HIDUPKATOLIK.COM – MASIH hangat di mata dan telinga kita bagi yang mengikuti perkembangan politik pasca pilpres, adalah kesaksian Romo Magnis – lengkapnya Pastor Fanz Magnis-Suseno, SJ — sebagai ahli. Hemat saya, kehadiran Romo Magnis dalam sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) memberi nuansa tersendiri, memberi aroma tersendiri, bukan karena ia seorang kulit putih dari benua biru, bukan juga karena dia adalah orang yang paling tua dari sejumlah ahli yang dihadirkan, tetapi karena ada label yang melekat dalam dirinya sebagai Imam dan Gereja. Ini juga menjadi pesan besar buat Gereja (hierarki) bahwa kesaksian Gereja di dunia politik adalah suatu keniscayaan, mengingat Gereja dan politik ada pada tanah lapang dan arena yang sama. Dengan kata lain Gereja pun harus berpolitik, dalam arti sebagai civil society bukan sebagai political society.
Politik Moral
Sesungguhnya politik dan moral adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena dalam arti yang paling primordial, politik itu ada dan hadir untuk memastikan terjaganya moralitas. Dengan kata lain moralitaslah yang melahirkan politik. Originalitas politik yang demikian ini seringkali terpenjara oleh pragmatisme politik yang melihat politik sebatas urusan kekuasaan. Joseph Alois Schumpeter (1883-1950), pemikir ekonomi politik Austria abad ke-20 yang berpindah menjadi warga Amerika di tahun 1939 adalah salah satu dari para penganut pragmatism selain Harold Dwight Laswell (1902-1978) yang memaknai politik sebagai memaknai politik sebagai who gets what, when, and how—siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.
Schumpeter memahami politik sebagai pasar immoral, tempat orang beradu libido kekuasaan dengan segala intrik yang tidak boleh disalahkan sebagaimana yang juga dipahami oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf kontroversial dari Jerman. Schumpeter memakai paradigma pasar yang cenderung mencabut kandungan moral dari politik sebagai sesuatu yang niscaya. Artinya, moral bisa dialpakan dalam urusan politik.. Bagi Schumpeter, memperjuangkan moralitas dalam politik adalah upaya yang absurd karena politik pada dirinya berorientasi pada kepentingan yang terukur, bukan pada pencapaian tujuan-tujuan transendental yang berada di wilayah moral. Lagi-lagi di sini, politik dan nilai moral dipisahkan secara tegas untuk tidak saling mempengaruhi.
Hannah Arendt adalah contoh yang biasa dikutip dalam kajian moral politik, terutama gagasannya dalam buku Human Condition. Arendt menegaskan, kualitas tindakan manusia tidak ditentukan baik oleh motif maupun oleh konsekuensi dari tindakan melainkan oleh prinsip dari tindakan an sich yang disebutnya “the criterion of greatness”. Apa yang dimaksudnya dengan “the greatness” dalam hal ini? Yang dimaksud Arendt adalah prinsip moral dari tindakan. Implikasinya, tindakan politik ditakar berdasarkan bobot moral dari tindakan itu sendiri. Arendt dan kaum moralis umumnya relatif terabaikan dalam kajian politik kontemporer karena dominasi pendekatan pragmatisme dalam praksis politik kekinian, sebagaimana yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Gereja Harus Hadir
Sebagai prinsip moral, politik mengandung dalil etis yang kuat tentang kebaikan umum sebagai tujuan teleologisnya. Sebagai sistem tindakan, politik mengacu pada fungsi, peran, tindakan, dan tanggungjawab yang melekat pada keseluruhan struktur dan substruktur dari sistem politik. Karenanya politik dalam arti ini dipahami sebagai keseluruhan prinsip moral dan tindakan yang berkaitan dengan dan dalam rangka mewujudkan kepentingan umum (Hargens, 2017). Pada posisi inilah Gereja harus hadir dan bersuara, mengibarkan bendera perangnya untuk mendiskualivikasi semua kecenderungan dan praktek politik yang pragmatis yang rela memangsa dan menggagahi kepentingana rakyat demi memuaskan libido kekuasaan yang liar dan tidak berorientasi pada kepentingan rakyat banyak.
Yves Michaud (1944) mengartikan libido politik yang immoral ini dengan sebutan politik porno. Dalam bukunya bukunya yang berjudul Violence e Politique (1978), Yves Michaud mengartikan politik porno sebagai semua bentuk kekerasan politik untuk tujuan tertentu. Politik porno merupakan manajemen kekerasan sebagai cara/sarana yang efisen dan andal. Masuk dalam politik porno ini adalah demonstrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan untuk biaya poltik, intimidasi, adu domba, pemboman, menciptakan ketegangan dan kerusuhan untuk destabilisasi situasi, ekseskuasi pengadilan jalanan oleh kelompok tertentu (Haryatmoko, 2003). Politik porno dengan demikian adalah sutu perilaku yang sangat kasar dan jahat demi sebuah tujuan parsial, pragmatis atau jangka pendek.
Melawan Pragmatisme
Romo Magnis Suseno dengan kepakarannya dalam bidang Etika Politik, bisa menjadi cermin besar buat Gereja. Lepas dari beberapa kesepakatan dan juga beberapa ketidaksepakatan saya dengan pernyataannya di Gedung MK, saya tetap memberi apresiasi pada tokoh besar Gereja ini, bahwa Gereja harus terus mengoptimalkan potensinya untuk melawan arus dunia pragmatisme politik yang terus saja merajalela. Gereja harus menjadi rival bagi pragmatisme politik dan jangan terjebak di dalamnya. Terjebak yang saya maksudkan di sini adalah kehati-hatian Gereja dalam bersuara untuk tidak blunder yang selanjutnya keliru dalam memberikan suara kenabiannya untuk melawan kepekatan politik pragmatis.
Dan hal ini hanya mungkin kalau Gereja mempunyai kecakapan moral. Lagi, Hargens memahami kecakapan moral sebagai pemahaman tentang moral dan ontologi moral dalam politik dan kecakapan dalam membangun politik berbasis moral. Usaha ini tak mudah karena politik kita dikuasai arus pragmatisasi yang radikal. Ada kecenderungan mencabut kandungan moral dari politik bukan karena alasan ideologis bahwa politik harus sekuler, melainkan karena ketidakpedulian terhadap moralitas. Hemat saya, Gereja mempunyai kecakapan moral yang mumpuni dan karena itu sebagaimaa yang telah dicontohkan oleh Romo Magnis, Gereja harus terus mengoptimalkan diri untuk lebih mendayagunakan potensi dan lebih berandil dalam bidang politik, sambil pada saat yang sama terus melepaskan diri dari berbagai jeratan politik immoral yang seringkali hadir dan mencederai rakyat.
Dony Kleden, CSsR, Antropolog dan Pemerhati Masalah Politik dari Universitas Katolik Weetebula
Majalah HIDUP, Edisi No. 16, Tahun Ke-78, Minggu, 14 April 2024