HIDUPKATOLIK.COM – Padang gurun gersang nyaris membelokkan arah ziarah imamatnya. Kasih dan kesetiaan Tuhan terus menyertainya.
Tanggal 17 Februari 2024, sebuah pesan dari Bapak Cornelius Pulung dari Sekretariat Nunsiatura (Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta) lewat WhatsApp. Pesannya, “Pastor segera ke Jakarta untuk bertemu Duta Besar Vatikan dalam waktu dekat … .” Pesan ini segera dikonfirmasi Pastor Hironimus Pakaenoni dengan berangkat ke Jakarta tanggal 20 Februari.
Ketika bertemu Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Piero Pioppo, sebuah tugas berat diserahi kepadanya. “Pastor, Bapa Paus Fransiskus memilih Anda sebagai Uskup Agung Kupang.” Lanjutnya, “Saat itu saya hanya diminta persetujuan atau jawaban ya!”
Dengan perasaan campur aduk, takut, gugup, terkejut, bahkan gembira, Mgr. Hironimus diminta ke Kapel Nunsiatura untuk berdoa sejenak di depan Sakramen Mahakudus. Ia memohon kebijaksanaan Roh Kudus. “Sesudah berdoa dan mendapat kekuatan spiritual, saya lalu kembali bertemu Duta Besar dan memberikan jawaban ya,” ceritanya.
Duta Besar lantas memintanya menulis jawaban itu di sebuah kertas dan membubuhi tanda tangan sebagai jawaban ketaatan pada Paus. Jawaban itu akan dikirim ke Vatikan. Setelah itu, Mgr. Piero menelepon Mgr. Petrus Turang, Uskup Keuskupan Agung Kupang (KAK) saat itu untuk memberitahu berita menggembirakan ini.
Penuh Gejolak
Mgr. Hironimus menceritakan bahwa dirinya sudah mulai curiga ketika mendapat pesan dari Sekretariat Nunsiatura. Sebelumnya pada 25 Agustus 2023, dirinya pernah dipanggil Nunsio ke kedutaan untuk pertama kalinya. Pada saat itu, Duta Besar sudah memberitahukan bahwa dirinya termasuk salah satu kandidat uskup. Maka Nunsio (Duta Besar Vatikan) menyampaikan beberapa nasihat agar membenahi hal-hal tertentu dalam diri Mgr. Hironimus. Sejak saat itu, dirinya mengalami berbagai pergumulan batin yang sangat intens selama kurang lebih empat bulan.
Dalam pergumulan batin ini, ia merefleksikan sebuah pertanyaan mendasar, apakah dirinya layak? Selama itu pula, ia membawa pergumulan ini dalam doa yang intens dan memasrahkan diri seutuhnya kepada Tuhan.
“Saya percayakan pada Tuhan apapun yang terjadi dengan jalan panggilan saya. Tak ketinggalan terus membawa diri bersama Bunda Maria dalam doa dan pasrah,” sebutnya. Bila terjadi, “terjadilah padaku menurut kehendak-Mu”, demikian kepasrahan Mgr. Hironimus. Maka jawaban ya atas tugas dari Paus Fransiskus, meski diwarnai dengan gejolak batin yang mendalam, ia menerima semua tugas yang diberikan kepadanya.
Pemilihannya sebagai uskup bukan gejolak terakhir yang dirasakannya. Perjalanan panggilannya sebagai imam tak semulus yang dipikirkan. Secara keseluruhan panggilan sebagai imam ia refleksikan sebagai ekspresi kerinduan jiwa akan Alah – sebuah kerinduan asali dan abadi. Tetapi jalan itu tidak mudah, sebab perjalanan itu penuh pasang surut, jatuh – bangun, suka-duka, tangis dan tawa. Keterbatasan dan kerapuhan insani membuatnya menjawab kerinduan akan Tuhan ini dengan cara-cara yang terbatas.
Tuhan menyapa Pakaenoni sejak Kelas II SD Noemuti II, Kabupaten Timur Tengah Utara. Sejak itu, ia rajin mengikuti Misa karena rumahnya tak jauh dari Paroki Hati Kudus Yesus Noemuti. Bahkan ketika sendirian di rumah, Pakaenoni kecil sering bermain peran seperti seorang imam yang memimpin Misa dengan mengenakan daster ibunya sebagai ganti kasula. Begitulan benih-benih panggilan itu terus bertumbuh hingga saya memutuskan masuk Seminari Menengah Sta. Maria Immaculata Lalian.
Entah di seminari menengah maupun di seminari tinggi pun gejolak batin sebagai manusia insani dirasakan dengan berbagai momen. Pertama, saat duduk di Kelas III Seminari Lalian, dirinya harus memutuskan lanjut ke seminari tinggi atau perguruan tinggi lainnya. Kedua, dilema setelah menyelesaikan studi filsafat di Seminari Ledalero. Apakah siap menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) ataukah berhenti dan siap kerja. Ketiga, saat selesai TOP. Apakah kembali ke seminari atau berhenti sampai di sini.
Kasih dan Kesetiaan
Ia melanjutkan momen-momen krusial ini tidak berakhir saat tahbisan diakon dan iman saja tetapi terus mengiringi ziarah hidup imamatnya. Ada banyak “fatamorgana” kehidupan yang menawarkan oase-oase segar di tengah kembara Pakaenoni. Padang gurun gersang nyaris membelokkan arah ziarah imamatnya.
“Dari situ saya semakin sadar dan paham akan dinamika hidup panggilan imamat yang setiap kali menuntutku untuk terus-menerus mengaktualisikan kerinduan asaliku sebagai imam,” ujarnya.
Kata-kata Yeremia 1:5 menjadi kekuatannya, “Dia yang telah mengenal dan memanggilku sejak dalam rahim ibuku.” Kerinduan asali untuk menanggapi panggilan Tuhan membuatnya dalam keberadaan insaninya memutuskan setia pada panggilannya. Spirit adikodrati yang diwarnai dengan keterbukaan total terhadap rahmat Allah terungkap dalam ungkapan Bunda Maria, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu” (Luk 1:38).
Ia melihat bahwa dialog Kabar Sukacita, sebuah dialog iman yang tidak meniadakan anugerah kodrati dan rahmat adikodrati telah Tuhan tetapkan dalam dirinya sejak awal. Meski terkadang dirinya disilaukan dengan kenikmatan duniawi sebagai manusia. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa menjadi imam adalah anugerah kodrati sekaligus rahmat adikodrati dari Tuhan untuknya. Setiap langkah panggilannya diwarnai dengan terus mempertajam derajat pikiran, hati, dan kepekaan menjawab keinginan Tuhan. Refleksi panggilannya ini adalah bentuk realisasi kontemplatif dari kehadiran dan pemberian Allah yang menolongnya untuk menghargai setiap proses yang terjadi.
“Saya melihat ini sebagai misteri yang menolong saya untuk menarik diri dari dunia yang keras dan kurang bersahabat pada pemenuhan kepuasan spiritual – batiniah untuk berpartisipasi dalam karya menghadirkan Kerajaan Allah,” sebutnya.
Gloria Dei, homo vivens (jiwaku memuliakan Tuhan) kini menguatkan hidupnya agar terus bergembira menjalani panggilan. Satu hal yang membuatnya gembira menjalani panggilan adalah kesadarannya akan betapa besar dan tak terbatasnya hesed (kasih) dan emeth (kesetiaan) Tuhan terhadapnya. “Kendati tidak sempurna; sering jatuh bangun akibat kerapuhan insani, saya terus berjuang menanggapi kasih dan kesetiaan Tuhan yang tak terbatas dan tanpa syarat kepadaku,” tuturnya.
Hingga hari ini entah sebagai imam maupun uskup ia merasakan dalam dirinya penuh kerapuhan. Tuhan memanggilnya saat dirinya rapuh, penuh dosa. Dari kerapuhan ini, ia ingin berjalan bersama para selibater dan umat beriman mewujudkan Kerajaan Allah di dunia.
Yustinus Hendro Wuarmanuk
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 17, Tahun Ke-78, Minggu, 28 April 2024.