HIDUPKATOLIK.COM – MUNGKIN dari antara umat yang hadir dalam misa memule 25 tahun wafat Romo Y.B. Mangunwijaya di kampus Teologi Werdabakti, USD, Kentungan Februari lalu, nama Romo Mangun (1929-1999) terdengar sayup-sayup. Tetapi niscaya sebagian besar pernah mendengar keteladanan dan membaca buku-buku karya dan telaahnya tentang sebutan Pahlawan Kali Code itu.
Di samping dikenal sebagai guru kemanusiaan — sebab berkarya bagi penghargaan manusia, guru iman, sebab dengan kata-kata dan tindakannya mencerminkan sikap bahwa agama harus dimanifestasikan dalam karya bagi sesama, terutama yang miskin dan terpinggirkan, dan guru kebangsaan sebab menawarkan satu kehidupan berbangsa yang tidak saling mengerkah tetapi menyatu. Oleh karena itu bagi Romo Mangun, sebutan guru kemanusiaan, guru kebangsaan, dan guru iman perlu diucapkan dalam satu tarikan napas.
Meskipun perjuangan dan pembelaan Romo Mangun sering berbenturan dengan pemerintah/aparat, membantu penduduk Pantai Grigak, Gunung Kidul tentu sejalan dengan program pemerintah. Seumur-umur dari generasi ke generasi, untuk memenuhi kebutuhan air tawar dari bibir pantai, penduduk harus naik-turun tebing terjal setinggi 100 meter. Berkat bantuan Romo Mangun, air tawar melimpah ke pekarangan penduduk. Warga tidak perlu naik turun tebing setinggi 100 meter lagi.
Dikenal Lewat Warisannya
Umum terjadi, seorang tokoh dikenal dan dipelajari keteladannya setelah yang bersangkutan meninggal. Benar yang dikatakan filsuf Perancis Paul Ricoeur. Manusia memiliki waktu yang terbatas (meninggal), tetapi warisan karya-karyanya memasuki waktu yang tidak terbatas (durability unaware of death) dan melintasi sejarah (transhistorical time). Closure (penghentian) memang perlu dan harus, tetapi closure membuka pengenalan dan kajian warisan karyanya. Dimulailah sesuatu yang baru. Kematian tidak berarti omega (akhir) tetapi alpha (awal) dalam abjad bahasa Yunani.
Begitulah Romo Mangun semakin dikenal lewat warisan ujaran, teladan, dan karya-karya-karyanya. Warisan keteladanan dan karyanya menjadi abadi. Warisannya menjadi inspirasi menyampaikan visi dan cita-cita kemuliaan harkat manusia: mengajak orang berpikir lebih mendalam, lebih bebas dan lebih menghargai sesama karena kesamaan derajatnya sebagai manusia. Begitu juga karya-karya arsitektur (wastu menurut istilah Romo Mangun) berbagai gereja, gedung, masjid dan biara yang tersebar di berbagai kota.
Napas kesederhanan dan keberpihakan pada rakyat sarat terasa, menyentuhkan elan besar: penghargaan manusia dan kemanusiaan. Banyaknya ulasan tentang Romo Mangun dan karya-karyanya, menunjukkan besarnya minat orang untuk mencerap keteladanannya, di antaranya dalam bentuk film Sang Manyar Nyanyian Pinggir Kali, satu episode dari trilogi yang dibintangi Ojing J. Rahardjo sebagai Romo Mangun muda dan disutradarai Sergius Sutanto.
Karya fiksinya sarat dengan nilai kesejarahan, ada kekecualian Balada Becak (1985), sebuah fantasi humor. Karya nonfiksinya: Romo Rahadi (1981), novel pertamanya tentang keragu-raguan hingga masterpiece-nya Burung Burung Manyar (1981, Ikan Ikan Hiu, Ido, Homa (1983) yang berlatar belakang perjuangan kemerdekaan, Balada Balada Dara Mendut (1993) tentang sejarah emansipasi dara-dara rakyat di Sekolah Guru di Mendut, Magelang, trilogi novel sejarah abad ke-17 Roro Mendut, Geduk Duku, dan Lusi Lindri (1983-1986), novel magis realis Durga Umayi (1991), novel epik Burung Burung Rantau (1992).
Karya nonfiksi tersebar di berbagai media, dengan memungut fakta yang sedang aktual berkembang terutama yang menyangkut penistaan martabat manusia, dia refleksikan ditopang bahan bacaan yang dia kuasai, artikel-artikelnya menerobos, mengentak dan inspiratif. Ditemukan dari serakan warisan drafnya, calon novel tentang penghuni Tefaat Pulau Buru – hasil refleksinya selama beberapa bulan di sana. Rupanya ada pertentangan batin menyangkut penistaan sesama terhadap para penghuni, sehingga Romo Mangun urung menyelesaikannya.
Menurut sahabat-sahbatnya, produktivitas dalam karya-karya pembelaan pada mereka yang terpinggirkan dan tersisih, terentang sejak 1975 hingga akhir hayatnya. Bagi Jakob Oetama, rekannya di seminari menengah, produktivitas maksimal Romo Mangun terentang antara 1996 sampai meninggalnya, terutama artikel-artikel nonfiksi yang mengritik praksis pemerintahan Soeharto. Di tengah apresiasi tinggi, menurut Ignas Kleden, pemikiran-pemikiran Romo Mangun amat subur mengritik dan merespons spontan atas keadaan yang terjadi tanpa memberikan kerangka besar yang melandasi.
Romo Mangun, pribadi yang dianugerahi talenta besar, itu mewariskan inspirasi mulia yang diusahakannya sepanjang hayat: mengajak umatnya, masyarakat dan bangsanya menghargai sesama manusia dan kemanusiaannya. Standar moral terbesar bagi yang sudah meninggal dan dinilai berjasa bagi rakyat, bangsa dan negara memanglah penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Semoga.
“Napas kesederhanan dan keberpihakan pada rakyat sarat terasa, menyentuhkan elan besar…”
St. Sularto, Wartawan Senior
Majalah HIDUP, Edisi No. 15, Tahun Ke-78, Minggu, 14 April 2024