HIDUPKATOLIK.COM – ISTILAH misogini secara etimologis berasal dari kata Misogynia (Yunani) yaitu Miso (benci) dan Gyne (wanita) yang berarti a hatred of women, rasa benci kepada perempuan. (Gove, 1996). Ketika benci itu dijadikan sebuah konsep, maka konsep itu akan menjelma menjadi realitas yang hidup.
Dalam sejarah kekristenan, Agustinus misalnya melihat perempuan sebagai ketidaksempurnaan lelaki. Atau hawa adalah Adam yang cacat. Konsep itu begitu melekat kuat dalam masyarakat, sampai itu pun bisa merambas sampai ke radix (akar) persoalan. Zaman pencerahan pun mengangkat soal gender. Otoritas perempuan harus sama dengan kaum lelaki. Ketika hantu kapitalisme merasuki kehidupan masyarakat, secara tidak sadar konteks perempuan sejagat pun dikerucut oleh daya iklan. Maka, tubuh perempuan tidak serta merta milik mereka, melainkan milik biro perusahaan.
Rasa benci kepada perempuan merupakan paradigma purba yang masih dihidupi di zaman ini. Kalau membaca di surat kabar, TV, dan media sosial, begitu banyak kaum perempuan sebagai victim, entah itu korban politik maupun korban kekuasaan.
Berdasarkan data IOM, 250.000 orang jadi korban trafiking di Asia Tenggara setiap tahun. Menurut data Komisi Perlindungan Anak yg dikeluarkan Maret 2005: jumlah anak korban trafiking untuk tujuan prostitusi meningkat, dari berbagai rumah border di Indonesia, 30% atau sekitar 200-300 ribu perempuan yang dilacurkan adalah anak-anak.
Penelitian Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa di Jabar (2003) terdapat 6.276 perempuan yang beroperasi di dunia prostitusi; 30% dari mereka berusia di bawah18 tahun (Angka sebenarnya pasti lebih tinggi).
Data-data di atas memberikan gambaran betapa nahas nasib kaum hawa di tangan kaum adam. Ketika uang kawin dengan kekuasaan, perempuan menjadi korban. Prostitusi semakin meningkat. Prostitusi meningkat memiliki relasi yang erat dengan tingkat nafsu kaum pria. Sampai anak kecil pun dijadikan sasaran empuk untuk pemuas nafsu.
Miskinnya penghargaan terhadap kaum perempuan memunculkan banyak persoalan negara. Tat kalau kaum hawa lupa daratan, bahwa rahim perempuan adalah surga yang turun ke bumi, itu pun akan mencuat ke persoalan lain. Ketika hawa (makhluk hidup) saja dibombardir demi kepentingan kaum adam, apalagi penghormatan kepada hal lain. Ingat! Perempuan adalah mahkota kehidupan.
Di lan matra, ada budaya tertentu yang menjadikan perempuan sebagai penentu. Dikenal dengan budaya matrilinear. Penghormatan terhadap kaum hawa sangat dijunjung tinggi. Warisan ide, budaya, dan produk pemikiran seperti ini bisa dijadikan sebagai lahan subur bagi kaum hawa belajar banyak hal. Kenapa ada budaya tertentu yang memberikan penghargaan luhur terhadap ibu? Misalnya, di Bajawa Flores.
Kaum Perempuan dan Kehidupan
Kata perempuan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu kata ‘Empu’, yang berarti kehidupan. Kalau ditelisik lebih juah, ini benar. Perempuan memiliki rahim yang bisa menghasilkan kehidupan. Ia dianugerahi martabat luhur untuk dihormati dan dijunjung tinggi. Konsep perempuan sebagai misogini (yang harus dibenci) mendapat perlawanan di sini. Misoginisme merupakan pertautan yang tidak menghasilkan apa pun, selain chaos.
Kematian berarti suatu yang jauh dari empu (perempuan). Rupanya kematian dan kesakitan negara ini karena tidak mengetahui radikalisme konsep perempuan. Radikalisme dalam konteks ini adalah pencarian sampai ke akar-akarnya. Tidak heran, alam semesta yang diidentikan dengan ibu dieksplorasi dan eksploitasi besar-besaran. Kehilangan penghargaan terhadap yang hidup (perempuan) membuat orang mati pada dirinya sendiri. Kemorosotan moral merupakan akar dari ‘rasa benci’ akan yang hidup.
Mencintai Kehidupan
Manusia di hadapkan pada dua kebiasaan, yaitu mencintai kehidupan atau mencintai kematian. Ketika, orang memilih mencintai kematian, dampaknya sesuatu (seseorang) yang hidup dianggap mati. Ini akar dari kehancuran. Mencintai sesuatu yang hidup pertama-tama berawal dari rahim.
Perempuan memiliki rahim dan kualitas yang tidak dimiliki oleh kaum pria. Kualitas itu merupakan mutiara berharga bagi kehidupan itu sendiri. Ketika mutiara itu dibenci, hal-hal lain pun dibenci dan dianggap hina.
Dalam situasi kekacauan ini, mungkinkah banyak orang percaya kepada perempuan, yaitu empu “kehidupan”. Mari kita mencintai kehidupan. Ketika budaya kehidupan itu hadir dan menyetara, maka nilai keindahan (pulchrum), kebaikan (bonum), dan kebenaran (verum) akan semakin nyata dan tampak. Sejarah kehidupan manusia berasal dari perempuan, bukan kematian.
Konsep misoginisme lantas diganti dengan konsep amorisasi terhadap yang hidup. Barang siapa mencintai kehidupan, ia tidak akan mati.
Miskinnya penghargaan terhadap kaum perempuan memunculkan banyak persoalan negara.
Eugen Sardono, Pengajar Cicics Education di Westin International School
Majalah HIDUP, Edisi No. 14, Tahun Ke-78, Minggu, 31 Maret 2024