web page hit counter
Senin, 18 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mengendus Lika-Liku Pendampingan Korban Kekerasan Seksual

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – KISAH pendampingan terhadap korban kasus kekerasan seksual di atas dapat membuka wawasan kita tentang nyata dan maraknya kasus kekerasan seksual di sekitar kita. Pelbagai upaya sosialisasi telah banyak dilakukan.

Salah satunya adalah acara Diskusi dan Sosialisasi Mengenal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di Aula Paroki Kampung Sawah, kompleks Gereja Santo Servatius di penghujung April 27/4) yang lalu.

Nyata Ada

“Seiring perkembangan teknologi dan peradaban, modus operandi kekerasan seksual semakin beragam, ungkap Anton Dhirga, Ketua Seksi Keadilan dan Perdamaian Paroki Kampung Sawah saat memberikan sambutan. “Maka makin beragam pula tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang. Ada kekerasan seksual nonfisik, fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Semua diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual no 12 Tahun 2022.”

Siti Aminah Tardi (tengah) berdialog dengan Arsi, pengurus Sub Sie KKG, didampingi Anton Dhirga.

Pelbagai jenis kekerasan seksual yang semakin beragam, seperti diungkap oleh Anton, tak banyak diketahui oleh masyarakat, termasuk undang-undang yang berupaya memberi perlindungan hukum terhadap korban. Namun semakin jelas, bahwa, kekerasan seksual di masyarakat itu nyata ada. Bahkan, lahirnya Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Komnas Perempuan, seperti yang diungkap oleh Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, didorong oleh Peristiwa Tragedi Mei ‘98 yang telah diakui oleh pemerintah telah terjadi kekerasan seksual.

“Pada Mei 1998, terjadi perkosaan terhadap etnis Tionghoa, yang kemudian mendorong para aktivis perempuan untuk meminta pertanggungjawaban negara. Pada waktu itu, Presiden B.J. Habibie mengakui bahwa benar telah terjadi kekerasan seksual di dalam peristiwa tragedi 1998 tersebut. Setelah itu terbentuklah Komnas Perempuan!” kenang Siti Aminah Tardi. “Tujuannya agar negara kita membangun kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, dan agar tak terjadi lagi peristiwa tragedi 1998.”

”Korban kekerasan seksual itu sangat sulit mendapatkan keadilan dan pemulihan!” lanjut Siti Aminah . “Ia lapor tidak dipercaya, bahkan diberi stigma!” tegas Ami, demikian ia biasa dipanggil, yang telah ikut memperjuangkan lahirnya Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) selama 12 tahun.

Rini Bato

Pada sesi berikutnya, Ratna Batara Munti, Direktur LBH APIK Jawa Barat, mengisahkan pengalamannya mempermasalahkan sebuah kasus yang memprihatinkan saat melakukan pendampingan, “Pernah terjadi kasus yang sempat viral, saat terjadi perkosaan oleh 4 pegawai kementrian. Saat itu korban, oleh penyidik, justru diberi SP3, dijanjikan untuk dinikahi dan diberi uang. Individu yang memfasilitasi adalah penyidiknya, tentu saja atas keinginan para pelaku. Kami bongkar kasusnya, kami viralkan, sampai Kemenpolhukam melakukan gelar perkara! Kami dampingi korban sampai terjadi penyidikan ulang, dan pemberian sanksi kepada pelaku. Tak berhenti di situ, saat pelaku menikah dengan korban, agar ia terlepas dari sanksi hukum, setelah upacara pernikahan, dia langsung kabur …tentu saja akhirnya kami permasalahkan lagi dan laporkan.“

Baca Juga:  Jaringan Caritas Indonesia Terus Bergerak Membantu 9000 Pengungsi Akibat Erupsi Gunung Lewotobi

Kisah memprihatinkan tersebut merupakan ilustrasi nyata saat ia memaparkan tema Tantangan Implikasi UU TPKS dari Perspektif Pendamping Korban.

AKBP Emi Rahmawati

AKBP Ema Rahmawati, Kepala Unit Kanit 3/PPA Dittipidum Bareskrim Polri menguraikan panjang lebar tentang 9 Jenis TPKS, yang menurut data di Kabareskrim POLRI, yang tertinggi adalah Pelecehan Seksual Fisik. Sementara kasus yang mengalami peningkatan paling signifikan dari data tahun 2022 dan 2023, adalah Eksploitasi Seksual. Data tersebut terungkap dalam uraiannya tentang Sinergitas POLRI dan Masyarakat dalam Penanganan TPKS. Secara langsung, AKBP Ema mengingatkan kepada peserta,”Hati-hatilah pasang status di medsos. Anda mungkin merasa perlu pasang status lagi galau, baper di rumah tangga, dan seterusnya. Namun itu malah bakal menjadi bahan bagi para predator seksual.”

“Mereka langsung akan mendekati kita, dimulai dari kenalan, lalu terjalinlah hubungan yang lebih dekat, lama kelamaan, seperti yang terjadi pada banyak kasus, akan mengarah pada hal-hal yang berbau seks,” urai AKBP Ema. “Kita pun mau ber-video call, atau memberi foto kepada mereka. Saat ketahuan, dan kita minta putus, mereka langsung mengancam.”

Habitus Baru

Iswanti dari Mitra Imadei KAJ saat menguraikan wacananya tentang Gereja Merespons Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, berujar, “Kita tidak sekadar menyepakati protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan, tapi dibutuhkan kerja sama antarseksi di paroki. Bahkan kita perlu mensosialisasikan habitus baru, yakni budaya aman di dalam gereja!” tegas Iswanti. “Termasuk infrastruktur gereja, apakah gereja kita sudah ramah terhadap lansia dan penyandang disabilitas, misalnya!”

Seminar yang dimoderatori oleh Sella Wangkar,   pembawa acara handal yang pernah menjadi News Anchor di beberapa stasiun televisi nasional tersebut berjalan lancar dan menstimulasi rasa ingin tahu peserta.

Baca Juga:  Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat: Menjadi Kumpulan Orang Pilihan

Lika-Liku Pendampingan

Sosialisasi UU TPKS, memang perlu terus diupayakan oleh pelbagai komunitas masyarakat, termasuk lembaga keagamaan termasuk Gereja Katolik, dengan pelbagai cara dan bentuk. Realitanya, adanya UU TPKS, tidak serta merta memberi perlindungan hukum dan psikologis terhadap korban. Bagi pendamping, perlu lika-liku yang cukup signifikan untuk melakukan pendampingan.

Situasi tersebut beberapa kali dialami oleh tim dari Sub Seksi Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). “Kami pernah mendampingi korban yang dalam UU TPKS termasuk pada ‘kekerasan seksual berbasis elektronik’, “ungkap Rini Bato, ketua sub seksi. “Korban mengawali peristiwa yang berujung pada ancaman tersebut, dari game online. Korban sempat berkomunikasi dengan pelaku. Dari game online, relasi berlanjut dengan permintaan foto bagian intim tubuh korban. Juga video gerakan-gerakan intim suami istri yang sebelumnya diberi tutorial oleh pelaku. Saat korban, yang merupakan pelajar SMA, menyadari, pelaku mulai memberi pelbagai ancaman, yakni akan menyebarkan foto-foto korban dan sejumlah uang.”

“Modus operandi seperti itu sudah banyak terjadi,” tambah Anton Dhirga. “Ada sebuah jaringan yang pusatnya di beberapa negara di Asia Tenggara seperti Myanmar dan Thailand, yang awalnya memberi lowongan pekerjaan dengan imbalan sangat besar kepada orang Indonesia. Saat orang Indonesia sampai di negara tersebut, ternyata mereka diminta untuk melakukan tindakan penipuan termasuk di antaranya kekerasan seksual berbasis elekronik. Maka setelah kami menerima pengaduan, dan berkonsultasi dengan orang tua korban,  tim dari Sub Seksi KKG pun segera melaporkannya ke Polres Metro Bekasi,” paparnya.

“Di Polres Metro Bekasi, setelah melalui proses yang berliku, akhirnya korban diterima oleh Divisi PPA. Dalam proses penyidikan, ternyata dinyatakan bukti tidak mencukupi, “ tambah Ibu Rini Bato. Lalu kami pun mendampingi  korban menuju Pemda Kota Bekasi, ke Dinas PPA. Di situ kami diberi rekomendasi psikolog yang dapat mendampingi korban. Dalam proses selanjutnya, saat pemeriksan kesehatan mental, korban dinyatakan dalam kondisi depresi,” tambahnya.

Ironi Sekolah

Fakta kasus-kasus yang diungkap oleh Ratna Batara Munti dan Siti Aminah Tardi pun, ironisnya pernah terjadi Paroki Kampung Sawah, yang sempat didampingi oleh Sub Seksi KKG, yakni pelecehan seksual fisik, dan dialami langsung oleh siswi SMP. “Kami pernah mendampingi kasus yang sangat ironis. Pelaku adalah saudara sepupu. Sebelumnya, pelaku dan korban pernah melakukan relasi seksual di rumah. Tindakan pelecehan seksual fisik terjadi setelah itu, dan disaksikan di depan teman-teman mereka di sekolah. Saat orang tua mengadu kepada guru, sang guru justru menganggap tindakan tersebut sebagai kenakalan remaja biasa,”tutur Rini. “Tentu saja orang tua tidak terima dan berniat melaporkannya kepada pihak berwajib. Sementara sang korban, karena depresi, bahkan telah berpindah sekolah sebanyak 3 kali.”

Baca Juga:  PESPARANI II PROVINSI KALIMANTAN UTARA: KEDEPANKAN SPIRIT KATOLIK

Cepat Tanggap

Selain sosialisasi UU TPKS, sebagai tindakan pencegahan terjadinya kekerasan seksual lebih lanjut, Paroki Kampung Sawah telah menjalani Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan (PPADR) yang digagas oleh Keuskupan Agung Jakarta, dan telah membentuk Satgas PPADR yang diketuai oleh Kepala Paroki, Pastor Johanes Wartaja, SJ sejak bulan Mei 2023. Di dalam protokol tersebut tentu saja termasuk pencegahan dan perlindungan terhadap kekerasan seksual.

Peserta Diskusi dan Sosialisasi UU TPKS berpose bersama modereator dan para nara sumber di penghujung acara.

“Paroki kami telah   melakukan sosialisasi PPADR kepada beberapa sekolah di lingkungan paroki, kelompok Misdinar, lektris/ lektor, dan saat pembekalan kaling dan seksi periode ini tahun 2023 yg lalu,” tutur Laurensius Hari Wibowo, wakil ketua tim satgas. “Lalu kami  menyepakati dan menandatangani bersama sebuah pakta integritas  yang tentu saja di dalamnya termasuk ikut mencegah terjadinya kekerasan seksual,” tambahnya.

Era teknologi digital berkembang pesat seiring dengan pelbagai kasus tindak kejahatan, termasuk kejahatan seksual. Kejahatan seksual di dunia digital, pun pada tahap tertentu, dapat berimbas pada kejahatan di dunia nyata, seperti perundungan yang semakin memperparah situasi. Korban, tak serta merta mendapat perlindungan, namun bahkan tak jarang justru mendapatkan stigma buruk.

Oleh sebab itu, selain pencegahan terjadinya kekerasan seksual di lingkungan terdekat kita, perlu diupayakan terus menerus, sosialisasi menyeluruh, terstruktur, dan sistematis UU TPKS, ke pelbagai kalangan, sampai ke kaum muda, oleh umat Katolik sebagai bagian dari masyarakat. Upaya tersebut setidaknya dapat lebih memperlancar dan menyederhanakan lika-liku pendampingan korban oleh Gereja.

Aloisius Eko (Kontributor, Bekasi)

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 19, Tahun Ke-78, Minggu, 17 Mei 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles