HIDUPKATOLIK.COM – ROMO Irfantinus yang baik. Salam kenal dengan saya Fr. Ignatius dari Manado. Romo saya saat ini sudah tingkat 2 dan selama ini juga punya satu pembimbing rohani. Tetapi sejauh ini saya tidak pernah mau terbuka dan bercerita secara pribadi, kecuali saya dipanggil atau dijadwalkan. Sebagai orang muda, saya punya masalah dalam panggilan misalkan ketertarikan pada lawan jenis, kehilangan motivasi belajar, kedisiplinan jam bersama di asrama. Saya ingin bercerita semua masalah ini tetapi saya tidak bisa. Ada ketakutan jangan-jangan Romo yang saya percaya malah memandang rendah kepada saya, menilai yang macam-macam. Selain itu saya tipikal orang yang sulit mengungkapkan perasaan, sulit percaya pada orang, dan sulit menerima bantuan orang lain. Kalau bisa sendiri, kenapa harus minta bantuan orang lain? Mohon masukannya Romo.
Fr. Ignatius H, Manado
Syalom Frater Ignatius. Tema ‘keterbukaan’ memang hal yang sangat sering menjadi isu sentral di rumah-rumah formasi. Ada cukup banyak formandi yang merasa takut untuk terbuka, karena berbagai macam alasan. Padahal dalam proses formasi, keterbukaan dan rasa saling percaya antara formator dan formandi merupakan sikap mendasar yang harus ada. Jika hal itu belum tercipta, maka kemungkinan besar proses formasi tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, bila isu tentang ‘keterbukaan dan saling percaya’ telah menjadi masalah komunal, maka komunitas bina perlu berbicara dari hati ke hati dan melakukan gerakan bersama untuk mengatasi hal itu.
Paling tidak ada lima hal yang sering membuat orang sulit terbuka dengan problem yang dia miliki. Pertama, yang bersangkutan memperoleh ‘keuntungan’ dari problem yang dia miliki. Misalnya, seorang frater tahu bahwa dia sedang menjalin relasi yang tidak sehat, tetapi yang bersangkutan sulit untuk mengolah secara terbuka karena dia tidak ingin lepas dari relasi itu. Akhirnya, yang bersangkutan akan tetap menutup rapat relasinya.
Kedua, yang bersangkutan sudah terbiasa dengan problem itu, sehingga takut bila ada perubahan. Dia tahu bahwa kebiasaannya itu buruk, tetapi untuk membangun kebiasaan baru sulit sekali baginya, sebab secara sadar atau pun tidak sadar dia seperti berprinsip “biarpun tidak sehat, tetapi paling tidak aku sudah mengenali dan paham dengan keadaanku ini, itu lebih baik daripada melakukan hal-hal yang tidak aku kenali dan tak bisa kukontrol”.
Ketiga, menyangkut kecenderungan karakter orang yang bersangkutan. Kita akan sangat sulit mengajak seseorang yang memiliki kecenderungan narsis yang cukup kuat untuk berhenti pamer atau bercerita tentang kekurangan dirinya. Seseorang dengan kecenderungan kepribadian tergantung akan sangat sulit untuk diajak menjadi seorang inisiator. Dia akan lebih memilih untuk menjadi follower daripada leader. Seseorang yang perfeksionis akan sangat peduli pada pandangan positif orang lain atas dirinya, sehingga segala celah yang dapat membuat dia kelihatan tidak sempurna akan ditutup.
Keempat, menyangkut hal yang mau dirubah atau dibicarakan. Misalnya, hal-hal yang menyangkut seksualitas memang akan cenderung sulit untuk dibicarakan.
Kelima, menyangkut ‘siapa teman berbicara’. Tema yang sebenarnya sering menjadi guyonan diantara para frater, bisa menjadi sesuatu yang sangat sulit diceritakan kepada seorang pembimbing. Mungkin saja karena ketakutan bahwa cerita tersebut bisa menjadi catatan negatif atau karena pembimbing memang cenderung ‘bocor’.
Frater Ignatius mengenali diri sebagai orang yang “sulit mengungkapkan perasaan, sulit percaya pada orang, dan sulit menerima bantuan orang lain. Kalau bisa sendiri, kenapa harus minta bantuan orang lain?”. Selain karena kecenderungan karakter tersebut, barangkali Frater juga bisa lebih memahami situasi dirinya melalui lima poin di atas.
Ketika sedang mengalami kesulitan untuk bercerita, misalnya karena takut bercerita, maka kita bisa bicara tentang ‘takut bercerita’ itu sendiri. Barangkali itulah langkah awal yang dapat frater tempuh. Praktisnya, frater bisa bercerita ke pembimbing rohani tentang “ketakutan jangan-jangan Romo… malah memandang rendah kepada saya, menilai saya macam-macam”. Cerita tentang ketakutan tersebut dapat menjadi sarana yang membantu untuk menjernihkan persepsi-persepsi pribadi, sebab Romo bersangkutan bisa langsung mengklarifikasi.
Dengan bercerita tentang kesulitan tersebut, sebenarnya frater telah membagikan perasaan dan sedang meminta bantuan. Dalam arti itu, frater telah/sedang keluar dari kelaziman tipikal diri. Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan frater sudah maju selangkah.
Sering terjadi, cara kita untuk mengatasi masalah malahan lebih bermasalah dari masalah itu sendiri. Misalnya, karena begitu takut mendapatkan penolakan, maka seseorang menjadi sangat berhati-hati dalam pergaulan. Dia menjadi orang yang sulit bertindak spontan dan tidak luwes. Akhirnya, dia ‘mendapatkan penolakan’ malahan karena dia ‘terlalu berhati-hati’. Artinya, cara dia untuk menghindari penolakan itu, malahan membuat dirinya ditolak. Dalam konteks frater, ketidakterbukaan itu bisa jadi malahan menjadi sumber ‘penilaian yang macam-macam’ dari pembimbing rohani.
Silakan kirim pertanyaan Anda ke:
re**********@hi***.tv
atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.