web page hit counter
Jumat, 18 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Seminari Menengah St. Yosef Tarakan: Berjuang Menumbuhkan Benih Panggilan di “Keuskupan Kaum Migran” 

4.3/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM SUARA merdu puluhan seminaris menggema di ruang serbaguna berdinding kaca yang terletak di lantai dasar salah satu gedung Seminari St. Yosef di Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara. Minggu pagi itu, 19 Mei 2024, mereka merayakan Hari Raya Pentakosta bersama Uskup Tanjung Selor, Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF dan Rektor Seminari Menengah St. Yosef, Pastor Severinus Peri. Segelintir umat awam yang tinggal tak jauh dari kompleks seminari turut hadir.

Ini kali pertama seminari mengadakan Perayaan Ekaristi pada sebuah hari raya bersama Sang Gembala Utama dan umat sekitar. Mgr. Yan pun memberi respons positif. Bahkan ia berharap kelak para seminaris dapat membentuk sebuah orkestra yang bisa tampil dalam berbagai kegiatan, baik di dalam maupun di luar kompleks seminari.

Kemampuan bernyanyi di kalangan para seminaris merupakan satu keunggulan tersendiri. Namun seminari yang resmi berdiri pada tanggal 8 Juli 2011 ini masih memiliki pekerjaan rumah. “Keuskupan Tanjung Selor disebut sebagai ‘Keuskupan Kaum Migran.’ Artinya, sebagian besar umat Katolik datang dari luar, mereka pendatang dan transmigran. Tantangannya kompleks,” ujar Pastor Peri, seraya menyebut beberapa suku seperti Dayak, Flores, dan Toraja.  

Pertama, aspek kepribadian. Sebanyak 31 seminaris yang tengah menempuh studi Kelas I (13 orang), Kelas II (12 orang), Kelas III (2 orang), Kelas IV (3 orang), dan Kelas Persiapan Atas atau KPA (1 orang) berasal dari keluarga dengan latar belakang berbeda-beda. “Ada seminaris yang mendapat pendampingan dengan baik, ada yang tidak. Misalnya, soal kepekaan. Cara saya melihat mereka peka atau tidak adalah ketika saya bekerja. Hanya satu atau dua orang yang menawarkan bantuan. Akhirnya tahun lalu saya ungkapkan hal ini. Tapi masih ada yang belum paham,” imbuhnya. 

Baca Juga Artikel:  Rumah Dehonian: Menjadi Ruang Perjumpaan
Pastor Saverinus Peri, Pr (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Kedua, finansial. Sebagian besar seminaris berasal dari keluarga kelas bawah. Dengan kondisi seperti ini, seminari berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga keberlangsungan hidup para seminaris. Salah satu caranya adalah beternak ayam petelur. Saat ini seminari memelihara 60-an ekor ayam kampung. “Satu butir telur kami jual Rp 5.000. Jika panen banyak, kami jual kepada umat. Sekitar tiga-empat hari sekali. Kadang saya beli juga untuk para seminaris,” ungkapnya.

Memenuhi Kebutuhan

Di usia hampir 13 tahun, seminari baru menghasilkan tiga imam meski hampir 200 orang pernah mengenyam pendidikan di sini. Masih jauh panggang dari api jika menilik latar belakang pendirian seminari. “Keuskupan Tanjung Selor didirikan tahun 2002. Sejak 2002-2009 hanya ada tiga imam (praja) di Keuskupan Tanjung Selor. Tahun 2010 ada tahbisan. Memang ada sekitar 30 imam tarekat dan diosesan dari keuskupan lain yang membantu. Tapi tidak mungkin situasi begini terus, sementara jumlah umat bertambah dan wilayah pelayanan semakin luas,” ujar Pastor Peri.

Misi seminari antara lain mendidik dan mendampingi para seminaris agar menjadi pribadi-pribadi yang utuh dalam kesucian, kesehatan, dan pengetahuan menuju kedewasaan sesuai umur mereka agar mampu mengambil keputusan berdasarkan suara hati secara bebas dan bertanggung jawab; mendidik dan memotivasi para seminaris agar mau bangkit saat mengalami kejatuhan dan selalu membarui diri; mendidik dan melatih para seminaris agar mampu mengenali dan mencintai kondisi jasmani mereka serta menjalankan tugas pelayanan dengan baik; dan mendidik dan membina para seminaris untuk menumbuhkan kesadaran belajar dan pengembangan diri serta mengaktualisasikan gagasan dalam tugas dan tanggung jawab.

Baca Juga Artikel:  Rumah Dehonian: Menjadi Ruang Perjumpaan

Seminari juga menanamkan nilai-nilai dasar dalam diri para seminaris melalui proses formasi sebagai bentuk pengejawantahan nilai-nilai dasar Injil, yakni iman, harapan, dan kasih.

Strategi yang dilakukan antara lain menanamkan kebiasaan hidup rohani; menanamkan pola hidup sehat; memotivasi dan memupuk semangat belajar dan pengembangan diri; melatih para seminaris untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi tugas dan tanggung jawab; meningkatkan pemahaman iman akan Kristus, tradisi dan ajaran Gereja Katolik; dan melibatkan para seminaris dalam kegiatan Gereja dan masyarakat. 

“Tujuannya membantu pertumbuhan humaniora, keilmiahan, dan kekatolikan para remaja dengan mewujudkan benih-benih panggilan untuk pelayanan imamat, mengembangkan kebebasan pribadi para seminaris sesuai dengan usianya, dan memampukan mereka untuk tanggap terhadap rencana Tuhan. Tujuan khususnya adalah mendidik para calon imam yang akan berkarya di Keuskupan Tanjung Selor sehingga terpenuhi kebutuhan akan pelayanan bagi umat,” ungkap Pastor Peri.

Tiga staf dan lima guru siap mewujudkannya melalui proses belajar-mengajar yang berlangsung setiap hari mulai pukul 07:00-14:00 WITA di SMAS Frater Don Bosco di Kota Tarakan dan pukul 17:00-19:00 WITA di seminari. Mata pelajaran khusus mencakup Bahasa Latin, Kitab Suci, Sejarah Gereja, Liturgi, Public Speaking, Analisis, Iman Katolik, Katekese, Profil Keuskupan Tanjung Selor, Spiritual Imamat, dan Akademi.

Perubahan

Bagi Lidwina Santi, staf guru yang mengajar Public Speaking dan Liturgi, para seminaris memiliki karakter yang berbeda dibanding anak sekolah pada umumnya. “Saat saya masuk kelas, mereka selalu menyapa. Kalau saya beri tugas, mereka selalu kerjakan, walaupun ada sebagian yang menunda. Soal kehadiran juga, mereka selalu standby sebelum kelas mulai,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa ia menekankan partisipasi aktif di kelas.

Baca Juga Artikel:  Rumah Dehonian: Menjadi Ruang Perjumpaan
Suasana belajar-mengajar di kelas (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Perubahan semacam ini dirasakan oleh Carolus Kalvinus Raga, yang saat ini duduk di Kelas II. “Pertama soal berbicara. Dulu saya malu-malu, tapi saya belajar di sini. Kedisiplinan juga. Di rumah kalau bangun saya harus diteriaki, tapi di sini sudah ada waktunya. Kehidupan doa juga semakin mendalam. Saya bisa mengatur jadwal doa saya sendiri. Bahkan saya menjadikan doa pribadi dan devosi menjadi hal rutin,” ujar anak kelima dari enam bersaudara ini.

Senada, William Gratiawan, yang saat ini duduk di Kelas IV, merasakan banyak perubahan. “Kelas I jadi masa orientasi, saya harus mengenal ritme hidup di sini, aturan dan aspek-aspek yang ditekankan seperti hidup rohani, hidup studi, hidup komunitas. Kelas II adalah masa peralihan. Ada dua aspek yang ditekankan: hidup rohani dan hidup studi. Ada pertanyaan refleksi, apakah lanjut atau keluar. Ternyata saya memilih lanjut, karena saya bahagia hidup di seminari. Saya rasa apa yang saya pilih adalah rahmat dari Tuhan. Kelas III jadi masa yang cukup berat karena sebagian teman seangkatan memilih mengundurkan diri. Saya sempat goyah,” kenangnya.

Hal ini sejalan dengan apa yang disimpulkan oleh Ekonom Seminari Menengah St. Yosef, Pastor Benidiktus Paulus, bahwa pembinaan para seminaris menjadi hal utama. “Saya ingin membuat mereka merasa bertanggung jawab. Caranya? Mereka belajar serius, memberi empati kepada umat,” tegasnya.

Katharina Reny Lestari

Sumber: MAJALAH HIDUP, Edisi No. 23, Tahun Ke-78, Minggu, 9 Juni 2024 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles