HIDUPKATOLIK.COM – PENGALAMAN dikasihi Tuhan menjadi oase iman bagi Michael Utama Purnama. Suami Marilyn Widyawati Kusumawidjaja, kelahiran Surabaya, 8 Juni 1944 ini telah menginjak usia 80 tahun. Peziarahan hidupnya telah membawanya kepada suatu kesimpulan yang ia ungkapkan dengan lantang penuh iman, “Dalam persekutuan dengan Tuhan, jerih payahmu tidak sia-sia.”
Dalam perjumpaan dengan HIDUP, medio Mei yang lalu, dia berkisah tentang perjalanan dan sikap hidupnya. Dengan suara beratnya yang diwarnai logat Jawa Timur nan kental, Michael bercerita, lahir dengan nama Tan Tjhing Lok. Latar belakang keluarganya penganut Buddha. Ia merupakan anak bungsu dari sembilan bersaudara yang terdiri dari lima perempuan dan empat laki-laki.
Meski tumbuh di lingkungan keluarga bernapaskan Buddha, ia mengenal Katolik sejak kecil. Hal ini dimungkinkan dengan dirinya yang mengenyam pendidikan di lembaga katolik. Apalagi jarak rumahnya pun dekat dengan Gereja Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya. Alhasil, para imam dari berbagai paroki di Keuskupan Surabaya sering bertandang ke kediamannya karena sang ayah membuka studio foto di rumah.
Berbagai perjumpaan ini pula yang menghantarnya pada iman Katolik. Di usia sepuluh tahun ia dibaptis oleh (Alm) Pastor J.Peterse, CM. “Saya mengambil nama baptis Michael karena mengagumi kepala paroki saya, Paroki Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya, Pastor Michael Van Driel, CM,” ujarnya. Jarak yang dekat dengan gereja pun mendorongnya aktif di berbagai kegiatan pelayanan.
Diusir dari Rumah
Saat diwawancarai HIDUP di tahun 2018, Michael pernah berkisah, ketertarikannya menjadi biarawan terinspirasi kepala sekolah SMP dan SMA, Bruder Aquino Max Helling, CSA. Biarawan asal Filipina itu menurut Michael amat ramah, tegas, berwibawa, dan penuh kasih. Motivasinya menjadi imam tumbuh berkat teladan hidup sang kakek, Suhu Tan Tik Sioe San. Kakeknya pertapa Buddha.
Mengejar cita-citanya menjadi imam penuh lika-liku. Keputusan masuk Seminari Menengah St. Vincentius A Paulo di Garum, Blitar, Jawa Timur menyulut kekecewaan orang tua. “Saya diusir dari rumah, tidak boleh bawa baju bahkan pakaian dalam pun tidak,” tuturnya. Selama masa pengasingan itu, Pastor Michael Van Driel, CM dengan murah hati menyumbangkan segala keperluan sandangnya. “Baru di tahun ke-4 saya diakui dan boleh kembali berlibur ke rumah.” Dari penerimaan itu, ibunya pun mantap memeluk Katolik diikuti sang ayah dan seisi rumah.
Usai menuntaskan pendidikan di seminari menengah, ia masuk Kongregasi Misi atau Congregation of the Mission (CM). Bertekad membantu orang miskin dan telantar. Lulus S1 (1969) dan S2 (1972) Filsafat dan Teologi STFT Widya Sasana Malang, Michael menerima tahbisan imamat pada 8 Juli 1972 di Katedral Surabaya. Ia dikenal dengan nama Pastor Utama. Nama Utama ia ambil dari nama wartawan favoritnya, Jakob Oetama. “Saat masih frater, saya memberanikan diri mencari dan menelepon beliau untuk minta izin menggunakan namanya.”
Bidang pendidikan baginya adalah panggilan jiwa. Setelah menjalani berbagai tugas perutusan di berbagai bidang karya penggembalaan, ia ditugasi mengenyam studi magister psikologi di De Paul University, Chicago, Amerika Serikat, dilanjutkan studi doktoral (PhD candidate) bidang Psikologi dan Manajemen di De La Salle University, Manila, Filipina. Penulisan disertasi kandidat doktor hampir selesai, tetapi mendadak dipanggil pulang. Dipercaya antara lain sebagai pengurus SMAK St. Agustinus Kediri, Kepala SMAK St. Louis Surabaya, Dosen Unika Widya Mandala Surabaya, Moderator Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), dan Koordinator Wilayah Pastoral (Vikep) Surabaya Selatan.
Persoalan muncul ketika Uskup Surabaya kala itu, Mgr Johannes Antonius Maria Klooster, CM meminta Pastor Utama menegur dua imam seniornya urusan pelanggaran janji selibat. Pastor Utama keberatan. Dia merasa tak pantas menegur seniornya. Akibatnya, ia dipindahtugaskan ke Pacitan, Jawa Timur meskipun wilayah tersebut belum membutuhkan tenaga imam tambahan.
Dalam dirinya terjadi konflik batin. Meminta sejumlah nasihat dari para senior maupun sesama kolega imam, di antaranya Pastor Ferdinandus Hama, SJ dan Pastor Josephus Beek, SJ. Semua menyarankan lebih baik mundur, kecuali Pastor Beek. Sebab seperti dikatakan Pastor Hama, “ulat tidak bisa menjadi kupu-kupu akibat konflik dalam dirinya.”
Sempat marah pada Tuhan sebab mengizinkan dirinya dibuang oleh komunitasnya sendiri. Dia akhirnya mundur baik-baik. Pada tahun 1979 keluar dispensasi tinggal di luar biara (eksklausura). Selama eksklausura, Michael mengajar psikologi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dan konselor psikologi di perguruan tinggi yang sama. Surat keputusan pengawaman (laisisasi) dari Vatikan ditandatangani Paus Yohanes Paulus II tahun 1984. Berlanjut sejak 1989, ia aktif dalam pimpinan sejumlah perusahaan, dikenal sebagai usahawan yang sering menjadi sumber pencarian dana.
Kekuatan Mengampuni
Menanggulangi pengalaman pahit dibuang dan diasingkan bukanlah perkara mudah. Dalam perasaan gundah itu, Michael menemui sahabat karibnya, Pastor Yohanes Indrakusuma, CSE di pertapaan kecilnya Ngroto, Batu, Malang. Pastor Yohanes seorang Karmelit yang tersentuh Pembaruan Karismatik, dan kemudian mendirikan Kongregasi Putri Karmel, Kongregasi CSE, dan Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM).
Oleh Pastor Yohanes di kapel kecilnya, Michael didoakan. Sontak, ia berbahasa Roh. “Saya berbahasa Roh dan menangis sejadi-jadinya saat itu,” ungkap Michael. Hal yang paling menakjubkan adalah seketika itu juga terbit perasaan sangat lega. “Dendam saya kepada dua senior saya itu sirna. Tuhan memampukan saya untuk mengampuni,” akunya haru.
Dari pengalaman ini, Michael yang semula anti karismatik percaya kepada pembaharuan karismatik. Bahkan menjadi salah satu inisiator komunitas karismatik di Keuskupan Surabaya. Identitas Michael sebagai anak Allah yang dibimbing dan digerakkan serta dijiwai oleh Roh Kudus (Rm 8:14) kian kuat.
Ia juga aktif melayani di KTM sejak 2003, pernah menjadi Dewan Pemimpin Umum dan Pelayan Sel KTM. Komitmen tetap anggota KTM pun ia ikrarkan di tahun 2011. Ia juga aktif menjadi anggota Dominikan Awam dan sudah mengucapkan Kaul Kekal di Gereja Kristus Salvator pada 22 April 2022 di hadapan Pastor Edmund Nantes, OP.
“Saya tidak bisa meninggalkan spiritualitas imamat saya. Saya mau melayani orang-orang miskin dan telantar seperti semangat awal saya menjadi imam,” tegasnya. Semangat melayani orang miskin ini diakuinya terinspirasi dosen favoritnya, Pastor Paulus Hendrikus Janssen, CM. Semangat membantu sesama ini yang terus mendorongnya berbakti kepada masyarakat luas.
Michael pernah terjun di Yayasan Tri Asih yang mendidik para penyandang tunagrahita. Ayah tiga anak dan dua cucu perempuan ini pernah aktif di Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta, Raptim, Bhumiksara, serta di Konferensi Waligereja Indonesia, serta salah satu pendiri Profesional dan Usahawan Katolik (PUKAT), Perhimpunan Indonesia Tionghoa sampai sekarang, aktif di lembaga lintas agama Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dan Gerakan Pembumian Pancasila (GPP). Beragam dan luasnya tebaran kegiatan, membuat Michael Utama Purnama hadir dan aktif dalam berbagai peristiwa penting. Di antaranya pada 1-5 Mei 2016 dalam Interfaith Conference di Roma, ia hadir sebagai salah satu dari 12 tokoh Katolik bertemu dengan 20 tokoh Muslim Timur Tengah.
Di usia 80 tahun ini, Michael masih aktif menjadi pewarta renungan harian “Kencan dengan Tuhan” (KDT) bersama Doddy Albertus hingga mendapat hadiah MURI; menjadi Dewan Pembina ISKA (2017-2022), Dewan Kehormatan ISKA (2022-2026), dan Dewan Penyantun Unika Atma Jaya Yogja (2021-2025).
“Melayani itu penting karena saya pun sudah dilayani oleh Tuhan sampai umur 80 tahun ini,” ujarnya penuh syukur. Walaupun sudah pasrah-menerima, dia merasa suatu keinginan gagal terealisir. “Saya, Gus Dur dan Romo Mangun sudah memulai usaha mendirikan sebuah pesantren lintas agama. Tetapi dengan kepulangan Gus Dur dan Romo Mangun, keinginan itu buyar.”
Felicia Permata Hanggu/St. Sularto
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 22, Tahun Ke-78, Minggu, 2 Juni 2024
Salam hangat buat Bpk. Michael Utama. Barangkali masih ingat, kita pernah bersama di Seminari Garum Blitar, pada tahun 1962-an.