HIDUPKATOLIK.COM – WANITA Katolik RI berawal dari seorang R. A. Maria Soelastri Soejadi Darmasepoetra Sasraningrat yang terhenyak melihat kenyataan upah buruh perempuan yang tidak memadai dan jauh lebih rendah dibanding upah buruh laki-laki. Maka sejarah Wanita Katolik pun mulai ditorehkan, ketika Soelastri — demikian dia biasa dipanggil — berjuang tanpa henti memberdayakan perempuan. Dengan melibatkan para perempuan di sekitarnya, ia tekun melatih, mengajar, dan mendampingi para perempuan pada masa itu keluar dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Semangat keprihatinan dan bela rasa inilah yang mendasari lahirnya organisasi Wanita Katolik RI yang semula bernama Poesara Wanita Katholiek.
Sementara itu, ada Romo Van Lith juga berupaya membebaskan masyarakat Jawa khususnya perempuan dari keterbelakangan. Sekolah guru putri di Mendut dibuka pada tahun 1916 dan menjadi Sekolah Pendidikan Guru putri pertama di Indonesia. Bekal pendidikan diharapkan mengubah nasib perempuan sehingga terbebas dari ketidakadilan, keterbelakangan dan penindasan. Keterlibatan Gereja dalam hal ini menjadi spirit perkembangan Wanita Katolik RI.
Kini, 100 tahun kemudian, Wanita Katolik RI menjadi organisasi mandiri yang bersifat sosial aktif. Menurut Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) DPP Wanita Katolik RI yang dibacakan dalam Kongres XXI tahun 2023, Wanita Katolik RI beranggotakan 95.254 orang yang tersebar di 36 DPD, 777 cabang dan 3.485 ranting. Kekuatan moral dan kemampuan sosialnya menjadi dasar menjalankan karya-karya pengabdian, mewujudkan kesejahteraan bersama serta menegakkan harkat dan martabat manusia.
Tantangan Kaderisasi
Salah satu tantangan Wanita Katolik RI saat ini adalah kaderisasi, terutama bagaimana mewujudkan Bab III Pasal 8 dalam AD/ART tentang anggota yang berbunyi: Anggota Wanita Katolik RI adalah perempuan Warga Negara Indonesia, beragama Katolik, berusia sekurang kurangnya 18 tahun. Dalam skala kecil, DPD Jabar, misalnya, jumlah anggota yang berusia di atas 40 tahun mencapai 86 persen (LPJ dalam Konferda XII tahun 2024).
Sebenarnya Wanita Katolik RI terus berupaya menyempurnakan organisasi. Misalnya peningkatan kualitas anggota, sistem dan mekanisme kerja, serta pemberdayaan di tingkat basis. Wanita Katolik RI bahkan telah menerima penghargaan dari Pemerintah Indonesia. Di antaranya Penghargaan Ormas Bidang Kategori Khusus Bakti Sepanjang Hidup (Long Live Achievement) tahun 2018, diserahkan oleh Menteri Dalam Negeri. Ada juga penghargaan sebagai organisasi perempuan yang terlibat salam Kongres Perempuan I 22-25 Desember 1928 dan hingga saat ini masih berperan memajukan kesejahteraan perempuan Indonesia. Penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu diserahkan pada 21 Desember 2021.
Tantangan terberat yang dialami Wanita Katolik RI adalah saat pandemi Covid-19, saat seluruh kehidupan lumpuh. Pertemuan dan rapat terpaksa dilakukan secara online (dalam jaringan), sehingga membuat pedoman Rapat Paripurna pun jadi penuh perjuangan. Namun, dalam keterbatasan, Wanita Katolik RI turut berperan dalam program vaksinasi bekerja sama dengan rumah sakit dan pelbagai organisasi terkait. Tantangan lainnya adalah pesatnya penggunaan IT ( Informasi dan Teknologi). Oleh karena itu, seluruh anggota Wanita Katolik RI harus melek tehnologi.
Kalau pada zaman pendiri tantangannya adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan, maka tantangan organisasi saat ini adalah globalisasi informasi, batasan etika dan moral, pemahaman tentang kesetaraan gender, serta kepekaan terhadap lingkungan.
Secara internal pemahaman berorganisasi masih belum optimal karena keterbatasan pembekalan kepada seluruh anggota di berbagai daerah. Misalnya, kurangnya pemahaman tentang visi dan misi serta hak dan kewajiban anggota. Untuk itu perlu sosialisasi AD/ART yang terus menerus, pemahaman tentang kemandirian organisasi, serta pentingnya membayar iuran sehingga marwah organisasi dan spirit asali tetap terjaga.
Kaderisasi menjadi tantangan tersendiri, karena de facto di seluruh Indonesia, jumlah anggota yang berusia 18 tahun bisa dihitung dengan jari. Maka Wanita Katolik RI perlu membuka pintu komunikasi dengan kaum muda, mencoba memahami dan membuka diri, dan selanjutnya memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk terlibat dalam berbagai kegiatan. Wanita Katolik RI juga perlu berjejaring dengan berbagai organisasi sosial sampai ke tingkat basis dan bekerjasama secara nyata.
Untuk itu, organisasi memerlukan panduan kaderisasi nasional yang fleksibel, sehingga setiap upaya bisa dilakukan sesuai situasi dan kondisi daerah di seluruh Indonesia.
Pengembangan Organisasi
Di sisi perkembangan kuantitatif, organisasi Wanita Katolik RI saat ini telah maju pesat dengan 95.103 anggota, 36 DPD dan 777 cabang. Bandingkan dengan tahun 2022 ketika masih 93.788 anggota, 36 DPD dan 749 cabang.
Peran perempuan di sebagian wilayah terlihat nyata dalam pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Wanita Katolik RI mempunyai Program Pngembangan Kewirausahaan Perempuan menggantikan PPUK ( Peningkatan Perempuan Usaha Kecil ) yang sudah dilakukan oleh beberapa DPD. Namun demikian, masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki mekanismenya terutama dalam hal pendampingan terhadap pelaku usaha binaan.
Dalam hal kemitraan dengan organisasi lain, Wanita Katolik RI menjadi anggota Kowani di tingkat nasional. Kowani adalah Kongres Wanita Indonesia, suatu wadah organisasi kemasyarakatan perempuan. Untuk tingkat provinsi/keuskupan Wanita Katolik RI bermitra dengan BKOW (Badan Kerjasama Organisasi Wanita) dan untuk tingkat kotamadya/kabupaten/paroki dengan GOW (Gabungan Organisasi Wanita).
Dengan demikian, kalau kita kembali pada pertanyaan awal tulisan ini, apakah Wanita Katolik RI hanya berkutat di seputar altar, dahar, dan kantin gereja, maka jawabnya adalah, “Tidak.”
Dalam rentang waktu 100 tahun, Wanita Katolik RI telah melaksanakan ajaran sosial Gereja yang mendasari spirit gerak langkah, dengan berpegang pada prinsip Solidaritas dan Subsidiaritas serta semangat Asih , Asah dan Asuh. Masa lalu menjadi pembelajaran, masa kini adalah kenyataan dan masa mendatang sebagai harapan. Meski demikian, agar Wanita Katolik RI tetap ada, perlu usaha untuk terus menata diri, meningkatkan kinerja dan akuntabilitas organisasi. Untuk itu perlu adanya pengawas internal dan eksternal, sekaligus untuk menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan organisasi.
Dengan demikian, perlu dikeluarkan Surat Keputusan tentang Pengawasan. Hal tersebut selaras pula dengan Undang Undang RI No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Bab XIV pasal 53 dan pasal 54 tentang Pengawasan, Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3 tahun 2016 tentang Tata cara Pengajuan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan, Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 6 tahun 2019 tentang perubahan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3 tahun 2016, serta Rapat Pleno IV Panitia Kongres tanggal 7 Oktober 2023.
Dengan dilantiknya Dewan Pengawas bersama dengan Dewan Pengurus Pusat Wanita Katolik RI dalam Kongres XXI, maka diharapkan operasionalisasi kerja organisasi sesuai dengan hukum dan peraturan pemerintah, mendapatkan arahan yang diperlukan agar organisasi tetap lentur menghadapi konstelasi ipoleksosbud dan selaras dengan Gereja Katolik (Magisterium dan Ajaran Sosial Gereja).
Semoga Wanita Katolik RI ”Lahir Kembali dan Semakin Berarti”.
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 26, Tahun Ke-78, Minggu, 30 Juni 2024