web page hit counter
Senin, 25 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Jebakan Medsos, Isu Skandal Kaum Selibater, dan Sikap Warganet Katolik

4.5/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Di mana pun di dunia sekarang ini manusia dari semua ras dan kelas, semua lapisan dan kelompok masyarakat, baik secara sukarela maupun tidak, terkumpul dalam satu komunitas yang memiliki hasrat global yang sama. Di dalam dunia itu batasan teritorial tidak lagi menentukan definisi kewarganegaraan.

Pengertian citizenship mengacu pada penciptaan dan operasi ikatan sosial, budaya, ekonomi, politik, selera, termasuk perasaan di luar teritori negara-bangsa. Melalui komunikasi virtual semua pihak, individu atau kelompok tergabung dalam komunitas transnasional yang melampaui komunitas tatap muka yang sebelumnya didasarkan pada kekerabatan, lingkungan atau tempat kerja.

Beberapa dasawarsa lalu ilmuwan komputer Yunani-Amerika, Nikolas Negroponte dalam karya berjudul Being Digital (1995) mengekstraksi sebuah definisi ideal tentang transnasionalisme itu. Negroponte menulis, “Sementara para politisi bergumul dengan beban sejarah, generasi baru muncul dari lanskap digital yang bebas dari banyak prasangka lama. Anak-anak ini terbebas dari batasan kedekatan geografis sebagai satu-satunya dasar persahabatan, kolaborasi, permainan, dan lingkungan. Teknologi digital dapat menjadi kekuatan alami yang menarik orang ke dalam harmoni dunia yang lebih besar.”

Ketika kita sekarang ini berada persis pada kondisi konkret dari ramalan Negroponte tersebut, kita harus dengan jujur mengakui daya tarik dunia maya dan varian halusinasinya yang fantastis melalui berbagai media sosial ternyata tidak membuat kita berada dalam harmoni dunia yang lebih baik. Sebaliknya, kita menjadi semakin lumrah mendengar bahkan menyaksikan sendiri bentuk-bentuk kejahatan baru yang direproduksi dunia digital melalui media sosial, dan dalam kasus tertentu barangkali kita terjebak sebagai korban sekaligus pelaku.

Akan tetapi, berapapun mahalnya konsekuensi kejahatan yang direproduksi melalui pelbagai kanal medsos, harganya tetap murah, untuk tidak dibilang sia-sia, dibandingkan dengan warganet (netizen) yang bodoh karena tidak ingin belajar. Beruntunglah, seabsurd-absurdnya kejahatan direproduksi akun-akun medsos, sebagian dari kita masih tetap mau belajar dan tidak ingin nilai dan etika tradisional punah.

Kisah Fat Cat gamer asal China yang bunuh diri karena putus cinta misalnya, telah menyentuh hati banyak orang, dan kematiannya memicu diskusi global tentang cinta, pengorbanan, dan kesehatan mental. Sesudah kematiannya itu gerakan untuk menghargai kehidupan dan mencari bantuan sesama ketika menghadapi masalah akhirnya menjadi isu global.

Jika gerakan kolektif seperti itu mati oleh banalitas kejahatan yang dimobilisasi media sosial, sesungguhnya kemampuan hakiki manusia untuk belajar, berpikir jernih, berefleksi, berempati, bertindak etis dan bijak tidak lagi berfungsi sebab hidup dan kebiasaanya telah dilumpuhkan oleh algoritma teknologi digital. Dan walaupun kita berusaha untuk menonjolkan kewarasan, dalam ruang paling ilusif kita sebenarnya merupakan bagian dari reproduksi kejahatan digital.

Baca Juga:  Rekoleksi Pasutri TNI-POLRI: Siap Menikah, Siap Menderita
1771038422

Kondisi ini ekuivalen dengan perkara penularan hasrat pada manusia sebagaimana diteorikan Rene Girard. Menurut Girard orang dewasa cenderung menolak mengakui kelumpuhannya pada dominasi hasrat yang berasal dari orang lain sebagai model, dan selalu membayangkan hasratnya itu asli. Padahal istilah keaslian itu hanya menegaskan posisinya sebagai peniru. Hasrat diteruskan dari orang ke orang dalam rantai mimesis yang hanya terlihat asli bagi peniru yang tertipu.

Maka ketika sempadan antara yang asli dan palsu hilang, juga ketika waras dan sinting berebutan ruang dalam diri individu yang sama sebagai konsekuensi algoritma digital, pengertian tentang humanisme menurut Jean-Francois Lyotard (The Inhuman, Basabasi: 2023) sedang dalam proses untuk menjadi tidak manusiawi. Lalu manusia sebagai individu dalam kapasitasnya sebagai warga komunitas (negara & Gereja) menjadi “corpus mixtum” yaitu sebuah kumpulan orang-orang yang di dalamnya kebaikan dan kejahatan tidak dapat dipisahkan.

Istilah corpus mixtum dicetuskan Santo Agustinus untuk menjelaskan dunia sebagai realitas plural. Gereja didefinisikan Agustinus sebagai corpus mixtum yaitu tubuh campuran yang terdiri atas anggota berkualitas gandum dan ilalang. Dalam batasan ini ilalang tetap dilihat sebagai gulma yang harus dibersihkan agar gandum bisa bertumbuh dan menghasilkan buah. Namun, dalam konteks kelumpuhan tersebab algoritma digital memelihara gandum selalu berarti memberi kehidupan pada ilalang. Pertanyaan yang membuat kita gelisah adalah bagaimana kalau kepantasan bagi umat manusia ke depan berisi hal-hal di luar manusia dan bersifat tidak manusiawi?

Untuk menguji jawaban, mari kita berbicara tentang berita-berita seputar isu dan fakta pelecehan, perselingkuhan, dan berbagai penyelewengan lain dari kaum selibater. Berita-berita seputar isu penyelewengan kaum selibater yang terutama diproduksi oleh umat Katolik, diviralkan dalam pelbagai kanal medsos, dijadikan konten olok-olokan, diparodikan, digoreng dalam pelbagai ruang siniar (podcast), direproduksi sedemikian bebas – perlu dilihat sebagai fakta yang mendorong kita untuk merefleksikan hal-hal fundamental dari persekutuan kita sebagai warganet Katolik.

Sebagian terbesar dari pemberitaan di koran-koran elektronik yang diproduksi umat Katolik dengan jurnalisnya juga Katolik tentang isu (dan fakta) skandal kaum selibater tidak dilandasi prinsip “cover both side”. Identitas lengkap bahkan gambar wajah oknum yang diduga pelaku dan korban ditampilkan dan disebarkan secara vulgar.

Kesan bahwa para penyebar berita mendapatkan panggung untuk mengecam dan mengadili kejahatan terselubung kaum berjubah tidak dapat disembunyikan. Dan kita posisikan kesan itu sebagai hal yang amat serius dibicarakan. Oleh kesan itu kita pun mendapatkan sebuah panggung dan platform pertobatan. Gereja sebagai sebuah persekutuan, juga terutama kaum selibater naik ke panggung itu dengan jiwa besar untuk berbenah diri dan memanfaatkannya sebagai platform purifikasi.

Baca Juga:  Keuskupan Tanjungkarang Memperoleh Tiga Imam Baru: Imam Tanda Kehadiran Allah

Dalam rangka itu, buah pikiran John M Prior tentang dosa klerikalisme yang dimuat Majalah Hidup (6 Juli 2014) barangkali relevan dimuat di sini sebagai input pembenahan. Tiga dari enam sikap yang menurut Prior menyokong struktur klerikal sebagai penyebab skandal di kalangan tertahbis dikutip di sini. Pertama, jika skandal ketahuan maka korban terutama perempuan selalu disalahkan. Kedua, kaum awam terutama perempuan dan anak-anak dibatasi dan ditundukkan sebagai kelompok inferior-subservian.

Ketiga, jika ada seorang imam ketahuan melakukan pelecehan seksual, si korban dan keluarganya dibujuk agar tetap menjaga nama baik Gereja dan tidak mencemarkan nama baik keluarga sendiri. Pembenahan dan pembersihan diri kaum selibater berarti memastikan diri mereka berhenti dari kemungkinan memiliki sikap-sikap di atas. Selain itu, pada diri pimpinan terlahir kesadaran dan sikap yang lebih terbuka dan adil terhadap korban.

Akan tetapi, di balik panggung pertobatan itu, kita perlu juga melihat persoalan secara lebih futuristis yaitu dari sudut pandang etika hidup menggereja. Ketika menyaksikan vulgaritas berita terutama melihat foto wajah seseorang dijadikan konten cercaan dari para kreator Katolik pada akun tiktok, instagram, siniar, facebook – pertanyaan-pertanyaan berikut memenuhi jagat refleksi. Sudah sevulgar itukah sikap warganet Katolik? Mengapa kita tidak menanggapi masalah kemanusiaan secara manusiawi yaitu dengan mempertimbangkan harkat dan martabat dari pihak-pihak yang nama dan wajahnya kita viralkan? Mengapa sebagian warganet Katolik merasa memiliki hak untuk mengadili dan bertindak sebagai hakim atas yang lain? Bukankah Tuhan Yesus memerintahkan kita untuk “Janganlah menghakimi supaya kamu tidak dihakimi” (Mat 7:1).

Dalam kisah populer tentang “Perempuan Berzina” sebagaimana dilukiskan Injil Yohanes (8:1-11) Yesus mengkonkretisasi larangan saling menghakimi itu melalui sebuah pernyataan terkenal, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu.” Cerita ini menjadi basis perjuangan penegakan hak asasi manusia yang martabat dan nama baiknya dilecehkan secara vulgar.

Proposal tentang etika hidup menggereja yang didasarkan atas sabda dan sikap belaskasihan Tuhan Yesus sesungguhnya dikapitalisasi sebagai kekuatan bagi warganet Katolik dalam menghadapi gelombang pasang media sosial. Setidaknya energi keyakinan itulah yang mendorong antara lain sarjana sastra dan ahli teori media, Marshall McLuhan bertanya penuh optimistis, “Di bawah panji siapa globalisasi masyarakat dunia melalui media sosial ini berlangsung?” Marshall McLuhan sendiri menjawab dengan tidak hanya memimpikan Katolik sebagai agama masa depan, tetapi juga menyatakan “sebuah kondisi Pentakosta dari pemahaman dan persatuan universal” yang dibawa oleh media modern, terutama oleh komputerisasi (Józef Niewiadomski. 2005.”Extra Media Nulla Salus? Attempt at a Theological Synthesis”).

Namun, apa yang terjadi belakangan ini; Apakah harapan McLuhan terpenuhi? Karakteristik algoritma digital membawa warganet Katolik kepada kondisi paradoksal. Dengan saling terhubung secara elektronik, manusia menjadi lebih seperti individu. Oleh karena itu, alasan daya tariknya ialah kepada hasrat untuk menjadi otonom dengan cara melepaskan keterhubungannya pada sesama atau komunitas. Pada titik ini dunia maya menjungkirbalikkan peran tradisional institusi (Gereja) dan menempatkan mereka tanpa syarat untuk melayani keinginan individu-individu. Niewiadomski (Ibid.) menulis “Di ruang Cyber, setiap orang bisa menjadi Tuhannya sendiri. Setiap orang memprivatisasi kenikmatan atas segala sesuatu sebagai takdir dan pemenuhan semua hasrat manusia.”

Baca Juga:  Renungan Harian 23 November 2024 “Lepas Bebas”

Pertanyaan tentang posisi Gereja menjadi krusial di sini, “Di mana dan bagaimanakah pengaruh Gereja sebagai institusi  terhadap tarik-menarik atau ketegangan paradoksal dari sikap warganet yang seperti itu?” Gereja (Katolik) menghadapi fakta ini. Tubuh Gereja didefinisikan sebagai warganet yaitu kita atau kami atau mereka yang berkewarganegaraan dan berkewargagerejaan global yang sebagian sikap dan kebiasaannya dibentuk oleh media sosial. Warganet Gereja (Katolik) adalah kita atau kami atau mereka yang rentan terhadap adanya hasrat untuk meniru, dan hasrat itu cenderung merusak. Maka akhirnya warganet Gereja global adalah “tubuh sosial yang mengatur dirinya sendiri melalui siklus stres dan pelepasan”.

Literasi media sosial pada Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) Mei 2019 di Makassar, Sulawesi Selatan. Foto ini hanya untuk ilustrasi tulisan. (Foto: HIDUP/FHS)

Tugas Gereja (Katolik) sebagai sebuah komunitas (warganet) yang beriman kepada Kristus adalah menghubungkan pengalaman-pengalaman fundamental tentang keselamatan Allah, membebaskan para anggotanya dari utopia-utopia keselamatan yang merusak dan memampukan mereka untuk melihat media yang paling modern dan canggih sekalipun sebagai sarana memuliakan Allah dan menumbuhkan penghargaan terhadap martabat diri dan sesama.  Kemajuan teknologi digital termasuk yang paling canggih yaitu kecerdasan artifisial tidak mengubah kebenaran dasar tersebut.

Bagi warganet Gereja hendaknya ketika menghadapi kemajuan teknologi digital tetaplah beriman kepada Tuhan yang menjadi korban persaingan dan kecemburuan untuk mengungkapkan pemenuhan hasrat yang sejati, dan untuk menebus manusia dari perangkap hasrat mimetik. Mengenai Allah yang membebaskan manusia dari perangkap hasrat mimetik ini, Niewiadomski (Ibid.) menulis demikian, “Dengan mengosongkan diri-Nya, Tuhan mengalahkan hasrat manusia! Hanya pribadi manusia yang telah dibebaskan yang dapat, ketika tenggelam dalam dunia maya, bertemu dengan pribadi-pribadi manusia lainnya di sana; hanya seseorang yang terintegrasi ke dalam sebuah komunitas pribadi yang dapat memahami kata-kata dan gambar, dan juga penggambaran dramatis dari interaksi manusia di dunia maya, sebagai simbol-simbol yang menunjukkan pribadi-pribadi manusia yang terbuat dari darah dan daging, dan yang mendorong mereka menuju pertemuan yang nyata.”

Yohanes Orong, Imam SVD, mahasiswa S3 PBI Universitas Negeri Malang (UM)

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 24, Tahun Ke-78, Minggu, 16 Juni 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles