web page hit counter
5/5 - (1 vote)

Breaking News

TRENDING

HEADLINES

Subscribe to newsletter

Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Palangka Raya, Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka MSF: Membumikan Kekudusan

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 14 Juli 2024 Hari Minggu Biasa XV. Am.7:12-15; Mzm.85:9ab,10,11-12,13-14; Ef.1:3-14 (Ef.1:3-10), Mrk.6:7-13

UMAT yang beriman kristiani oleh St. Paulus  disebut sebagai umat yang terpilih menjadi anak-anak Allah. Karunia dan berkat rohani diterima sebagai rahmat penebuasan dan pengampunan dosa. Pernyataan St. Paulus kepada jemaat di Efesus ini menguatkan kita dan memberikan optimisme dalam hidup sehari-hari.

Betapa tidak, itulah kekayaan rohani yang sebenarnya, karena dengan karunia itu kita mendapatkan hikmat dan pengertian untuk mencapai hidup  abadi. Oleh karenanya, kita sekaligus mendapatkan tugas untuk mewartakan Kristus yang telah mengorbankan diri dengan darah-Nya untuk menyelamatkan  semua orang (Ef. 3:1-10).

Penjelasan St. Paulus itu membawa kita pada permenungan, lalu apa yang semestinya kita lakukan sebagai murid-murid Kristus, setelah setelah mendapat anugerah “gelar anak-anak Allah”, dengan segala berkat yang menyertainya? Hal yang dituntut sebagai konsekuensinya ialah agar kita hidup kudus dan tak bercacat di hadapan Allah. Lalu kongkritnya bagaimana?

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Di dalam Perjanjuan Lama, dijelaskan adanya Bait Allah, tempat kudus yang dipakai beribadat oleh para Raja khususnya dan kebanyakan umat Allah pada umumnya. Memang kekudusan pertama-tama dikaitkan dengan tempat Allah bertahta, karena hanya Allahlah yang kudus, bahkan sumber segala kekudusan.

Memang tepatlah, kekudusan pertama-tama dikaitkan dengan Allah sendiri, lalu tempat Allah berada, dan selanjutnya pada tindakan atau kegiatan beribadat dalam menghormati dan memuji Allah. Cukupkah kekudusan itu hanya menjangkau seputar altar atau tempat ibadat kita? Bukankah kita seharus  memperluas dan membawa kekudusan itu ke tengah-tengah masyarakat dalam kegiatan sehari-hari?

Dalam Injil Yesus berpesan kepada para murid-Nya untuk mewartakan pertobatan dan mengusir setan-setan, membersihkan orang-orang dari segala kejahatan dan menjadi kudus terbebas dan segala kuasa roh-roh jahat.

Yesus memembekali mereka berkuasa atas roh-roh jahat,  dan menyembuhkan orang sakit (bdk. Mrk. 6:7-13). Kekudusan dalam kehidupan sehari-hari menjadi pernyataan karya keselamatan dari Allah melalui Yesus. Oleh karena itu makna dan pengaruh kekudusan juga muncul dalam kehidupan orang beriman sehari-hari secara kongkrit dan nyata.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Sabda Bahagia (Mat. 5:3-12) yang kadang terasa kurang mudah dipahami, mengarahkan pada kekudusan juta. “Berbahagialah orang miskin, di hadapan Allah, karena merekalah yang punya Kerajaan Surga.

Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.” Namun Sabda Bahagia ini benar memberikan kenyataan iman yang dapat diprkatekkan dalam hidup sehari-hari seperti disampaikan dalam ensiklip Paus Fransiskus. Perlu permenungan yang mendalam, dan berani untuk mengadakan penyesuaian dengan Sabda Tuhan dalam Sabda Bahagia itu.

Paus Fransiskus dalam Ensikliknya Gaudete et Exsultate (Bergembira dan Bersukacitalah) menjelaskan makna kekudusan itu dalam konteks hidup kenyataan sehari-hari. Khususnya ditekankan pada pelayanan kepada Tuhan dalam diri orang miskin, lapar, terasing, dipenjara, dan yang sakit.

Kekudusan tidak dimaksudkan hanya sebagai pengertian kultis, ibadat dan doa dalam Gereja saja, tetapi harus menyentuh setiap pribadi, seperti dicontohkan oleh para Kudus, seperti St. Ignatius Loyola, St. Philipus Neri, Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Teresia dari Kalkuta, dll. Mereka digelarkan kudus karena relasinya dengan Allah yang terungkap dalam pelbagai kehidupan mereka. Mereka dapat mengintegrasikan hubungannya dengan Allah itu secara padu; apa yang dipahami, dan didoakan, itu semua dibawa ke dalam kegiatan untuk membantu sesama.

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

Justru kegiatan sehari-hari itulah yang seharusnya diarahkan dan mendukung orang beriman menjadi kudus. Dengan lain kata kekudusan bukanlah status atau gelar yang bersifat statis, namun merupakan tindakan nyata yang terus berlangsung dan berkembang mendekatkan  seseorang kepada Allah.

Sikap dan pandanagan positif, tidak mengadili sesama, sudah membuka peluang untuk membawa orang kepada kekudusan juga. Oleh karenanya, senada dengan anjuran Gaudete et Exsultate, itu kita perlu membumikan kekudusan itu dalam tindakan dan perbuatan yang dampaknya bermanfaat untuk Gereja dan masyarakat pada umumnya.

“Justru kegiatan sehari-hari itulah yang seharusnya diarahkan dan mendukung orang beriman menjadi kudus.”

Sumber:Majalah HIDUP Edisi No. 28, Tahun Ke-78, Minggu, 14 Juli 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles