web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Tanggapan KWI Sehubungan dengan Wacana KUA Menjadi Tempat Pernikahan Semua Agama: Perlu Duduk Bersama untuk Mencari Solusi

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – REINALDO Lewuk sangat kecewa. Pernikahan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari terancam tidak diakui negara. Usai melangsungkan pernikahan di Gereja St. Joannes Baptista Parung, Bogor, Oktober 2023 lalu, Rei yang beragama Katolik dan istrinya, Sri Utami yang beragama Islam merasa dipersulit soal pencatatan sipil mereka.

Cerita yang sama terjadi pada Gladys Simarmata (Katolik) dan Parlin Sinurat (Protestan) yang melangsungkan pernikahan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan Ciluar, Bogor, Februari 2024 lalu. Keduanya juga mengeluh karena dipersulit soal pencatatan sipil.

Dari cerita Rei dan Parlin, alasannya karena sudah ada terbitan Surat Edaran (SE) Ketua MA 2/2023 tentang petunjuk bagi hakim, dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan bedah agama dan kepercayaan. Dalam SE tersebut poin ke-2 disebutkan, “Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.”

Sebelum keluar SE ini, dulu orang Katolik menikah beda agama dapat dicatatkan berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu Putusan MA No. 1400K/PDT/1986 yang menerangkan bahwa Kantor Catatan Sipil diperkenankan melangsungkan perkawinan beda agama – termasuk juga beda Gereja.

Dengan demikian, dampak pernikahan beda agama adalah tidak dapat dicatatkan karena jika diajukan ke pengadilan, hakim tidak dapat dikabulkan permohonan pencatatan perkawinannya. Harus menikah dalam kondisi agama yang sama yaitu keadaan di mana kedua pasangan memutuskan untuk menikah dengan prosesi pernikahan salah satu agama yang dianut.

Catatan Sipil

Selama ini pernikahan dalam Gereja Katolik selalu diikuti tiga tahapan. Tahap pertama harus mendaftarkan diri di sekretariat paroki dengan membawa surat pengantar dari lingkungan calon mempelai. Surat pengantar ini untuk mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan (KPP). Tak lupa menyiapkan fotokopi  Surat Baptis yang diperbaharui baik calon Katolik dengan Katolik pun Katolik dengan non-Katolik maka yang Katolik wajib membawa surat baptisnya. Ada juga pas foto masing-masing dan biaya adminstrasi (KPP) sesuai aturan masing-masing paroki.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Tahap kedua mengisi formulir dan menyerahkan berkas-berkas pernikahan seperti surat pengantar dari lingkungan, sertifikat KPP, surat baptis, foto berwarna, KTP saksi pernikahan 2 orang yang Katolik. Kemudian datang sendiri bersama pasangan bertemu pastor untuk penyelidikan Kanonik. Calon yang belum atau bukan Katolik dalam kanonik wajib membawa 2 orang saksi untuk menjelaskan statusnya yang bukan Katolik.

Tahap ketiga adalah pengurusan pernikahan catatan sipil. Soal catatan sipil, ada dua model yaitu catatan sipil dilakukan di Gereja setelah liturgi perkawinan atau pasangan setelah menikah baru mengurus catatan sipil sendiri – tentu dengan berbagai syarat dan administrasi. Dari sisi paroki akan membantu menyiapkan Surat Pemberkatan Nikah Gereja.

Tahapan pertama dan kedua sejauh ini masih dipraktikkan dalam Gereja Katolik. Tetapi tahap ketiga akan mengalami perubahan manakala usulan Menteri Agama (Menag), Yaqut Quomas yang ingin menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai tempat menikah semua agama bukan sekadar mencatat pernikahan. Dahulu umat Katolik bila menikah entah beda beda seagama, beda gereja, maupun beda agama bisa mencatatkan Catatan Sipil di Dukcapil, bila wacana ini terealisasi maka KUA tempat pernikahan sekaligus catatan sipil. Alasannya Kemenag memang seharusnya melayani semua agama.

Anna Hasbie

Juru Bicara Kemenag, Anna Hasbie saat dihubungi mengatakan, KUA harusnya bisa melayani kebutuhan umat agama lain yang kesulitan mengakses tempat ibadah atau kantor sipil misalkan karena berada di tempat yang sulit. “Kemenag ingin memaksimalkan fungsi KUA sebagai layanan unit keagamaan. Sekaligus ingin menjadikan KUA sebagai etalase kerja Kemenag dengan memberikan pelayanan keagamaan untuk seluruh agama,”ujarnya.

Ia melanjutkan bentuk pelayanan itu berbeda-beda misalkan berupa bimbingan perkawinan bagi calong pengantin, fungsi administrasi, dsb. Menurutnya, praktik ini sudah berjalan di Kabupaten Bangli, Bali dan di Bangka Belitung yang mayoritas Konghucu maka KUA di sana memberikan bimbingan perkawinan bagi umat Konghucu.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Nikah KUA

Tak lama berselang, wacana Menag ini mendapat pro dan kontra dari para pemimpin agama. Banyak orang menilai baru saja usulan SE Ketua MA soal pencatatan perkawinan beda agama yang masih meninggalkan persoalan, malahan sudah keluar revitalisasi aturan pernikahan di KUA yang dianggap tidak tergesa-gesa.

Beberapa pemuka agama mendukung, tetapi ada juga yang menolak dengan alasan perkawinan sebagai urusan privat, pemerintah tidak perlu campur tangan. Dengan KUA terlibat bisa saja mereduksi kesakralan perkawinan, apalagi bila pemberkatan atau liturgi perkawinan tidak dilangsung di Gereja tetapi di gedung KUA dan diberkati bukan oleh pastor tetapi penghulu. Menag malah diminta baiknya fokus membenahi masalah izin pendirian rumah ibadah yang sulit diperoleh karena panjang birokrasi dan administrasinya.

Mgr. Yanuaris Theofilus Matopai You

Kritikan misalkan datang dari Uskup Jayapura, Mgr. Yanuaris Theofilus Matopai You. Ia menegaskan pemberkatan nikah bagi umat Katolik di Jayapura tetap dilangsungkan di gereja. Ia dengan tegas meminta Menag tidak membuat kegaduhan dengan kebijakannya.

“Kalau misalnya untuk proses pencatatan sipil yang nanti akan disatukan di KUA, baik untuk seluruh lintas agama, itu dapat dilakukan dengan catatan, dalam proses pencatatan sipil itu dikerjakan oleh masing-masing lintas agama,” ujarnya. Pemimpin agama ini kan ada enam di negara ini. “Libatkan pemimpin agama jangan mengambil keputusan yang tidak lewat pertimbangan matang dan hanya menimbulkan kegaduhan.”

Tegasnya lagi, untuk pemberkatan nikah umat Katolik di Tanah Papua tetap harus dilaksanakan di Gereja karena pernikahan bagi umat Katolik itu sakral. Termasuk pernikahan tidak sah kalau dilaksanakan di aula atau gedung-gedung lain, apalagi di gedung KUA.

Mgr. You menerangkan yang namanya KUA itu berada di bawah Dirjen Bimas Islam yang mana direktorat yang mengurus bagian perislaman. Jika aturannya diubah maka yang akan menikahkan pasangan non-Islam adalah penghulu. KUA itu bukan di bawah Dirjen Agama Katolik, Protestan, Hindu, Budha, atau Konghucu. “KUA itu di bawah Dirjen Islam dan saya dengar sebagian besar kantor KUA memakai tanah wakaf yang peruntukannya untuk masalah-masalah terkait umat Islam.”

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

Senada dengan ini, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Pastor Agustinus Heri Wibowo menambahkan pemerintah seharusnya mengundang semua kelompok agama untuk mendiskusikan rencana tersebut karena ini melibatkan ajaran yang berbeda. Pun itu terjadi harusnya KUA lebih tepat menjadi tempat pencatatan pernikahan semua agama, sedangkan tempat pernikahan diserahkan kepada agama masing-masing.

Pastor Agustinus Heri Wibowo.

Sementara itu, Ketua KWI, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC berencana akan berdialog dengan Menag terkait wacana ini. Ia menilai wacana tersebut merupakan niat baik meskipun belum ada dialog dengan semua organisasi keagamaan. “Kita belum bereaksi apapun. kita baru mempelajari maksudnya, karena biasanya Menag berdialog dengan KWI,” kata Mgr. Subianto.

Menjadi penting duduk bersama membahas rencana ini karena dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) memandang perjanjian pernikahan itu bukan kontrak. Pernikahan adalah persekutuan yang dilakukan dua orang dewas yang utuh dan sehat jasmani rohani dan bukan sekadar hidup bersama saja.

Ketua KWI Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC Sidang KWI 2023
Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC

Dalam pandangan Katolik, pernikahan bukan soal hubungan fisik (seksual) saja, melainkan spiritual dan psikis. Itulah mengapa dalam ajaran Katolik tidak mengenal adanya perceraian alias pernikahan seumur hidup atau bersifat monogam eksklusif. Sebab tujuan utama pernikahan Katolik pun mengutamakan kesejahteraan pasangan, kelahiran anak serta pendidikan rohani anak disamping pendidikan formal.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 16, Tahun Ke-78, Minggu, 21 April 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles