez, sejarah seorang anak rantau Flores Timur, pun mesti mengilhami orang-orang NTT, untuk berjuang lebih keras, agar tidak ada lagi perempuan dan laki-laki Lewotana yang dibiarkan menjadi korban perdagangan orang. “Herman Fernandez memanggil dan menginspirasi kita semua untuk berbakti bagi nusa dan bangsa, untuk rela berkorban demi gelekat (perilaku hidup) Lewotana yang lebih baik.”
Yustinus Hendro Wuarmanuk