web page hit counter
Sabtu, 23 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Robert Na Endi Jaweng : Reformasi Birokrasi Lembaga Gereja dan Negara

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Gereja perlu ambil bagian aktif dalam upaya menjamin keselamatan umat.

DI Jambi, seorang ibu beragama Katolik masuk rumah sakit. Awalnya ibu ini terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (BPI) kesehatan dari pemerintah, tetapi tiba-tiba status kepesertaan BPJS itu dibatalkan. Sang ibu mengakui dirinya bingung dan tidak tahu cara membayar biaya rumah sakit. Dirinya tidak pernah mengecek status kepesertaannya.

Kasus yang sama terjadi di Kupang. Ada umat Katolik sakit dan hendak masuk rumah sakit tapi tak ada biaya, termasuk tidak punya BPJS kesehatan. Sang pasien makin terbebani di rumah sakit karena meski sembuh masih berpikir caranya melunasi biaya rumah sakit. Bahkan pernah di Yogyakarta karena umat Katolik tidak mampu membayar biaya rumah sakit, pihak manajemen rumah sakit menahan sertifikat rumah sampai orang itu bisa melunasinya. Syukur kalau bisa melunasi, bila tidak maka harta satu-satunya disita.           Inilah realitas yang dialami Robert Na Endi Jaweng sebagai anggota Ombudsman RI. Menghadapi situasi ini, rata-rata aksi solider dari keluarga untuk membantu pembiayaan. Menurut Endi, selain aksi solider keluarga, ada alternatif lain yang harus dipertimbangkan yaitu lembaga agama. “Meski ini tugas negara untuk menjamin keselamatan warganya, tetapi bila negara lalai, bagi saya alternatif paling mungkin adalah Gereja ambil gerakan sosial ini,” kata Endi.

Reformasi Kesehatan

Endi mengatakan ada sekitar 95 persen warga peserta BPJS tetapi bila melihat data pemanfaatannya masih jauh di bawah. Ada warga yang terdata sebagai peserta tetapi tidak terlindungi. Bahkan warga miskin dan tidak mampu yang sebelumnya dibiayai oleh pemerintah kini sekitar 49 juta anggota PBI, pertahun lalu tidak lagi dibiayai karena ketentuan minimal anggaran kesehatan di UU Kesehatan. Termasuk di dalam persentase itu ada umat Katolik. Syukurlah bila umat mengecek status berkala BPJS, tetapi bila tidak maka saat sakit tidak ada alternatif sumber pembiayaan lain selain pasrah dan bantuan orang lain.

Baca Juga:  PESAN NATAL KWI DAN PGI: “MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM” (LUK 2:15)

“Ini betul tanggung jawab pemerintah, tetapi fakta lapangan terkadang situasi masyarakat miskin terbaikan. Alternatif pembayaran paling utama adalah keluarga tetapi saya berpikir Gereja bisa ambil alih gerakan sosial-kemanusiaan ini,” sebut Endi saat ditemui di kantor Ombudsman RI, Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu, (27/9/2023).

Perhari ini, data Ombudsman menunjukkan agama yang memiliki lembaga khusus penanganan kesehatan umatnya yang miskin adalah Islam dengan Zakat Baznas dan Protestan dengan lembaga Perpuluhan. Dua lembaga ini jelas arah pemanfaatan anggaran di bidang kesehatan bagi umat miskin atau orang-orang kecil. Gereja Katolik kalau tidak salah punya lembaga yang namanya Bakkat. Sebuah lembaga untuk menampung sumbangan dari umat Katolik yang dipotong dari penghasilan untuk banyak karya amal. Sejauh ini Ombudsman dan umat Katolik belum menemukan fungsi langsung di bidang kesehatan.”

Endi meyakini bahwa umat Katolik memiliki jiwa sosial yang tinggi. Visi keberpihakan Gereja, option for the poor sudah dilaksanakan dengan baik tetapi terkadang sebatas materi kotbah dan belum menyentuh bidang kesehatan. Alasannya pertama, resonansi pemberian jaminan kesehatan bagi umat Katolik miskin dan tidak mampu bayar belum ada. Kedua, belum ada aksi nyata sebagai medan uji visi Gereja yang berpihak pada orang miskin. Ketiga, solidaritas warga berbasis keagamaan di Gereja Katolik sangat kuat. Aksi karitas Gereja menyentuh banyak faktor itu patut diapresiasi tetapi itu lebih banyak pada bangunan fisik padahal hak utama manusia adalah hak untuk hidup. Dalam arti tertentu hak untuk bisa menikmati kesehatan yang baik.

Khusus Gereja Katolik saya berpikir perlu ada reformasi organisasi. Dalam hal ini tata kelola organisasi internal Gereja. “Mungkin bisa jadi ada umat yang mau membantu tetapi tata kelola organisasi Gereja belum maksimal, atau mekanisme lembaga yang mengelola bantuan-bantuan belum sesuai aturan yang ada. Sebab masih ada kasus yang ditangani Ombudsman, ada tenaga kerja di lingkungan Gereja pun belum mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai aturan. Ini tantangan bagi Gereja saat ini,” ungkapnya.

Baca Juga:  Pementasan Teater dan Konser Mini “Bukan Pahlawan Biasa” SMA Karya Budi Putussibau

Otonomi Daerah

Endi mulai tertarik dengan isu politik dan sosial sejak duduk di bangku Seminari Menengah St Pius XII Kisol, Manggarai, NTT. Saat lulus dari seminari, banyak teman memutuskan masuk seminari tinggi, Endi tidak. Baginya ada medan pastoral lain yang bisa menampung keinginannya di bidang politik dan sosial. Meski keputusan ini berat bagi kedua orangtua yang sangat berharap Endi jadi imam, tetapi akhirnya menerima keputusan Endi.

Mulailah Endi berpetualang menemukan bakat dan kemampuan dirinya. Ia masuk Fisipol, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM). “Memang ada banyak kegiatan intra kampus, tetapi saya merasa tidak terkait dengan minat bakat saya. Akhirnya saya terjun dalam organisasi kemahsiswaan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) tahun 1996. Di Ormas Katolik ini saya mengalami banyak hal terkait penguatan kapasitas dan keilmuan di bidang politik dan sosial,” ujar Endi.

Tamat dari UGM, keluarga kembali berharap Endi bisa kembali ke daerah untuk menjadi pegawai negeri. Maklum dalam pandangan orangtua PNS menjadi cita-cita yang sangat membanggakan selain menjadi pastor. Tetapi Endi berkeras kepala dan ingin mengambil jalan hidup lain maka dirinya berharap bisa terlibat dalam lembaga sosial kemasyarakatan atau lembaga-lembaga otonomi daerah lainnya.

Keinginan ini terakomodasi sesuai tuntutan mahasiswa saat masa Reformasi 1998. Ada enam tuntutan dari mahasiswa salah satunya adalah pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Endi menangkap peluang ini maka dirinya bergabung dengan FORMAPPI yang didirikan tahun 2001 dengan latar belakang keprihatinan atas perkembangan parlemen yang cenderung menjadi sewenang-wenang dan begitu wewenang terhadap lembaga-lembaga politik. Sejumlah aktivis muda yang terlibat dalam gerakan reformasi 1998 ada dalam lembaga nirlaba ini. Lingkup kerja FORMAPPI adalah pengawasan parlemen dengan berbagai macam program kerja.

Dari FORMAPPI, Endi pindah ke lembaga yang kurang lebih memiliki fungsi yang sama yaitu Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Lembaga ini menaruh fokus pemantauannya pada segala hal terkait kebijakan dan pelayanan public di bidang ekonomi, fiscal, dan kebijakan desentralisasi daerah secara umum. “Saya menyadari bahwa untuk mengubah sesuatu kebijakan, butuh suara yang kuat untuk didengarkan. Biasanya itu ditemukan di eksekutif dan legislative tetapi juga di lembaga negara seperti Ombudsman. Atas dasar itu saya berjuang untuk bisa melayani masyarakat dengan posisi saya sekarang ini.”

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Di Ombudsman, Endi dipercayakan menangani berbagai persoalan di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan, persoalan sosial, dan kepegawaian termasuk reformasi birokrasi. Ada dua kasus besar yang pernah dialaminya di masa awal menjadi anggota Ombudsman RI tahun 2021 yaitu pemecatan karyawan KPK yang cenderung sangat politis sekali. Ada juga persoalan kesehatan lain yaitu 300 anak yang tercemar obat sirup sehingga menderita gagal ginjal. Di antara mereka 205 meninggal dunia dan 100 lainnya penyintas.

Dalam kinerja Obdusman ada dua pendekatan bila menghadapi persoalan ini. Pertama pendekatan kasuistik yaitu usaha memecahkan masalah per kasus (case by case). Terkait kasus anak-anak yang meninggal, Ombudsman mendesak untuk negara tidak saja ganti rugi, tetapi harus memberi santunan kepada keluarga. Ada juga pendekatan sistematik dengan memperbaiki sistem bagaimana jalur produksi hingga distribusi obat.

Sebagai orang Katolik yang bekerja di lembaga negara, Endi melihat ada dua persoalan yang akan dihadapi. Pertama, integritas karena bagaimana kita bisa tahan uji dengan ragam godaan yang setiap hari kita hadapi. Kultur birokrasi yang menggurita dengan saling “main mata” dengan menganggap sesuatu yang haram itu halal saja bagi keluarga. Integritas seorang pemimpin di lembaga negara itu diutamakan, kalau pemimpin sudah kepalang basah, maka anak buah akan sewenang-wenang. Kedua, kompetensi yaitu seorang tokoh Katolik yang jadi pemimpin harus punya kompetensi. Ombudsman hingga hari ini dipercaya sebagai lembaga negara karena kompetensi dan kinerja para pemimpinnya.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles