HIDUPKATOLIK.COM – SIANG itu, Februari 2024, kegiatan sekolah telah usai. Suasana sekolah seperti pada umumnya: pintu gerbang dikunci dan suasana lengang. Tak ada lagi anak-anak yang berlarian. Semua guru, tata usaha, dan karyawan sudah pulang. Tinggal petugas kebersihan yang sibuk dengan tugas pokoknya: bersih-bersih.
Gambaran sekolah pada umumnya tak terlihat di kompleks Sanggar Anak Alam (SALAM) yang belokasi di Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Alih-alih gedung sekolah, kelas pun hanya rumah sederhana berdinding gedek (anyaman bambu) dan berlantai tanah atau ubin semen dengan sawah lahan basah di sekitarnya. Empat rumah, yang dipisahkan pematang sawah, menjadi tempat kegiatan belajar-mengajar dengan waktu yang sangat fleksibel – pagi sampai sore.
SALAM adalah sebutan yang sesuai. Kegiatan belajar-mengajar dilakukan di tengah alam pedesaan (persawahan) dengan diselingi desiran angin dan tanaman padi sedang menghijau serta gemericik aliran air kali yang bersih. Kegiatan belajar-mengajar juga fleksibel sesuai minat siswa dan tidak tergantung kurikulum resmi pemerintah. Tepatlah disebut SALAM.
Ada dua rumah penduduk berhimpitan. Salah satunya kantor sanggar. Sementara kesibukan masyarakat dan sanggar menyatu. Saling memperkaya.
Tidak semua siswa berasal dari lingkungan terdekat tapi juga dari desa lain. Mereka belajar bermasyarakat dan belajar bersama. Jumlah siswa saat ini mencapai 200 orang sejak kegiatan belajar-mengajar – mulai PAUD hingga SMTA – dilakukan sejak tahun 2018 di atas lahan seluas sekitar 500 meter persegi tersebut.
Di sana berkembang kegiatan belajar-mengajar ideal yang menjadi cita-cita dan tujuan akhir pembelajaran seperti yang digagas para ahli pendidikan tingkat dunia, antara lain Ki Hadjar Dewantara yang mengedepankan pendidikan karakter (Indonesia), Paulo Freire sebagai pendidikan demokratis (Brasil), dan Maria Anna Montessori yang memberikan kebebasan pada anak memilih aktivitas sesuai minat dan bakat (Italia).
Pada Maret 2024, kegiatan resmi sanggar yang berlangsung pada pukul 08.00-14.00 WIB sedikit berbeda dengan sebelum jam sekolah usai. Banyak anak bergerombol di kelas, depan ruang kelas, dan pematang sawah. Sepintas mereka nampak sedang bermain apalagi beberapa orang tua dan anak kecil ikut bergabung. Ketika didekati, sebagian besar sedang sibuk melakukan penelitian dengan topik berbeda. Mereka adalah para siswa yang berada di bawah bimbingan beberapa guru, yang dipanggil pamong atau “kakak” sebagai teman belajar.
Siswa dan pamong bekerja sama. Setiap siswa didampingi tiga atau lima pamong, tergantung jenjang kelas. Dengan demikian, jumlah pamong cukup banyak. Seizin pemerintah dengan nama pendidikan nonformal, biaya transpor para pamong berasal dari Pusat Kegiatan Belajar Nasional. Mereka tidak harus sarjana pendidikan sehingga banyak dari mereka adalah relawan, sarjana bermacam-macam disiplin ilmu, dan mahasiswa tingkat akhir dari berbagai fakultas.
Para siswa dan pamong menemukan topik riset, mengembangkan, dan memperkaya topik sehingga dalam satu kegiatan berkembang jenis-jenis pengetahuan, yang dalam sekolah biasa disebut mata pelajaran. Riset memang tugas utama. Menurut pendiri SALAM, Sri Wahyaningsih, SALAM adalah sekolah riset. Meski demikian, beberapa mata pelajaran tetap diajarkan sebagai kelanjutan riset. Jadi para siswa lulusan SALAM bisa, tidak wajib, mengikuti ujian persamaan Paket A, B dan C sehingga banyak lulusan SALAM bisa meneruskan pendidikan tinggi negeri maupun swasta.
Pendidikan Alternatif
Sesuai semangat “anak alam” – dalam arti membiarkan anak berkembang sesuai jati dirinya yang alami – SALAM tidak mengenal kurikulum baku dan jauh sebelumnya sudah berlangsung membiarkan anak didik membuat kurikulum sendiri.
Konsep Merdeka Belajar yang diinisiasi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, sudah bertahun-tahun berjalan di sini. Istilah pendidikan alternatif dimaknai dan dijalankan secara penuh di SALAM. Bukan sekolah liar apalagi sebutan “sekolah liar” seperti pernah dicap oleh penjajah Belanda pada Perguruan Tamansiswa pada tahun 1930-an. SALAM juga mendapat izin penyelenggaraan dan berada di bawah supervisi instansi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Kabupaten Bantul.
Di tengah menjamurnya sekolah alternatif, SALAM sebagai salah satu contoh, membangun hal-hal yang fundamental yakni cara berpikir dan bertindak. Soal kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dianggap berjalan sendiri. Alasannya, kemampuan ini sudah menjadi kebutuhan, proses pembelajaran pun otomatis berjalan. Banyak sekolah menyebut pendidikan alternatif tetapi isinya masih mengacu pada sistem baku, terpusat, tidak mengakomodasi aspek lokal, lebih pada cara menyampaikan tetapi tidak didasarkan pada pondasi ideologi yang khas.
Sri Wahyaningsih (63), yang akrab disapa Bu Wahya – bersama suaminya Toto Rahardjo, tidak memiliki latar belakang pendidikan keguruan melainkan perbankan. Mereka nyaris otodidak, belajar dari minat dan kegiatannya. Learning by doing di Bantaran Kali Code.
Diawali kegiatannya di sanggar belajar di bawah bimbingan Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau Romo Mangun, Bu Wahya mengenal gagasan-gagasan besar Paulo Freire, Anna Monterssori, dan Ki Hadjar Dewantara. Selain itu, ia juga belajar dari praksis pendidikan yang diselenggarakan Romo Mangun, kemudian mempraksiskannya lewat konsep tribina (kehidupan, lingkungan, usaha).
Awal kecintaannya pada dunia anak dipicu oleh spirit keibuannya untuk menghidupi konsep tribina sepenuh hati. Konsep pendidikan Romo Mangun – refleksi Romo Mangun sejak kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin di Bantaran Kali Code pada tahun 1986 – menjadi acuan penyelenggaraan SALAM.
SALAM adalah pengembangan atau pemindahan SALAM yang didirikan pertama kali di Lawen, Banjarnegara, pada tahun 1987. “Di Lawen sampai sekarang masih berjalan. Saya dirikan di sini bersama suami baru sembilan tahun kemudian. Sekarang sekitar 200 anak usia PAUD sampai SMTA belajar di sini. Ada lulusan yang bisa melanjutkan ke sekolah umum lewat ujian persamaan Paket A, B dan C, bahkan sudah sarjana dan bekerja sebagai ASN maupun swasta,” ujar Bu Wahya.
Dari sanggar di Lawen pun, lanjutnya, sudah banyak yang sarjana dan memasuki lapangan kerja. Ibu dari tiga anak dan dua cucu ini pun terlihat ceria, akrab dengan orang tua siswa, para pamon, dan anak-anak.
Berkat magang dan jadi relawan di Bantaran Kali Code, ia merasa menjadi seperti sekarang, terutama perhatian dan kecintaannya pada masyarakat miskin. Ini semua berkat Romo Mangun. “Saya murid Romo Mangun,” tegasnya.
Didorong oleh suaminya sebagai rekan kerja yang kompak, ia merasa SALAM adalah “anak kandung” kedua Romo Mangun. “Anak kandung” pertama Sekolah Eksperimental Mangunan yang berdiri pada tahun 1993. Disebut “kedua” padahal SALAM berdiri pada tahun 1987, perwujudan transformasi nilai dan semangatnya lebih “radikal” sebagai pendidikan alternatif. Sekolah Mangunan masih memodifikasi kurikulum pemerintah, sementara SALAM mengembangkan kurikulum alternatif sendiri. Namun keduanya merupakan sebagian warisan Romo Mangun, warisan semangat, cita-cita dan gagasan monumentalnya, sejalan dengan cita-cita pendidikan itu memerdekan.
St. Sularto (Wartawan Senior, Jakarta)
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 20, Tahun Ke-78, Minggu, 19 Mei 2024