HIDUPKATOLIK.COM – TAHUN ini, 2024, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) merayakan HUT ke-100. Menandai usia seabad itu, KWI memasuki gedung baru di kantor lama yang direnovasi total, Jalan Cut Meutia, Jakarta Pusat.
Dalam perjalanannya, KWI tak lekang dari dinamika perjalanan bangsa dan negara ini. KWI selalu hadir sebagai salah satu ‘benteng’ yang menyuarakan keprihatinan dan harapan bangsa ini.
Terbaru, KWI tak segan-segan menegaskan pendiriannya menyikapi tawaran Pemerintah dalam pengelolaan tambang. Tawaran itu disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia beberapa waktu lalu. Tawaran yang sama juga disampaikan kepada ormas-ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konghucu, Hindu, Buddha, dan Aliran Kepercayaan.
Tidak perlu mengunggu waktu lama, melalui pertimbangan yang matang, kepada HUDUP di Bandung, Jawa Barat pada hari Sabtu, 29 Juni 2024, Ketua KWI, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC dengan tegas menyatakan tidak menerima tawaran Pemerintah tersebut. “Sudah beberapa kali kami ditanyakan soal sikap kami yang menolak tawaran itu,” katanya di Gedung Bumi Silih Asih (BSA), Bandung.
Sekretaris Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian – Pastoral Migran dan Perantau, Pastor Marten Jenarut, pada hari Rabu, 5 Juni 2024, KWI telah menyampaikan sikapnya terhadap tawaran Pemerintah tersebut.
Pastor Marthen mengatakan, KWI adalah lembaga keagamaan dan diakui negara sebagai badan hukum publik berdasarkan staatsblad 1927 dan dikukuhkan dengan penetapan Kementerian Agama Republik Indonesia. Sebagai lembaga keagamaan, urusan dan peran KWI hanya berkaitan dengan tugas-tugas kerasulan diakonia (pelayanan), kerygma (pewartaan), liturgia (ibadat), martyria (semangat kenabian). Berdasarkan ketetapan Kementerian Agama, badan-badan dalam Gereja Katolik yang diakui sebagai badan hukum keagamaan adalah keuskupan, paroki, seminari, dan kongregasi-kongregasi.
Pastor Marthen mengatakan, dalam konteks tawaran negara bahwa lembaga keagamaan akan diberikan atau menjadi pemegang WIUP/IUP, KWI bersikap lebih memilih sikap tegak lurus dan konsisten sebagai lembaga keagamaan yang melakukan pewartaan dan pelayanan demi terwujudnya tata kehidupan bersama yang bermartabat.
Ditegaskannya, KWI selalu memegang prinsip kehati-hatian agar segala tindakan dan keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelayanan Gereja Katolik yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, keadilan solidaritas, subsidiaritas, kesejahteraan umum/kebaikkan bersama serta menjaga keutuhan ciptaan alam semesta.
KWI sebagai lembaga keagamaan Gereja Katolik, kata Pastor Marthen, lebih memilih untuk memantau secara kritis dan bijak berbagai realita pembangunan yang sedang berlangsung. Gereja Katolik selalu mendorong supaya tata kelola pembangunan taat asas pada prinsip pembangunan berkelanjutan, di mana pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Karena itu KWI sepertinya tidak berminat untuk mengambil tawaran tersebut.
Mengenai ormas, Pastor Marthen menjelaskan, di dalam Gereja Katolik tidak dikenal ormas keagamaan. KWI tidak menciptakan sebuah ormas dan atau ada ormas yang kedudukannya di bawah garis struktural KWI. Yang ada adalah ormas bentukan masyarakat dengan identitas dan semangat ajaran Agama Katolik. Karena itu ormas-ormas tersebut tidak dibawah garis struktur KWI/Keuskupan.Gereja Katolik sangat mengharapkan supaya ormas-ormas dengan nama Katolik untuk taat terhadap prinsip spiritualitas dan ajaran Sosial Gereja Katolik dalam setiap tindakkannya.
Perlu Pertimbangan
Dihubungi secara terpisah, mantan menteri Riset dan Teknologi/Kepala BPPT pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Mohammad A.S. Hikam memberi beberapa catatan terhadap tawaran dan sikap KWI tersebut.
Pertama, tawaran pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan tentu merupakan hak dan kewenangan kedua belah pihak, yaitu pemberi dan penerima.
Kedua, pihak ormas keagamaan secara normatif perlu mempertimbangkan secara rasional, profesional, dan dampak-dampaknya secara komprehensif, bukan saja keuntungan bagi organisasi, tetapi juga risiko-risikonya.
Ketiga, karena ormas juga memiliki tanggung awab kepada masyarakat umum dan bangsa, pertimbangan terhadap kemaslahatan umum harusnya jauh lebih diprioritaskan; termasuk dampak terhadap lingkungan yang menjadi perhatian dunia, khusunya kepada kondisi yang ada di Indonesia.
Keempat, dalam konteks Indonesia dan kondisi ormas sebagai bagian integral dari kekuatan masyarakat sipil, konsesi tambang bisa dilihat sebagai rasa tanggung jawab negara untuk memberikan dukungan kepada organisasi masyarakat sipil sesuai konstitusi dan aturan yang berlaku. Ini tentu suatu langkah positif dan maju.
Kelima, pada saat yg sama ormas juga harus bertanggung jawab agar selalu bisa akuntabel dalam hal ini. Apakah ornas yang bersangkutan memiliki kapasitas dan kemampuan baik SDM, manajemen, maupun profesionalisme dan lain-lain yang diperlukan secara serius.
Keenam, pertimbangan-pertimbangan tersebut perlu dikaji dan didiskusikan secara transparan dan luas, termasuk melibatkan opini publik dan pakar. Bukan hanya diputuskan oleh elit ormas yang mungkin saja sah secara legal, tetapi secara etik belum sepenuhnya.
Ketujuh, sikap KWI dan PGI bagi saya cukup fair dan menunjukkan adanya pertimbangan yang komprehensif. Bukan hanya dari sisi legal formal dan kepentingan organisasi tetapi tanggung jawab moral dan etik yg lebih luas.
Kedelapan, sikap Muhammadiyah yang menolak tawaran konsesi tambang juga menunjukkan kejujuran dan komitmen moral di atas kepentingan organisasi yang lebih sempit kendati mungkin bisa saja dirasionalisasi dengan berbagai argumentasi yang tersedia.
Kesembilan, sikap PBNU lebih menunjukkan pragmatisme elitnya, kendati ditolak oleh sebagian komponen yang ada di dalamnya. Perdebatan di kalangan NU merefleksikan adanya perbedaan pandangan dan pendekatan tentang bagaimana respons terhadap kebijakan negara. Kubu pragmatis tampaknnya masih lebih unggul di kalangan elit ormas Islam tersebut.
Mendukung
Parulian Sihotang selaku mantan Deputi Menteri Energi, Sumber Daya Minieral pada masa Ignasius Johan mengatakan, mendukung sikap yang diambil oleh KWI. “Pada kondisi situasi politik dan praktik bisnis saat ini, saya tidak setuju KWI menerima. Sangat rentan dipolitisasi dan digunakan uuntuk dikooptasi. Masih ada bisnis lain ya lebih layak,” jawabnya atas pertanyaan HIDUP secara digital. Saat ini, Parulian bekerja di Inggris.
“Saya enggak paham dari sisi etika/ajaran Gereja atau sisi politisnya. Tapi dari aspek bisnis saya kira terjun di bisnis tambang enggak ada bedanya terjun di bisnis lain. Misalnya apakah KWI ada hubungan kepemilikan dengan Raptim Indonesia? Hanya saja bisnis tambang selain diregulasi oleh Kemenhumkam melalui aturan terkait Badan Usaha (PT, CV dll) juga diregulasi oleh Kementerian ESDM. Bisnis ini agak “over-regulated”. Sebenarnya terlihat dalam bisnis Tambang merupakan peluang juga untuk memberikan contoh (best practice) tentang bisnis tambang yang memenuhi aspek Environment, Social and Governance (ESG) dalam arti yg sebenarnya (bukan simbolik seperti sekarang ini kebanyakan bisnis mengaku bet-ESG tapi praktik bisnis nya jauh dari prinsip ESG),” papar Parulian lebih jauh.
“Sorry, ini memang agak dilematis. Tapi saya kira sudah benar jika Para Bapa Uskup sebaiknya menggunakan pendekatan etika,” tambah Parulian seraya menambahkan, “Banyak masalah (dosa) sektor ini di masa lampau. Kalau ormas keagamaan masuk, akan dijadikan tameng seperti untuk menghapus dosa.”
Hasiholan Siagian
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 29, Tahun Ke-78, Minggu, 21 Juli 2024