Pastor Jack, dalam Penanggalan Liturgi 2024, berkaitan dengan Hari Raya Kemerdekaan RI, diberikan catatan: “Menurut MAWI (sekarang KWI) 1972, Hari Raya Kemerdekaan RI dirayakan sebagai hari raya (Sollemnitas).” Apa makna perayaan liturgi dirayakan setingkat hari raya? Apakah dalam perayaan liturgi ini bisa dimasukkan penghormatan Bendera Merah Putih, pembacaan teks Pancasila dan Pembukaan UUD 1945?
Claudia, Jakarta
CLAUDIA, terima kasih atas pertanyaanmu. Dalam Pedoman Umum Misale Romawi, tingkat perayaan liturgi paling tinggi adalah Hari Raya (Sollemnitas). Tingkatan di bawahnya Pesta, lalu Peringatan Wajib dan Peringatan Fakultatif. Maka seharusnya umat ikut merayakan Misa Hari Raya ini bila tidak ada halangan. Selain itu, ciri Hari Raya liturgi antara lain dua bacaan dan bacaan Injil (Evangeliarium). Dalam Hari Raya liturgi lazimnya dinyanyikan atau diucapkan Kemuliaan (Gloria), Aku Percaya (Credo). Hari Raya Kemerdekaan, seperti Hari Raya liturgi lainnya, telah disediakan Prefasi khusus serta doa-doa presidensial (kolekta, persiapan persembahan, dan sesudah Komuni).
Apakah perlu penghormatan Bendera Merah Putih, pembacaan teks Pancasila dan Pembukaan UUD 1945? Untuk apa?
Liturgi bukan sekadar “upacara” melainkan perayaan dan pengungkapan iman. Dalam hal ini, Perayaan Ekaristi adalah ungkapan puji dan syukur kepada Allah. Dokumen Redemptionis Sacramentum (Sakramen Penebus) yang diterbitkan Kongregasi Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen (sekarang Dikasteri untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen), Tahta Suci memberi pedoman lebih rinci mengenai sejumlah hal yang perlu dilaksanakan dan dihindari berkaitan dengan Ekaristi. Dokumen ini mengajak para uskup, imam, diakon, dan umat beriman untuk lebih memahami, merayakan, dan menghayati Ekaristi sebagai Sakramen Penebusan.
Dokumen tersebut mengingatkan, “ … perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak akan kehilangan artinya yang otentik” (No. 78). Melalui dokumen ini, kita diingatkan agar fokus merayakan Ekaristi sebagai kurban syukur dan pujian kepada Allah. Dalam Perayaan Ekaristi, kita mengungkapkan iman bahwa Allah menguduskan kita dan kita mengungkapkan puji dan syukur kepada-Nya. Itulah makna otentik Perayaan Ekaristi. Maka perlu dihindari pengibaran atau upacara bendera agar Ekaristi tetap fokus sebagai ekspresi iman sebagaimana dimaksudkan oleh Gereja. Harapannya, Ekaristi tidak kehilangan makna otentiknya.
Apa makna ungkapan iman kita dengan merayakan Ekaristi Hari Raya Kemerdekaan? Makna terdalam adalah ungkapan syukur dan pujian kita kepada Allah atas anugerah kemerdekaan bagi bangsa kita. Ungkapan ini dirumuskan dengan begitu baik, benar, dan indah dalam Prefasi Tanah Air: “Sebab Engkau memperkenankan kami hidup di bumi Indonesia, di tengah pulau-pulau dan lautan biru, di antara gunung-gunung dan dataran subur, di negeri yang kaya akan sumber-sumber alam. Engkau membimbing kami menjadi satu bangsa yang merdeka dan bertanggung jawab, untuk mengolah sawah dan ladang, mengelola alam tanpa merusak lingkungan, memanfaatkan laut yang kaya, membangun kota dan desa serta menyiapkan hari depan yang lebih adil dan makmur dan sentosa. Di atas semua itu, kami bersyukur kepada-Mu, sebab Engkau telah menanam dalam hati kami iman dan cinta akan Yesus Kristus, Putra-Mu dan Penyelamat kami” (Konferensi Waligereja Indonesia, 2020, Tata Perayaan Ekaristi, Buku Imam, “Prefasi I Tanah Air,” Jakarta: Obor, Hal. 59).
Bagaimana musik dan nyanyian liturginya? Dalam buku doa dan nyanyian, seperti Puji Syukur dan Madah Bakti, telah disediakan musik dan lagu liturgis untuk itu. Misalnya, Puji Syukur 704-707 atau lagu-lagu lain bertema puji dan syukur seperti Puji Syukur 664-681. Bolehkah kita menyanyikan Indonesia Raya dan lagu perjuangan? Tentu boleh, tapi tempatnya bukan dalam perayaan liturgi. Genre nyanyian dan musik liturgi berbeda dengan lagu kebangsaan. Perlu diingat lagi, apa yang dinyatakan dalam Instruksi Musicam Sacram “ … kemeriahan sejati suatu liturgi tidak tergantung pertama-tama pada indahnya nyanyian atau bagusnya upacara, tetapi pada makna dari perayaan ibadat yang memperhitungkan keterpaduan perayaan liturgis itu sendiri dan pelaksanaan setiap bagiannya sesuai dengan ciri-ciri khasnya” (Instruksi tentang Musik dalam Liturgi: Musicam Sacram, No. 11).
Kardinal Robert Sarah (dulu Prefek Kongregasi Ibadat Ilahi dalam Disiplin Sakramen) pernah menegaskan: “Allah, dan bukan manusia, yang menjadi pusat liturgi Katolik. Kita datang untuk menyembah Dia. Liturgi bukan tentang kamu dan saya. Liturgi bukan tempat kita merayakan identitas kita, atau pencapaian atau pun pemuliaan. Liturgi bukan tempat untuk mendukung budaya dan kebiasaan religius lokal kita. Liturgi pertama dan terutama adalah tentang Allah dan apa yang telah Dia lakukan bagi kita” (Pidato Robert Kardinal Sarah dalam Konferensi “Sacra Liturgia” di London, 2016).
Kreativitas dalam merayakan Ekaristi Kemerdekaan RI boleh dilakukan dan harus dikukung. Perlu dirancang, dipersiapkan secara cermat, benar, baik, dan indah. Liturgi Gereja Katolik telah dibangun dan dikembangkan selama dua milenium, yang berakar dalam tradisi dan ajaran Gereja. Mari kita merayakan liturgi Ekaristi secara benar, baik, dan indah sesuai kaidah yang berlaku untuk itu, sebagaimana ditetapkan Gereja.
Pengasuh: Pastor Jacobus Tarigan – Alumnus Universitas Gregoriana, Roma, dan Dosen Liturgika STF Driyarkara, Jakarta
Majalah HIDUP, Edisi 31, Tahun Ke-78, Minggu, 4 Agustus 2024