HIDUPKATOLIK.COM – PAGI itu, Rossa bersenandung pelan sambil memutar kunci pintu depan rumahnya. Ia baru saja pulang sehabis mengikuti Ekaristi mingguan di gereja. Sendirian. Sudah seperti itu sejak beberapa tahun yang lalu, sejak suaminya meninggal dunia.
Begitu membuka pintu, hidung Rossa menangkap bau gosong yang berasal dari dapur. Panik, ia berlari ke sana. Asap mengepul, sementara kompor masih menyala, memanggang panci yang sudah mengkerut dan gosong karena kehabisan air. Rossa buru-buru mematikan kompor, untunglah belum sampai terjadi kebakaran. Ia melongok isi panci itu, bubur kacang hijau yang sudah gosong tidak karuan. Panci kesayangannya itu terpaksa dibuang karena tidak layak pakai lagi.
Naiklah tekanan darahnya karena hal itu. Itu pasti ulah Rossie, saudarinya, yang lupa mematikan kompor sebelum berangkat ke gereja. Dengan amarah yang siap meledak, ditunggunyalah Rossie yang mampir ke pasar setelah pulang dari gereja, mereka selalu berangkat ke gereja sendiri-sendiri.
Lima belas menit kemudian, terdengar suara pintu pagar depan dibuka. Dengan tak sabar Rossa berjalan ke sana, melabrak Rossie yang baru saja datang.
“Heh, Rossie! Bisa-bisanya kau merusak panci kesayanganku!” semprot Rossa begitu melihat muka saudarinya muncul di depan pintu.
Sepersekian detik Rossie terkejut, berpikir, kemudian berlari panik menghampiri dapur. Asap sudah lama hilang dari sana, menyisakan panci butut beserta bubur kacang hijau gosong di dalamnya. Menceluslah hatinya. Sebenarnya ia ingin meminta maaf, tetapi karena tiba-tiba disemprot macam begitu, kumat jugalah darah tingginya.
“Eh, enak saja mulutmu itu berucap! Lagipula tadi kan kau berangkat terakhir, mengapa tidak kau periksa dapur sebelum pergi?” Rossie balas membentak.
“Udah salah, enggak mau ngaku, malah nyalahin orang! Pantas saja suamimu pergi meninggalkanmu!” seru Rossa dengan suara yang semakin meninggi.
“Apa kau bilang? Coba katakan sekali lagi!” seru Rossie tak kalah ketus.
Meledaklah amarah kakak-beradik itu. Saling melemparkan kata-kata pedas, menggebrak meja, dan menuding satu sama lain. Keduanya lupa bahwa mereka baru saja mengikuti Ekaristi, apalagi mendengarkan bacaan dan homili tentang mengampuni.
“Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus, ‘Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?’ Yesus berkata kepadanya, ‘Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh.’”
(Matius 18:21-22)
Bah! Panas hati Rossa membaca renungan tentang bacaan itu di grup WhatsApp. Sudah hampir dua tahun lamanya Rossie tinggal bersama dengannya, sudah selama itu pula ia selalu mengampuni Rossie setiap harinya. Ia tentu sudah mengampuni sebanyak 490 kali! Sudah cukup ia bersabar terhadap saudarinya yang menjengkelkan itu.
Ting tong!!!
Tiba-tiba ponsel Rossa berdering. Panggilan dari Pak Alfons, ketua Presidium Legio Maria.
“Selamat siang, Ibu Rossa…”
“Selamat siang. Ada apa, Pak?”
“Mohon maaf sebelumnya, apakah saya boleh minta tolong menggantikan tugas kunjungan ke rumah Oma Monik? Seharusnya Bu Ririn yang berkunjung, tetapi beliau mendadak berhalangan,”
Rossa diam sejenak, menghela napas. Bukannya ia tidak mau, disposisi batinnya sedang tidak baik saat ini.
“Bagaimana, Bu? Mau ya? Enggak ada orang lagi, Bu. Kasihan Oma Monik.”
“Ya… ya sudah lah, kalau begitu. Saya siap-siap dulu ya.”
“Wah, syukurlah kalau begitu. Terima kasih banyak ya, Bu Rossa!”
Telepon ditutup dari seberang sana, menyisakan Rossa yang duduk termenung.
Mengapa sering sekali begini? Ketika suasana hatinya sedang buruk, entah lagi sedih, marah, kecewa, selalu datang permintaan-permintaan untuk melakukan pelayanan. Permintaan yang seringkali tidak dapat ia tolak. Sambil bertanya-tanya begitu ia memasukkan barang-barang ke dalam tas, lalu berganti pakaian. Kemudian ia pergi, tanpa merasa perlu untuk pamit kepada Rossie.
Tok tok tok… “Permisi, Oma Monik! Spada!” panggil Rossa mengetuk pintu yang sudah usang itu.
“Iyaa, sebentar!” Oma berseru dari dalam sambil tergopoh-gopoh membukakan pintu.
“Ah, ternyata kamu yang datang, Ros. Bukannya Bu Shinta yang mau datang?” tanya wanita tujuh puluh tahunan itu selagi Rossa melepas sandalnya di teras.
“Iya Oma, tadinya begitu, tapi ia ada keperluan mendadak. Makanya tadi saya ditelpon Pak Alfons, diminta menggantikannya datang kemari,” jelas Rossa.
“Wah, kalau begitu rezeki kamu, Ros. Oma sudah memasak sup jamur spesial,” kata Oma sambil terkekeh.
Siang itu, Rossa santap siang bersama di rumah Oma Monik. Lupakan sejenak masalah di rumah, kegiatan mengunjungi lansia ini sebenarnya menyenangkan. Apalagi dengan sup jamur selezat ini, Oma Monik tidak berkelakar mengatakan beliau telah membuat sup jamur spesial.
Setengah jam lamanya mereka menghabiskan waktu di ruang makan itu, bercakap-cakap apa saja yang terlintas di kepala. Bertukar kabar, berbagi informasi terkini, atau sekadar membicarakan harga bahan pokok di pasar. Oma Monik tinggal sendirian sejak anaknya pergi merantau ke ibukota, tak setiap hari ia punya teman bercerita. Seru sekali mendengarkan percakapan mereka berdua itu.
“Kalau kamu sendiri di rumah bagaimana, Ros? Masih sering ributkah dengan saudarimu itu?” tanya Oma Monik mencomot topik obrolan baru, yang ternyata menjadi topik pembicaraan serius.
Senyum Rossa seketika terlipat. Dengan mulut khas emak-emak yang segenap jiwa raga mencurahkan isi hati, panjang kali lebar kali tinggilah cerita Rossa tentang keadaan di rumah. Tentang Rossie yang begini-begitu, pertengkaran karena masalah sepele, dan insiden panci gosong tadi pagi.
Oma Monik tertawa mendengarkan cerita Rossa itu, lantas geleng-geleng kepala. Bukan untuk pertama kalinya ia mendengar tentang keributan Rossa dan Rossie. Ada-ada saja kelakuan kakak-beradik yang satu ini, pikirnya.
“Kita sering lupa, mengampuni itu hanya salah satu pilar, Ros. Masih ada pilar-pilar lainnya, misalnya mendengarkan. Kau tahu mengapa orang selalu berteriak-teriak ketika bertengkar? Karena jarak antara hati yang satu dengan yang lainnya begitu jauh, sampai-sampai harus berteriak supaya bisa terdengar. Sayangnya, tidak ada yang berusaha mendengarkan. Dua-duanya selalu hanya ingin didengarkan.” Hening sejenak, Oma menuang air dari teko ke gelas, lalu meminumnya.
Rossa terdiam mendengar perkataan Oma Monik. Entahlah, apakah selama ini dia sudah berusaha mendengarkan Rossie? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi, dari lubuk hatinya yang terdalam ia rindu sekali berdamai dengan Rossie.
“Enggak apa-apa, Ros. Semua butuh waktu. Butuh proses. Bersabarlah dengan proses itu sambil terus memohon rahmat Allah. Belajar sabar, mendengarkan, dan mengampuni,” kali ini Oma Monik memegang kedua tangan Rossa, menatap matanya dalam-dalam, tersenyum.
“Ah, bisa saja Oma ini,” kata Rossa sambil tersenyum, lalu memeluk Oma Monik.
“Janji ya, belajar untuk mendengarkan dan mengampuni. Jangan mudah menyerah!” pesan Oma sambil menggoyang-goyang kedua lengan Rossa.
Siang itu, Rossa pulang dengan perasaan gembira. Ia lega karena telah mencurahkan isi hatinya, lantas mendapatkan peneguhan yang amat istimewa dari Oma Monik. Ya, dia berjanji akan belajar untuk mendengarkan dan mengampuni Rossie. Mungkin prosesnya akan lama, jatuh-bangun, tetapi tidak apa-apa. Ia akan tekun berdoa, memohon rahmat agar dapat hidup rukun dengan Rossie sebagai saudara.
Ia juga tersadar, Tuhan selalu punya rencana yang hebat. Dalam situasi sulit, Tuhan justru sering memanggil dia untuk melakukan kebaikan bagi orang lain. Pilihan selalu berada di tangannya: apakah ia tetap bersedia menanggapi panggilan Tuhan itu kendati tidak mudah, atau justru menolaknya?
Oleh Fr. Agustinus Budi
Sumber: Majalah HIDUP Edisi No.18, Tahun Ke-78, Minggu, 5 Mei 2024