HIDUPKATOLIK.COM – “Terima kasih banyak untuk doa-doamu. Mohon terus doakan saya dalam perutusan baru ini. Selamat hari raya Tritunggal Maha Kudus”, demikian Uskup Budi menjawab ucapan proficiat saya melalui WhatsApp minggu lalu. Seorang Uskup tetap mengharapkan dukungan doa para imamnya. Tentu tidak hanya saat doa syukur Agung, tapi doa-doa pribadi lainnya. Doa untuk perutusan kegembalaannya baru.
Perutusan baru ini tentu bertolak dari aneka bentuk kepercayaan sebelumnya. Sebelum terpilih menjadi Uskup, beliau adalah pemimpin tertinggi konggregasi SVD sedunia. Beliau terpilih karena jejak-jejak kebajikannya yang tertanam sejak dari rumah. Kebajikan yang bertumbuh dari sebuah keluarga tukang kayu sederhana di Waibalun Larantuka Flores Timur.
Saya harus berterima kasih kepada bapak Petrus Sina Kleden dan Mama Dorotea Sea Halan. Begitupun saudara-saudari, keluarga besar dan orang-orang Waibalun. Keluarga adalah sekolah pertama tempat Uskup Budi belajar kebajikan-kebajikan. Kehangatan dalam keluarga tidak diukur dari luasnya rumah yang dibangun bapak tukang Petrus Sina Kleden, tapi luasnya kebahagiaan semua mereka yang menempati.
Sejak di Seminari Hokeng hingga di Ledalero Budi sangat setia merawat panggilan. Dan tak lupa meningkatkan kualitas kebajikannya. Karena itu Ledalero mengutus Budi melanjutkan studi Teologi di Sankt Gabriel Mödling, Austria. Mödling adalah rumah misi kedua yang didirikan oleh Arnoldus Jansen tahun 1889. Rumah misi ini pernah dikenal sebagai salah satu pusat formasi calon-calon imam SVD sebelum ke tanah misi.
Di masa lalu Mödling juga dikenal sebagai pusat studi Antropologi dan penelitian etnologi SVD. Saat ini kita bersyukur masih bisa membaca buku-buku hasil penelitian misionaris SVD masa lalu. Saat masih di Ende, saya sempat membaca buku-buku tentang budaya Ngada dan Flores Tengah yang ditulis “Tua Are atau P. Paul Arndt SVD”. Buku-buku ini diterjemahkan Lukas Lege, alumnus Ledalero asal Takatunga Ngada Flores.
Bulan Juli 2021 saya sempat mengunjungi rumah misi Mödling. Bersama P. Adri Gegi SVD saya mengunjungi makam beberapa mantan misionaris Flores. Salah satunya misionaris kecintaan umat paroki Mangulewa, Ngada Flores “Nenek Yakob”. Saya tahu orang Mangulewa sangat mencintai dan selalu mengenangnya. Karena itu saya menyapanya “Nenek Yakob, Orang Austria Dari Mangulewa”.
Uskup Budi menjalani studi strata satu dan dua teologinya di Mödling dan Universitas Wina hingga penahbisannya tahun 1993. Saya sangat terkesan dengan beliau. Selain filsafat dan teologi, wawasan sosio-antropologinya juga luas. Begitupun beberapa intelektual SVD tamatan Mödling seperti Amatus Woi, Markus Solo Kewuta dan Otto Gusti Madung.
Saya menduga selama di Mödling Budi banyak membaca telaah Antropologi dan Etnolog Wilhelm Schmidt SVD dan Paul Arndt SVD. Paul Arndt yang meninggal dan dimakamkan di Mataloko tahun 1962 terkenal sangat terbuka terhadap pertanyaan aktual yang timbul dari pertemuan antara suku-suku asli Flores Tengah dengan kebudayaan Eropa dan warna kristiani.
Sayangnya Institut Antrophos itu sudah mati. Lagu Requiem sudah lama mengiringi kepergiannya. Semoga Institut Antrophos baru bisa lahir dan bertumbuh dari “Rahim Blikon Blewut dan IFTK Ledalero” Maumere Flores. Atau “Museum Budaya Paul Arndt” berdiri tegak di Mataloko. Kita menyambut mereka dengan lagu Haleluja Paskah.
Tahun 1993-1996 P. Budi Kleden bermisi di negeri Alpen Swiss. Ia tinggal di biara SVD Steinhaussen sambil melayani paroki Steinhaussen(kanton Zug) dan Auw(kanton Aargau, kanton yang sama dengan saya saat ini). Komunitas Steinhaussen adalah satu-satunya biara SVD yang tersisa di Swiss saat ini.
P. Albert Nampara SVD, misionaris dari Mbaumuku Ruteng mendengar kesaksian umat Auw tentang P. Budi dalam dialek Swiss. “Paulus het chaibe guet uf unsere dialekt prediget! Es hend und fues und hilft uns im läbe. Paulus berkotbah sangat bagus dalam dialek Swiss, sangat menyentuh dan membantu kami menjalani hidup”.
Begitupun saat menghadiri perayaan 101 tahun SVD Swiss tahun lalu di Steinhaussen. Kata Albert: “Budi masih mengenal nama para misdinarnya 30 an tahun lalu. Dia ingat nama orang tua mereka dan mengunjungi makam para sahabat yang sudah meninggal”. Ini juga satu kehebatan Budi: mengenal orang dan mengingat namanya.
Dari Swiss Budi melanjutkan studi doktorat di Albert-Ludwig Universität Freiburg am Breisgau. Teman kelas saya P. Poly Ulin Agan SVD dari Adonara, saat ini Rektor Sankt Agustin dan Dosen Teologi Seminari Tinggi Keuskupan Köln memberikan kesaksiannya. Kebetulan Poly juga alumni Freiburg.
“Selama di Freiburg, Budi tinggal di biara Fransiskan. Kalangan Fransiskan memuji Budi karena keutamaan intelektual dan kemanusiaan”. Kegiatan studi sangat padat dan tuntutan kualitas sangat ketat. Meski demikian Budi tetap terus belajar pengalaman nyata di paroki.
Karena itu setiap akhir pekan Budi merayakan ekaristi bersama umatnya di Steinhaussen dan Auw Swiss. Ia berkereta Freiburg-Steinhaussen dan membutuhkan waktu hampir tiga jam. “Budi juga selalu bergabung dengan kelompok arisan ibu-ibu Indonesia di Freiburg. Ia merawat persaudaraan dengan mereka melalui sharing kitab suci, perayaan ekaristi dan makan minum bersama. Dia sangat peduli dengan mahasiswa/i Indonesia yang mengalami kesulitan”.
“Walaupun bergelut di bidang teologi Dogmatik, Budi selalu mencari dialog dengan intelektual dengan perwakilan dari mazhab-mazhab filsafat, terutama dengan mazhab Frankfurt seperti Theodor W. Adorno, Max Horkheimer dan Jürgen Habermas. Dialog ini menempa sikap intelektualnya yang kritis terhadap kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat. Kapasitas intelektualnya adalah kapasitas penuh kepekaan sosial terhadap realitas”.
Tahun 2000 Budi menyelesaikan studi doktorat teologi dogmatik. Dia memperoleh prestasi gemilang “Magna Cum Laude” setelah mempertahankan disertasinya berjudul: “Christologie in Fragmenten: Die Rede von Jesus Christus im Spannungsfeld von Hoffnungs- und Leidensgeschichte bei JB. Metz”. Ya, bagi saya merupakan sebuah thema Kristologi yang sulit dan tak mudah dipahami. Tapi dari tema ini saya bisa memahami komitmen solidaritas kemanusiaan Budi Kleden. Komitmen yang bersumber dan berakar dari Yesus Sang Guru.
Tahun 2001 P. Budi mulai mengajar di STFK Ledalero hingga tahun 2012. Dia dikenal sebagai dosen yang pintar dan kritis. Dia sederhana, rendah hati dan terlibat dalam gerakan-gerakan sosial kemanusiaan. Dia sangat dekat dengan rekan dosen dan para mahasiswa. Saya kira pengalaman studi dan bermisi di tiga negara berbahasa Jerman(Austria, Swiss, Jerman), dialognya dengan mazhab Frankfurt sangat mempengaruhi komitmen intelektual, sikap kritis dan belarasa kemanusiaan.
Sejak dulu Budi memiliki talenta kepemimpinan. Dia tetap merawat talenta ini. Karena itu tahun 2012 – 2018 Budi menjadi anggota Dewan Jenderal SVD dan tahun 2018 – 2024 menjadi Superior Jenderal. Budi mencapai puncak kepemimpinan level dunia. Perjalanan menuju puncak yang berawal dari langkah kecil di Waibalun Larantuka.
Selama di Roma, dia mengunjungi dan meneguhkan sama saudara SVD. Dia berpikir tentang masa depan SVD. Dia mengunjungi lembaga-lembaga kepausan dan bertemu para pimpinannya. Dia membuka akses komunikasi dan jejaring kerja sama untuk karya misi. Dia menjadi tempat berbagi ceritera para misionaris NTT di Italia. Budi sudah sukses menapaki perjalanan panjang dan berliku dari Waibalun menuju Roma. Kita doakan perutusan baru Mgr. Budi. Sebuah “perutusan jalan turun berbelok dari Roma Italia ke Ende Flores Nusa Bunga”. Kita tidak bisa membiarkan Uskup Budi berjalan sendirian!
Stefanus Wolo Itu dari Kirchgasse 4, 5074 Eiken AG Swiss
Penulis adalah Imam Projo Keuskupan Agung Ende. Saat ini Misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel Swiss.