HIDUPKATOLI.COM – “Kita sering sekali mendengar ‘manusia yang matang’, ‘kematangan pribadi’, ‘manusia dewasa’, dan ide-ide sejenisnya. Hanya saja, apa persisnya kriteria atau indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kematangan kepribadian? Kriterianya sering juga tidak jelas. Oleh karena itu, perlu kiranya formator mendapat informasi atau beberapa ide terkait indikator tersebut,” ungkap Pastor Irfantinus Tarigan.
Hal ini ia sampaikan saat mengawali materinya dalam kegiatan Temu Rektor dan Formator Seminari Menengah Regio Sumatera yang mengusung tema Formasi Kepribadian dan Spiritualitas Rektor dan Formator Seminari Menengah di Aula SMA Don Bosco Padang, Sabtu (29/6/2024).
Imam yang juga menjadi formator di Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar ini menyampaikan materi tentang Formasi Kepribadian: Menjadi Formator yang Empatik, Asyik, dan Formatif.
Menurutnya syarat utama untuk menjadi formator adalah sabar. Mengutip Pastores Dabo Vobis ia mengajak para formator untuk memiliki patokan kematangan kepribadian. “Pentinglah imam membentuk kepribadian manusiawinya sedemikian rupa, sehingga menjadi jembatan, dan bukan rintangan bagi sesama untuk menjumpai Yesus Kristus Penebus umat ‘manusia (PDV 43)”, ungkapnya.
Lebih lanjut, diosesan Keuskupan Agung Medan ini juga mengajak peserta melihat kepribadian yang sehat menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder yang diterbitkan oleh Assosiasi Psikiatrik Amerika.
Ia menggarisbawahi bahwa dalam buku tersebut Assosiasi Psikiatrik Amerika tidak secara eksplisit memberikan rumusan tentang kepribadian yang sehat, melainkan lebih berfokus pada diagnosis gangguan mental.
Hanya saja, dari kriteria diagnostik yang digunakan, dapat ditemukan beberapa indikator kunci, seperti memiliki fungsi emosional yang adaptif, memiliki identitas dan arah diri yang stabil dan jelas, memiliki fungsi interpersonal yang efektif dan afektif.
Imam yang pernah berkarya di Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar ini juga mengajak peserta untuk melihat kompleksitas dan individualitas orang berdasarkan Psycodinamic Diagnostic Manual.
Pastor Irfantinus menegaskan bahwa di seminari menengah proses yang terjadi tidak cukup hanya sampai pada proses mendidik (educare) melainkan harus sampai pada proses membentuk (formare) menuju pada model tertentu.
“Formasi di seminari itu tidak cukup bila hanya mengantar untuk menjadi dirinya sendiri tetapi juga harus terbuka untuk menjadi seperti yang dituntut sebuah ideal tentang manusia kristiani. Dalam bahasa praktis, Gereja berhak menuntut kualitas dari para calon imamnya”, tegasnya.
Akhirnya, Pastor Irfantinus mengajak para formator untuk membangun proses formasi yang efektif dengan tuntunan tiga kata kunci, yaitu empatik, asyik, dan formatif.
“Perjalanan formasi akan terasa asyik bila ada empati satu sama lain, terutama empati dari pihak formator kepada formandi. Seorang formator yang memiliki empati dan muncul sebagai pribadi yang mangasyikkan tentulah akan mampu mengobarkan semangat dari para formandi, tentulah akan membuat para formandi ‘menyala’, jelasnya.
Alumni TOR St. Markus Pematangsiantar ini pun mengungkapkan harapannya agar relasi formator dan formandi dapat memicu pengalaman emosional korektif, di mana individu memahami peristiwa atau hubungan dengan cara yang berbeda atau tak terduga yang mengarah pada penyelesaian emosional atau penerimaan atas masalah yang sebelumnya belum terselesaikan.
“Istilah pengalaman emosional korektif berasal dari dunia psikoterapi, tetapi memiliki ide yang sejalan dengan proses formasi di seminari. Kita berharap bahwa proses interaksi antara formator dan formandi sungguh menjadi interaksi yang menyembuhkan. Formandi tersembuhkan ketika formator dapat hadir sebagai pribadi yang ‘memberi ruang untuk kesalahan dan perbaikan’,” pungkasnya.
Pastor Titus Jatra Kelana (Kontributor/Palembang)