HIDUPKATOLIK.COM – “PROFLEKSI Perjalanan 40 Tahun APTIK” menjadi tema Kongres Ke-41 Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK). Kongres berlangsung selama tiga hari, 21-23 Maret 2024 di Kampus Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta Selatan.
HIDUP berkesempatan bertemu Wakil Ketua APTIK, Pastor Yulius Yasinto, SVD pada hari terakhir. Berikut ini petikan wawancara dengan imam yang pernah berkarya sebagai rektor Universitas Katolik Widya Mandira di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dan kini menjabat sebagai Ketua Badan Pengurus Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus (Yapenkar).
Bagaimana kondisi perguruan tinggi Katolik di Indonesia?
Sulit memberi satu gambaran umum. Ada beberapa tantangan yang mungkin sama dengan apa yang dialami perguruan tinggi swasta lain.
Satu yang paling jelas adalah mendapatkan mahasiswa tidak semudah dulu lagi. Dulu brand perguruan tinggi Katolik sudah bagus, lainnya belum berkembang seperti sekarang. Tapi sekarang, perguruan tinggi lain, khususnya di daerah-daerah, sudah menjadi perguruan tinggi bagus juga dengan standar yang baik. Jadi pilihan orang semakin banyak.
Kedua, masih sulit menghilangkan anggapan bahwa perguruan tinggi Katolik itu mahal. Padahal sebenarnya kalau mau membandingkan secara jujur dengan perguruan tinggi besar lainnya, jatuhnya tidak beda. Malah mungkin bisa lebih murah.
Ketiga, pengembangan sumber daya manusia. Tidak mudah lagi mendapatkan orang Katolik yang berkomitmen untuk menjadi dosen seperti dulu saat masa jayanya perguruan tinggi Katolik. Sekarang pilihannya sudah semakin banyak menurut saya. Pilihan profesi makin banyak. Profesi dosen dan guru bukan lagi menjadi sebuah profesi yang dikejar seperti dulu – dalam strata sosial paling tinggi. Sekarang muncul jenis pekerjaan baru yang secara sosiologis memberikan kesan strata sosial yang lebih tinggi.
Apakah karena gaji?
Enggak tahu juga. Saya beri contoh begini, kebetulan saya pernah jadi rektor selama delapan tahun, lalu sekarang ketua yayasan, sudah tahun keenam. Kami sangat sulit mendapatkan dosen untuk prodi ilmu komputer: sistem informasi, teknik informatika. Setelah kami cari tahu dan diskusi dengan prodi lain dari APTIK, sama mereka. Sulit mereka mendapatkan dosen karena tamatan yang baik dari prodi seperti itu – S1 – langsung lari ke industri dengan tawaran gaji yang jauh lebih tinggi daripada gaji dosen. Itu yang kemudian menjadi masalah kami.
Sekarang, dari statistik yang kami dapat, banyak perguruan tinggi besar – yang dulu jumlah mahasiswanya selalu tinggi – mulai ada tren, kalau bukan menurun, minimal flat. Jadi pertambahannya tidak signifikan lagi, atau begitu-begitu saja.
Perbandingan tahun lalu dan sekarang?
Menurun. Total mahasiswa di bawah perguruan tinggi APTIK tahun lalu, akumulasi seluruhnya ada pada (angka) 91.000. Dari semua anggota, sekarang ada 22. Sebenarnya jumlah anggota 22, tapi jumlah perguruan tinggi 23 karena ada yayasan anggota yang punya dua perguruan tinggi. Posisi terakhir tahun 2023 menurun menjadi 88.000-an. Berarti ada pengurangan sekitar 3.000. Saya takut tren menurun ini akan tetap, entah untuk berapa tahun ke depan. Saya tidak tahu apakah ini yang dimaksud dengan permasalahan utama.
Ada masalah lain yang juga kami deteksi selama ini dari hasil diskusi. Super sulit mencari identitas Katolik. Apa sebenarnya yang membedakan perguruan tinggi Katolik dengan perguruan tinggi lain? Dalam keseharian operasional sama saja, mengejar mutu terkait pembelajaran. Tri Dharma Perguruan Tinggi. Semua begitu.
Terus bedanya apa yang membuat kami kemudian menjadi tempat di mana keluarga Katolik mengirimkan anak-anaknya selain mutu? Misalnya, mereka mau anaknya menjadi ahli teknik sipil yang membawa nilai-nilai Katolik. Apakah kami masih menyediakan itu? Ini menjadi pertanyaan.
Sehingga beberapa tahun terakhir kami membentuk sebuah Tim Identitas dan Misi Katolik yang menggali spiritualitas atau nilai-nilai pokok dari perguruan tinggi yang ada. Kemudian kami coba satu frame, selain substansi yang harus dikembangkan tapi juga perangkat organisasinya. Dalam satu perguruan tinggi Katolik, selain pejabat struktural seperti rektor, dekan, kaprodi, dan kepala biro, apakah perlu satu unit khusus yang bisa mengembangkan itu sehingga civitas acadenica masuk ke situ dan bisa mengembangkan nilai-nilai khusus itu.
Itu yang kami rasa juga menjadi satu persoalan sekarang. Jadi sekarang kami seperti tenggelam dalam daily business of other institutions. Sama saja.
Solusi APTIK terkait penurunan jumlah mahasiswa?
Belum ada konkritnya menurut saya. Ini asosiasi yang berdasarkan pada kolaborasi. Dalam Kongres, misalnya, kami mulai mencoba mengajukan apakah kami perlu berkolaborasi dalam menciptakan cara-cara promosi yang lebih updated tapi dalam bentuk kolaborasi. Masing-masing pasti sudah mengembangkannya. Tapi cara-cara tradisional: berkeliling ke paroki-paroki, iklan, kini iklan di media sosial, apakah efektif? Kenyataannya menurut saya tidak.
Saya belum bisa menjawab apakah ada satu cara khusus. Yang kami rintis sekarang adalah kami berkumpul bersama dulu, sharing dulu.
Terkait identitas Katolik, apa yang membedakan perguruan tinggi Katolik dengan perguruan tinggi swasta lainnya?
Kami juga tidak bisa menyebut secara umum. Tapi contoh yang bisa diberikan begini: metode pembelajaran sekarang sangat menekankan technology-based approach dari sisi penyampaiannya kepada mahasiswa, peralatan yang digunakan, sistematika. Tapi kami rasa ini tidak cukup menunjukkan kekhasan itu.
Maka dalam dua tahun terakhir, teman-teman di jaringan pembelajaran sudah mengembangkan selain teknologi pembelajaran berbasis digital tapi juga menggunakan filsafat Driyarkara. Memanusiakan manusia. Ini dasarnya. Pembelajaran di kelas maupun di luar kelas harus meyakinkan kami bahwa prosesnya membuat manusia yang diajar menjadi manusia yang utuh sehingga tidak hanya berat pada penyaluran informasi akademik tapi juga pada pembentukan kepribadian.
Ketua APTIK, B.S. Kusbiantoro selalu bilang begini: kamu tidak bisa mengajar anjing bersiul hanya karena kamu bisa bersiul, kamu mengajar anjing ini supaya bisa menjadi pelindung, penjaga rumah tuannya. Pokoknya memaksimalkan kemampuan yang dia miliki, bukan memaksa dia untuk menjadi sesuatu yang tidak bisa hanya karena yang mengajarkan bisa melakukan itu. Sehingga fungsi dosen sekarang adalah mendampingi dan capacity building.
Menurut penilaian kami, 50-60 persen dari dosen masih konvensional. Datang, memberikan ilmunya, selesai, pulang, uji. Tidak bisa. Harus ada satu nilai bagaimana prinsip-prinsip Katolik membuat seseorang menjadi manusia.
Artinya dosen juga perlu mendapat pencerahan?
Justru itu hulunya. Dosen dulu, baru substansi. Fasilitas paling akhir. Ini menurut pendekatan itu.
Contoh lain adalah kami mengembangkan pembinaan karakter mahasiswa dalam semua lini proses pendidikan. Jadi tidak hanya dalam bentuk pelatihan. Misalnya, bagaimana seorang dosen ketika mengajar menanamkan nilai-nilai disiplin dengan cara yang benar, kecintaan pada lingkungan, penghormatan terhadap martabat sesama, perlindungan terhadap perempuan atau orang-orang yang rentan perundungan. Ini menggerakkan seluruh civitas academica untuk bisa menanamkan nilai-nilai itu jauh lebih intensif ketimbang program-program lain yang non-Katolik.
Tidak mudah karena ada anggota kami yang masih berjuang untuk survive.
Langkah yang akan diambil APTIK ke depan?
Jangan lagi berorientasi ‘hidup karena banyak mahasiswa’ sehingga penurunan jumlah mahasiswa tidak lagi menjadi momok yang membuat kami takut bahwa suatu saat kami akan berhenti. Mungkin small is beautiful bisa menjadi suatu prinsip baru.
Bukankah hal ini berpengaruh terhadap kondisi finansial?
That’s right. Ini pendekatan yang harus diubah. Mencari suatu sumber yang cukup sustainable untuk mendapatkan pendapatan.
Kedua, kami mengumpulkan finansial hanya supaya bisa berjalan dengan baik. Dalam arti kami menyelenggarakan pendidikan sebisa kami dengan jumlah siswa yang jangan terlalu jorjoran dan membutuhkan biaya yang sangat besar.
Yang saya lihat adalah pendidikan seperti industri besar. Orang berlomba-lomba mencari, membuat image. Ini membutuhkan biaya mahal. Gedung besar, kerjasama internasional. Memang mau tidak mau secara finansial kuat.
Lebih baik kami mendidik sedikit tapi bagus ketimbang mau banyak hanya sekadar survive tapi outcome-nya tidak beda dengan perguruan tinggi lain yang mendidik terlalu banyak orang.
Apakah dengan kondisi seperti ini perguruan tinggi Katolik bisa survive?
Saya rasa tidak. Perlu penguatan finansial yang tidak bergantung pada mahasiswa. Kami sudah mengundang para Chief Excecutive Officer (CEO) yang berpengalaman, bagaimana mendampingi kami supaya tidak lagi bergantung pada mahasiswa. Tidak seperti bisnis, tapi mereka pasti punya cara-cara baru. Bagaimana mengembangkan modal menjadi sesuatu yang sustainable sehingga tidak 90 persen lagi bergantung dari pemasukan dari mahasiswa.
Jumlah mahasiswa menurun, apakah jumlah dosen ikut turun?
Tidak. Naik. Banyak perguruan tinggi Katolik berakreditasi bagus karena memenuhi syarat-syarat pengembangan dosen. Sekarang bukan hanya rasio dosen-mahasiswa, tapi juga kualitas dosen dari sisi ketrampilan, tingkatan jabatan fungsional. Maka tidak bisa lagi mengambil jumlah dosen pas-pasan. Nanti habis waktunya untuk mengajar, padahal butuh penelitian dan lainnya. Jadi jumlahnya memungkinkan mereka juga untuk berkembang.
Jumlah dosen malah meningkat dan kualitasnya bagus.
Sebenarnya penurunan jumlah mahasiswa tidak banyak. Banyak juga perguruan tinggi Katolik yang jumlah mahasiswanya bertambah. Deperti kami, Universitas Katolik Widya Mandira di Kupang. Bahkan saat pandemi Covid-19. Tidak semua. Yang besar-besar, misalnya, biasa menerima 3.000 mahasiswa baru, turun menjadi 2.500 mahasiswa baru. Dampak akumulasi kelihatan sekali. Ketimbang yang biasa mendapat 500 mahasiswa baru, naik menjadi 600 mahasiswa baru. Kayak kami, biasanya 1.500 mahasiswa baru per tahun, naik menjadi 1.700 mahasiswa baru.
Katharina Reny Lestari
Majalah HIDUP, Edisi No. 15, Tahun Ke-78, Minggu, 14 April 2024