HIDUPKATOLIK.COM – AKU duduk mematung di sudut sebuah kafe di pinggir kota. Jendela kaca yang hanya beberapa jengkal berada di hadapanku, menyodorkan pemandangan senja yang memikat. Kemilau jingga sang surya memendarkan kemolekan tiada terkira.
Sembari menanti temanku, Maya, datang, aku mencecap keindahan semesta yang kerap terabaikan manakala kesibukan sehari-hari menjeratku. Tak terasa anganku melesat jauh, seakan aku ikut melenggang di angkasa.
Seandainya aku dianugerahi kesempatan untuk menyongsong petang ini bersama mendiang suamiku, tentu perbincangan akan bergulir ke sana-kemari. Segala hal bisa menjadi topik yang tiada habisnya. Debat kusir pun riuh tiada berujung. Bukankah sejatinya perkawinan merupakan perbincangan yang panjang dan berkelok? Sayangnya, banyak temali perkawinan teretas akibat percakapan suami-istri yang tersendat dan tak lagi lancar. Yang terluncur justru amarah dan umpat.
Tak terasa air mataku mengalir di pipi. Bayangan Mas Danang hilir-mudik di benakku. Kepergiannya begitu mendadak. Aku belum siap… dan sepertinya tidak akan pernah siap ditinggalkannya. Nyatanya, waktu tak kunjung menepis kenangan akan sosoknya. Duka malah menjadi-jadi dan membiak di dadaku.
Kulirik arloji di tanganku. Pukul 17.30.
“Halah si Maya sudah ngaret setengah jam,” desisku mulai kesal.
Sejurus berselang Maya, rekan sesama janda, menyembul di balik pintu kafe. Parasnya sumringah. Senyumnya menyiratkan sukacita.
“Maaf, Maria, aku telat. Ada acara dengan pacar,”dalihnya seraya mengerlingkan mata.
“Pantas kau ceria sekali. Ternyata, punya gebetan baru nih,” balasku diiringi senyum tipis.
Tanpa kutanya, Maya mengisahkan pertemuannya dengan lelaki yang mencuri hatinya. “Aku lelah sendirian, Maria,” bebermu. Maya berharap relasi mereka akan berujung di pelaminan. “Mudah-mudahan aku segera menanggalkan predikat janda,” kata Maya.
Aku tengah termangu mendengarkan kisahnya tatkala ia berkata, “Ayo menyusul, Maria!”
Aku membalas ajakan itu dengan segaris senyum.
***
Hari itu, setahun yang lalu, langit terasa runtuh. Selang sesaat setelah menikmati sarapan, kudapati Mas Danang tak lagi bernapas di kamar tidur. Ia tengah bersiap-siap hendak ke kantor. Padahal beberapa menit sebelumnya, ia masih berceloteh panjang lebar disisipi canda. “Mas mengapa secepat ini kau pergi?” ucapku dikuntit lolong tangis.
Begitulah hidup, kerap mengusung kejutan-kejutan. Tawa dan tangis mewarnai tak terelakkan. Baru saja tawaku berderai mencerna guyonan Mas Danang, selang sesaat air mata sulit kubendung. Kepergian Mas Danang mengajariku untuk ikhlas. Sejak itu, setiap hari aku jatuh bangun belajar ikhlas.
Sempat menyeruak semburat sesal; mengapa tak kupupuk kemandirian dalam perkawinanku. Kusadari, sebagaimana kebanyakan perempuan, ada kecenderungan naluriah untuk menolak perubahan. Kini, setelah tak bersuami, aku tidak bisa sekadar berangan-angan tentang perubahan.
Aku juga tidak bisa mengulur waktu demi terjadinya perubahan dengan sederet dalih; menunggu perasaan tenang atau kepedihan beranjak. Sesungguhnya, perubahan perasaan akan mengikuti perubahan tindakan. Bukan sebaliknya! Setapak demi setapak perubahan perlu kurintis.
Kepergian suami bukanlah kiamat bagi rumah tangga. Dengan kesadaran dan kemauan untuk bangkit, kaum perempuan bisa mengambil alih kendali rumah tangganya. Badai bakal reda. Sebagai janda, aku harus menjunjung harkatku. Jangan sampai ada cibiran yang menghampiri telingaku. Cibiran ibarat segenggam sekam yang mendekam di hatiku.
Hal lain yang perlu kutaklukkan adalah sepi. Sepi itu bagai lintah. Lintah itu beranak-pinak, mengerubungi dan menghisapku. Pergumulan mengusir sepi bukanlah pergumulan yang mudah. Hingga kubulatkan tekad untuk mengganti sepi dengan makna. Kuikuti cara Maya, mencari teman melalui aplikasi online. Sengaja kupilih cara ini agar tidak menyulut gibah di antara ibu-ibu sepergaulan.
“Lagi pula ini bukan pengkhianatan terhadap Mas Danang,” hiburku. Aku butuh seseorang yang bisa menemaniku melintasi masa-masa kelabu. Setelah pilih sana-sini, akhirnya aku mulai merajut relasi dengan Duta. Lewat sapa-menyapa awal, sepertinya ada tumpang tindih kemiripan di antara kami.
***
Sudah tiga purnama Maya tidak berkirim kabar. “Mungkin dia sedang dilanda bahagia bersama pacarnya,” terkaku. Mabuk-kepayang bisa membuat orang lupa diri. Pada saat-saat demikian, keberadaan teman menjadi tak seberapa penting. Jika hati sedang sarat asmara, waktu seolah tak ingin dibagi dengan yang lain. Aku mahfum.
Sementara aku pun tengah diselimuti bahagia. Sepi yang menyungkup mulai luruh berkeping sedari Duta hadir di dalam hidupku. “Selamat pagi, Maria. Bagaimana tidurmu semalam?” sapa Duta lewat ponselku manakala fajar baru saja mengintip di kaki langit. Lantas, nyaris di sepanjang hari, teks-teksnya menghujani diriku. Sempat muncul larik-larik pertanyaan di benakku; apakah teks-teks itu tidak memecah konsentrasinya bekerja?
“Kamu sedang apa, Sayang? Aku selalu membayangkan dirimu,” ucapnya mengokang rayuan.
Kalimat-kalimat Duta kerap menerbangkan khayalku. Sesekali aku terpelanting pada realitas. Betapa nalarku seakan terpasung. Aku malu pada diriku sendiri! Aku lupa usia. Aku lupa anak-anakku telah dewasa.
Setelah beratus-ratus teks membasuh sepi, akhirnya kami berjumpa. Pertemuan pertama itu berlangsung di restoran berkelas di sebuah mal mentereng di pusat kota. Di bawah tempias cahaya lampu, kupergoki paras tampan Duta yang seakan menyihirku. Aku pun bersulang asmara dengan dia.
Begitulah yang terjadi, tatkala berada di puncak bahagia, banyak hal terabaikan. Bahkan sekadar melayangkan sapa lewat ponsel untuk Maya pun, aku enggan melakukannya. Sebagaimana Maya, pada akhirnya aku mengalami hal serupa…
***
Senja baru saja menyapa, tatkala Maya mengirim teks WhatsApp padaku.
“Aku kangen kamu, ingin berbagi cerita,” tulisnya.
“Tumben kau ingat aku,” balasku.
“Maafkan aku, waktuku sempat tersita gara-gara punya pacar,” ungkapnya disertai emoticon mewek.
Pada hari yang disepakati, aku datang lagi ke kafe langganan. Hujan baru saja usai, menyisakan hawa sejuk yang menerpa kulitku. Kulihat Maya telah memojok di samping jendela kafe. Tatapan matanya mendung, menukik pada bahu jalan yang masih basah sehabis diguyur hujan. Mendung di matanya itu segera luruh menjadi bulir-bulir air yang berlompatan dari ceruk matanya yang cekung.
Aku tidak tahu sama sekali apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya belakangan ini. Ia tidak pernah berkabar. Sekian menit, aku membiarkan Maya tepekur. Ia mencoba menata kembali mozaik-mozaik kisah yang masih berjejak di lumbung ingatannya.
“Aku diporoti pacarku, Mar. Sekitar 100 juta rupiah, peninggalan suamiku, raib,” bebernya terus terang tatkala isaknya terhenti.
“Bagaimana kejadiannya?” kejarku diburu keingintahuan yang menggebu.
“Dia mengakali aku dengan ajakan berbisnis bareng,” lanjutnya dengan dahi kisut.
“Ooo pantas beberapa bulan ini kau menghilang karena sibuk berbisnis ya,” timpalku.
Dengan paras masai, Maya mengangguk lemah.
“Aku diperdaya atas nama cinta,” katanya lagi dengan suara selirih bisik. Kubayangkan, sesal menggunduk di dada perempuan berusia separuh abad ini.
Lantas, Maya menyodorkan foto lelaki itu di ponselnya.
Dadaku sontak bergemuruh. Butiran-butiran peluh mendadak mengalir di tubuhku. Tanganku bergetar tatkala kucermati foto itu…
“Duta…,” ucapku lemas.
Oleh Maria Etty
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 28, Tahun Ke-78, Minggu, 7 Juli 2024