HIDUPKATOLIK.COM – SESUDAH umat Kristiani merayakan Paskah, kini umat Muslim merayakan Idulfitri atau Lebaran. Dua perayaan besar ini diawali dengan masa puasa dalam bentuk dan cara yang berbeda namun esensinya kurang lebih sama. Menahan diri, bermatiraga, semakin mendekatkan diri kepada Allah, mewujudkan bela rasa (solider) dengan kaum miskin, terpinggirkan, difabel, dan potensial disingkirkan atau termajinalisasi.
Di masa puasa lalu, khususnya puasa Muslim, marak digelar acara berbuka puasa bersama. Tuan rumahnya bisa dari kalangan Muslim sendiri. Bisa juga inisitif dari kalangan tertentu yang non-Muslim. Tak jarang, susteran, pastoran atau lembaga-lembaga Katolik yang berinisatif menyediakan segala sesuatunya untuk dinikmati bersama dalam suasana akrab dan bersaudara.
Ketika majalah ini beredar, umat Muslim tengah merayakan Idulfitri. Menariknya, sudah jamak terjadi bahwa Idulfitri atau Lebaran ini menjadi momen yang juga dirasakan, atau ‘dirayakan’ oleh umat non-Muslim bersama dengan saudara-saudari Muslim. Adalah ‘sangat’ lazim bahwa dalam satu keluarga besar, terdapat anggota keluarga yang berbeda keyakinan alias dalam satu keluarga ada yang menganut agama yang berbeda. Misalnya, ada yang Muslim, ada yang Katolik atau yang lain. Perkawinan campur beda agama juga membuka kemungkinan bahwa dalam satu keluarga terdapat keyakian agama yang berbeda. Maka, di masa Lebaran seperti ini, suasana guyub adalah pemandangan yang sangat lazim. Ikatan persaudaraan semakin dipererat. Bersilaturahmi. Saling kungjung-mengunjungi.
Sebagai institusi, Gereja Katolik pun – melalui Paus — menyampaikan ucapan selamat Idulfitri kepada umat Muslim di seluruh dunia. Ucapan, yang tentu saja, bukan sekadar ucapan di bibir namun mengandung makna dan harapan yang mendalam. Ajakan untuk makin menyadari bahwa kita, umat manusia sebagai sesama saudara. Menghargai satu-sama lain. Sama-sama mengedepankan kemanusiaan. Menolak segala bentuk pelecehan terhadap harkat dan martabat manusia, termasuk mendesak semua pihak untuk menghentikan perang dan pertikaian di dalam bangsa sendiri dan antarbangsa seperti terjadi. Bersama-sama menolak segala bentuk intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Dalam rangka Lebaran, di sejumlah keuskupan misalnya, para pucuk pimpinan agama secara bersama-sama mengadakan kunjungan bersama kepada tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah. Sebut saja misalnya di Keuskupan Amboina. Kunjung-mengunjungi para tokoh agama sudah menjadi tradisi yang menjadi nadi kerukunan antarumat beragama. Begitu juga di sejumlah keuskupan lain. Harapannya, pertemuan para pucuk pimpinan agama dan masyarakat tersebut dapat menjadi panutan bagi umat di tataran paling bawah. Masyarakat akar rumput dapat melihat bangunan persaudaraan, saling terbuka, saling percaya di antara pemimpin. Dialog antarumat beragama tak lagi sekadar pembicaraan di seminar atau ruang-ruang tertutup tapi menjadi habitus yang hidup di tengah masyarakat.
Sekali lagi, momentum seperti ini selalu perlu dikelola, dirawat dan dibangun terus-menerus. Kalangan muda perlu dilibatkan. Begitu juga anak-anak dan remaja. Mereka harus merasakan dan mengalami betapa pluralitas, kebhinnekaan itu adalah suatu keniscayaan di tengah bangsa ini. Tak hanya hidup berdampingan. Tapi, hidup bersama sebagai saudara yang peduli dan solider.
Majalah HIDUP, Edisi No. 15, Tahun Ke-78, Minggu, 14 April 2024