HIDUPKATOLIK.COM – “WIN, kapan pulang? Tengoklah kawanmu ini. Beberapa teman masa kecil kita menanyakanmu juga. Kemarin aku jumpa Slamet dan Ponco di Warung Mak Mini, mereka juga tanya kabarmu. Ah, orang kota, sibuk terus. Kerja terus. Mau jadi konglomerat ya?” tanya Maryu.
“Wah, Mak Mini. Aku ingat gorengannya. Bakwan, sukun, dan tapenya uenak tenan,” kataku.
“Heh, pulanglah. Ambillah cuti barang seminggu,” kata Maryu.
Sesungguhnya ada pula hasratku untuk pulang. Eh, ‘pulang’ ya? Kata itu terasa sedikit menjauh dariku. Telah cukup lama kata itu tidak kuucapkan. Mulai samar-samar dan jarang kusebut. Obrolan kami di ponsel berakhir ketika mataku selintas melihat kaprodi berdiri tidak jauh dariku. Aku tahu, ia menungguku. Segera kutemui dia.
Tanpa kurencanakan berjumpa teman-teman, nyatanya aku pulang juga. Ibulah yang menghendakiku pulang. Dalam peringatan 1000 harinya, peringatan arwah yang terakhir menurut adat Jawa, kami tiga kakak beradik memutuskan pulang, mengadakan misa peringatan arwah di rumah, mengundang umat di lingkungan dan mengirim antaran ke rumah-rumah tetangga.
Jalan provinsi memang tidak jauh dari rumah. Lalu lintas lebih padat daripada dulu. Tetapi, mendekati kampungku, suasana lebih sunyi. Di lembah bukit gedung seminari menengah masih kokoh berdiri. Bangunan zaman Belanda itu tampak dingin dan diam di balik kabut pagi yang mulai samar termakan matahari yang makin hangat. Kabarnya, tahun ini tidak banyak lagi anak remaja yang tertarik masuk ke sana. Kedisiplinan, semangat belajar, betapa pun menghasilkan beberapa prestasi baik di tingkat provinsi dan nasional, juga keteraturan hidup rohani tidak mampu dihadapi generasi strawberry. Kali di depan seminari yang dulu gemuruh suaranya kini tidak deras lagi. Airnya mengalir lemah dan sangat sedikit hingga sebagian dasar kali ditumbuhi rumput liar lengkap dengan sampah plastik yang tersangkut.
Cakruk di pojok kampung masih hijau daun catnya, tapi sekarang jauh lebih pudar. Dinding kayunya pun tidak utuh lagi. Beberapa paku berkarat mencuat, memanggil tangan-tangan lengah untuk terluka dan berdarah. Mbah Dilan biasanya ada di sana sambil merokok lintingan, kini tak tampak lagi. Mungkin kakek itu telah meninggal. Seorang tua yang duduk di atas motor menawariku ojek tetapi kukatakan bahwa rumahku tidak jauh, aku akan jalan kaki saja. Ujung mataku melihat dia memundurkan motornya. Ada sedikit tremor tangannya. Jalan pun goyang.
Dari kejauhan, wuwungan rumah terlihat. Tidak lebih tinggi dari rumah tetangga, tetapi, dari tempatku berdiri, wuwung kresna rumah kami tampak jelas. Rumah kayu berusia puluhan tahun itu sudah ada sejak ibuku masih kecil. Catnya hijau bergaris kuning. Masih sama seperti saat kutinggalkan dulu. Hamparan rumput jepang di halaman depan tumbuh berdesak-desakan di tepi, tidak rapi. Di tengah halaman, krakalan memanjang hingga tangga berundak di depan rumah. Guguran daun sawo dan jambu biji terselip-selip di antara batu-batu kecil itu. Waktu Bapak masih ada, halaman rumah selalu bersih karena energinya untuk bekerja tetap ada meskipun sudah bertahun-tahun pensiun dari Kementerian Agama tempatnya bekerja.
“Aku habis waktu membersihkannya,” kata Nug, adikku yang menempati rumah keluarga itu.
Aku tidak bisa menyalahkannya. Dia sendiri sibuk bekerja. Rumah limasan lambang teplok itu memang terlalu luas bila dia sendiri yang membersihkannya. Di antara rumah depan dan rumah belakang ada longkangan, semacam ruang terbuka yang luasnya sedang. Ruang terbuka yang di sisi kiri beratap itulah yang kami sebut ruang keluarga. Segala ragam cerita keluarga pernah ada di gazebo itu. Perabotan di sana membisu dan dingin. Ada bercak jamur kayu di permukaan meja.
Misa arwah tinggal nanti malam, tetapi siang ini masih sepi. Tidak ada ibu-ibu tetangga yang berkumpul memasak di longkangan seperti biasanya kalau ada acara di kampung. Ibu-ibu itu telah terlalu tua untuk membantu-bantu sedangkan anak keturunannya hampir semua merantau. Kampung banyak berisi lansia. Tidak terdengar lagi anak-anak yang riuh bermain jethungan, sundhah mandhah, atau naik sepeda kumbang yang berplanthangan.
“Lagian repot, Mbak. Lebih praktis pesan saja. Si Danti, kawanku SMP buka catering. Tuh tokonya di kiri jalan arah Akmil,” kata Nug.
Tiba-tiba aku merasa rindu suasana akrab ibu-ibu yang sibuk di pawon dadakan. Ada yang mengaru nasi, ada yang menggoreng, juga ada yang menata besek-besek. Sambil bercanda dan berceloteh. Tidak ada lagi bapak-bapak dan pemuda yang masang tratag dan sibuk di bagian patehan. Sepi, sehening kapel seminari.
Maryu datang jelang sore. Wajahnya sumringah, senang dengan kepulanganku. Segera saja kisah-kisah keusilan kami di masa kecil kembali terburai.
“Win, ingat waktu kecil kamu ingin ke Amerika?” tanyanya.
Seketika aku tertawa mendengarnya. Ketika kali di depan seminari masih deras, kami sering bermain di sana. Sesekali kami menemukan potongan batang pisang. Orang habis panen membuangnya ke kali. Mengikuti derasnya air kali yang kecoklatan, kami bergantian menaiki batang pisang itu.
“Mau ke mana, Win?” tanya Maryu berteriak mengalahkan deru suara air.
“Ke Amerika,” seruku.
Pertanyaan dan jawaban yang sama selalu muncul setiap kali kami memainkan batang pisang dan ikut arus derasnya. Biasanya aku berhenti di pintu air irigasi, berlari kembali, dan bergantian. Pernah ada yang melaporkanku pada ibu tetapi aku selalu bisa cari waktu untuk memainkannya kembali. Bukan jarang isi perut manusia juga mengapung. Kami hanya menyingkir sebentar ketika kuning-kuning itu melintas. Kami benar-benar berhenti ketika suatu sore kami mendapati bangkai babi yang sudah membiru hitam terguling-guling di bawah grojokan. Badan tambun itu berputar-putar terguyur air kali. Kami menduga itu salah satu babi piaraan seminari yang jatuh terguling.
“Kau ingat Basuki?” tanya Maryu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Coba kalau kau mau jadi istrinya, mulia hidupmu,” katanya menggoda.
“Dih, emang kenapa?” tanyaku.
“Kamu sih nggak mau dia deketin. Sekarang dia kaya raya. Lulus kuliah, ikut kapal pesiar. Keliling dunia. Pulang-pulang, bukan hanya bangun rumah sendiri besar-besar, tapi dia perbaiki juga rumah orang tua. Dia juga bantu kakaknya. Kaya pokoknya,” godanya.
“Bukan aku tak mau kaya. Tapi masa aku memilih laki-laki yang hanya ke gereja kalau aku ke gereja? Mau pertemuan OMK hanya karena aku OMK?” tanyaku.
“Iya sih. Sekarang juga dia bukan Katolik. Dia ikut istrinya,” jelasnya.
“Nah, tuh,” kataku.
“Tapi setelah dia tidak berlayar, hidupnya makin enak. Jabatannya naik di kementerian konon katanya karena sudah tidak Katolik. Jalannya mulus di setiap promosi jabatan,” kata Maryu antusias.
“Si Endah masih usaha catering?” tanyaku mengalihkan perhatian.
“Masih. Makin maju juga meskipun ini kota kecil,” jawabnya.
Kurasa Maryu paham mengapa aku mengalihkan topik. Untuk apa membahas masa lalu, apalagi tentang cinta. Kalau aku masih peduli masa lalu, satu-satunya yang membuatku terusik adalah rumah ini. Pada rumah besar ini pun kata “pulang” sudah terkikis.
Aku berjalan menuju pojok rumah belakang. Dua genteng melorot dari tempat sangkutnya, jatuh dan pecah. Genteng Soka yang terkenal tebal dan bagus kualitas tanah liatnya itu dulu dibeli Bapak langsung ke Poncowarno, Kebumen, demi rumah yang dicintainya. Kini banyak yang ditumbuhi lumut karena sebagian atap lembab di bawah rimbunnya pohon sawo. Pot-pot anggrek ungu kesayangan Ibu yang menghiasi teras sudah tak ada lagi. Kolam ikan sudah dikeringkan. Dua sangkar burung kosong masih menggantung di teras. Burung perkutut Bapak sudah mati seminggu setelah Bapak meninggal.
Sejak Bapak dan Ibu meninggal, pulang tidak lagi terasa sama. Pulang karena rindu itu telah dibawa Bapak dan Ibu di nisannya yang hanya satu, tanda kebersatuan mereka hidup dan mati. Rumah tua ini sedang berjalan menuju senja.
Oleh: Lidwina Ika
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 26, Tahun Ke-78, Minggu, 30 Juni 2024