web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Darurat Endemik di Papua: Antara Fakta dan Stigma Kutukan

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Papua menjadi wilayah endemik penyakit kusta. Penyakit harus dihilangkan tetapi jangan menjauhi penderitanya.

 “SAYA ini dianggap orang kotor. Makanya banyak orang tidak mau mendekat saya. Kalau mau membersihkan badan harus punya sabun dan pasta gigi sendiri. Harus punya handuk sendiri. Orang tua tidak punya uang untuk membeli sabun.”

Begitu cerita Nowela, 32 tahun. Sudah hampir 10 tahun, Nowela menahan malu. Warga Desa Majaran, Kecamatan Salawati, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya terbaring lemah. Kondisi tubuhnya penuh dengan bekas borok, bahkan jari tangannya tanggal akibat penyakit menahun yang dideritanya. “Saya sakit kusta sejak 2014 awal. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya kesepian, hanya berharap dukungan warga sekitar. Saya selesai,” ujar Nowela.

Memasuki rumahnya, aroma amis cukup tajam dari tubuhnya. Ia mengatakan aroma tersebut tidak seberapa dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Nowela, menderita penyakit kusta basah. Saat tubuhnya penuh dengan nanah yang berasal dari borok, banyak belatung pada lukanya yang memperparah sakitnya.

Masyarakat di Majaran merasa takut. Tak seorang pun yang mau dekat dengannya karena menganggap penyakit ini menular. “Semua jijik dengan saya karena memang busuk badan saya.”

Pemberian obat kepada seorang anak yang terinveksi kusta/ Dok. Yayasan Alfons Sowada

Merenggut Kebahagiaan

Cerita yang sama datang dari Joseph Yove (27), warga Desa Warmon, Kecamatan Aimas, Kabupaten Sorong. Ia bercerita betapa penyakit yang juga disebut lepra ini telah merenggut masa remajanya. Semangat hidupnya sirna. Bertahun-tahun, Joseph merasakan gejalanya sebelum akhirnya dipastikan kusta.

“Joseph sempat putus asa. Ia tidak bisa bergaul dengan teman-temannya karena kusta yang melumpuhkan sendi-sendi di tangan dan kaki. Ia tidak bisa berjalan sebelum menjalani pengobatan intensif di rumah sakit,” ujar Gideon Yove, sang ayah saat di wawancarai.

Baca Juga:  Percakapan Terakhir dengan Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM

Gideon mengaku syok mengetahui kondisi fisik anaknya dan penyakit yang menggerogoti anaknya. Joseph lebih banyak di kamar dan tidak ingin bertemu orang. Anaknya menderita kusta kering yang telah merenggut satu per satu jari Joseph. Gideon tidak menyangka penyakit yang diderita ini adalah kusta, penyakit yang disebabkan mycobacterium leprae yaitu bakteri yang tumbuh dengan lambat. “Awalnya anggap kami penyakit kurap atau kudis yang biasa di Sorong ini. Ternyata penyakit ini berbeda dengan penyakit kulit itu.”

Waktu Joseph diantar dan diperiksa di puskesmas, awalnya dipikir karena alergi sabun atau makanan sehingga diberi obat oles di tangan. Tetapi saat menginjak kelas 6 SD, gejalanya kian parah. Joseph sering demam berhari-hari dan terjadi pembengkakak semacam benjolan sebesar biji kelereng di permukaan telapan tangan. Setelah tes laboratorium dan sebagainya, ia menderita kusta. “Saya kasihan sekali dengan dia. Tubuhnya kurus dan tertekan batin. Cita-citanya menjadi tentara kandas. Kami sedih tetapi sudah berdamai dengan situasi ini.”

Seorang Suster PRR membantu membersihkan dan mengobati luka para penderita kusta di Desa Mumugu, Asmat/Yusti H. Wuarmanuk

Keadaan Nowela dan Joseph ternyata tidak membuat masyarakat sekitar bersimpati. Mayoritas justru antipasti dan tidak mau berdekatan dengan mereka. Banyak desas-desus negatif terus berembus akibat penyakit tersebut. Keluarga pun merasakan dampak hinaan dari warga sekitar. “Pernah warga meminta anak saya diasingkan ke hutan dan dibuatkan pondok yang penting jauh dari pemukiman penduduk. Saya katakan tidak. Biarlah saya dimusuhi. Saya akan tetap mengurus anak saya. Jangan ditinggalkan” pungkas Gideon.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Perhatian Serius

Papua menjadi wilayah endemik penyakit kusta yang penyebarannya tak hanya di pedesaan tetapi juga mencapai perkotaan. Kementerian Kesehatan melaporkan, masih ada enam provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta dan Indonesia menduduki posisi ketiga dunia penyumbang kasus kusta. Terdapat 17.251 kasus kusta di Indonesia yang terdaftar sepanjang 2023. Penyakit yang menyerang jaringan kulit, saraf tepi, hingga saluran pernapasan ini umumnya dialami masyarakat di Indonesia Timur. Tiga wilayah Papua menduduki posisi teratas yaitu Papua Barat prevalensi kusta paling tinggi yakni 13,60 kasus, kemudian Papua 10,77; dan ketiga Papua Barat Daya dengan prevalensi 8,20. Kemenkes mencatat bahwa terdapat 8.20 kasus kusta baru yang menyerang anak-anak dan sekitar 5,7 persen terjadi di Papua tahun 2023.

Kondisi ini memicu banyak orang tergerak berbuat sesuatu. Misalnya dr. Antonius Oktavian terpanggil menciptakan Rumah Sobat “Rumah Siap Obat dan Bekali Orang Kusta Ketrampilan”.Antonius mengatakan, di Rumah Sobat layanan bukan hanya semata-mata berbentuk kuratif tetapi juga preventif, promotif, dan edukatif dengan penambahan muatan ketrampilan untuk meningkatkan kualitas hidup para pengakses layanan. “Rumah ini mengadopsi posyandu balita dengan lima pojok; pojok pendaftaran, pengobatan, pemeriksaan, edukasi, dan ketrampilan,” ujar Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Papua ini.

Antonius menambahkan, setiap orang yang ada di Papua harus berani berbuat sesuatu untuk para penderita kusta dan penyintas kusta. “Kita harus mendorong mereka untuk tidak putus asa minum obat. Sementara kontak pasien dikurangi, tetapi terus mengedukasi dan paling penting penguatan psikologi,” ungkapnya.

Baca Juga:  Percakapan Terakhir dengan Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM

Ia menjelaskan pola hidup setiap individu yang tidak bersih serta sanitasi yang buruk merupakan faktor timbulnya penyakit ini. Namun, menurut Antonius, penyakit kusta dapat diobati hingga sembuh dengan rutin minum obat. Kusta bisa sembuh asal jangan terlambat minum obat supaya tidak timbul kecacatan.

Senada dengan itu, konsultan Kusta dan Frambusia Papua dan Papua Barat, Ary Pongtiku menambahkan jumlah penderita kusta yang terdata lebih sedikit dibandingkan penderita kusta di lapangan karena mereka enggan memeriksa diri dan tidak mau minum obat yang diberikan paramedis. “Mereka takut kalau-kalau ketika didiagnosa menderita kusta, mereka mendapat perlakuan tidak adil dan dikucilkan,” sebutnya.

Sambungnya, penanganan kusta harus maksimal. Tidak saja mengharapkan pemerintah semata, tetapi Gereja, instansi dan lembaga swadaya lainnya. Pengobatan medis, biarlah urusan dokter, tetapi kehadiran seluruh masyarakat untuk memberi penguatan adalah panggilan kemanusiaan.

Menurutnya, daerah yang menjadi epidemik kusta di Bumi Cendrawasih adalah Kota Jayapura, Timika, Sarmi, Nabire, Mamberamo Raya, Biak, Waropen, Asmat, Sorong, Supiori, Boven Digoel, Mappi, Merauke, Jayawijaya, Paniai, Kepulauan Yapen, Keerom dan Kabupaten Jayapura.

Antonius dan Ary sepakat bahwa dukungan keluarga sangat dibutuhkan bagi para penderita kusta agar kembali percaya diri. Stigma terhadap mereka harus dihilangkan dan yang terpenting adalah menyembuhkan penyakitnya. Penyakit harus kita hilangkan tapi jangan jauhi penderitanya.

Yustinus Hendro Wuarmanuk, dari Sorong, Papua Barat Daya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles