HIDUPKATOLIK.COM – “Tuh lumba-lumbanya di depan kita,” seru saya. Langsung puluhan perahu datang ke arah perahu kami. Sangat menggembirakan ketika lumba-lumba muncul di depan perahu kita. Lompatannya yang hanya setengah meter, membuatnya sulit terlihat di keremangan pagi. Air laut masih kelihatan gelap. Agak sulit membedakan dengan warna lumba-lumbanya. Sangatlah beruntung jika lumba-lumba muncul dekat dengan perahu kita.
Sekitar 50 perahu bergerombol satu kilometer dari Pantai Lovina pagi ini. Kami menunggu lumba-lumba muncul di antara perahu-perahu kami. Ketika lumba-lumba muncul, yang hanya berlangsung 5-10 detik, maka perahu-perahu lain pun segera menuju ke arah lumba-lumba tersebut. Kalau perahunya kurang gesit, maka para penumpangnya tidak sempat melihat lumba-lumbanya. Lumba-lumba itu kadang terlihat melompat sendiri, tetapi lebih sering berkelompok. Satu kelompok bisa sampai belasan lumba-lumba.
Keseruan pengejaran untuk menonton lumba-lumba ini hampir saja batal kami nikmati. Akan saya ceritakan di bawah.
Lumba-lumba adalah mamalia yang hidup di laut dan sungai di seluruh dunia. Lumba-lumba adalah kerabat paus dan pesut. Ada lebih dari 40 jenis lumba-lumba. Saya pernah melihat pertunjukan lumba-lumba di tempat wisata. Tetapi saya belum pernah melihat lumba-lumba di habitat yang sesungguhnya.
Tempat liburan kami kali ini adalah Pantai Lovina di utara Bali. Jaraknya sekitar 3-4 jam perjalanan dari bandara I Gusti Ngurah Rai. Tempat ini terkenal karena wisata lumba-lumbanya. Kemarin kami berangkat dari Sanur dan mampir di beberapa tempat di Bedugul. Dari Bedugul ke Pantai Lovina melewati pegunungan yang penuh tanjakan dan turunan serta kelokan.
Karena hiburan di Pantai Lovina ini terutama adalah menonton lumba-lumba yang hanya muncul di pagi hari, maka kami sudah menginap di salah satu hotel dekat pantai sejak kemarin malam. Sebelumnya anak bungsu saya sudah mencari pemesanan perahu via daring, tetapi belum menemukan harga terbaik. Kemarin malam kami menelusuri pantai dan menemukan sebuah kios travel kecil yang menjual jasa menonton lumba-lumba. Pemiliknya ramah dan harganya cocok, sehingga kami memesan untuk keberangkatan pagi hari tadi untuk kami bertiga. Saya dan kedua anak saya yang keduanya sudah dewasa.
Pukul 5.50 pagi kapten perahu sudah mengetuk pintu kamar hotel kami untuk membangunkan kami. Kami segera bergegas menuju pantai yang berjarak dua menit berjalan kaki dari hotel kami, sehingga kami sampai di pantai pukul 6.00.
Kami diantar ke perahu. Di sana ada satu keluarga kulit putih yang sudah datang sebelum kami. Suami, istri, anak perempuan sekitar tujuh tahun dan anak laki-laki sekitar lima tahun. Kapten perahu mempersilakan saya naik ke perahu terlebih dahulu. Mungkin karena dilihatnya saya yang paling tua di antara penumpang. Kemudian kedua anak saya naik perahu. Anak-anak kulit putih itu dinaikkan orang tuanya ke perahu.
Kejadian yang tidak enak dimulai ketika sang ayah kulit putih menanyakan jaket penyelamat. Kapten perahu ternyata tidak menyiapkan jaket-jaket penyelamat untuk penumpang. Anak perempuan kulit putih menangis dengan suara keras. Mungkin takut kalau tidak menggunakan jaket penyelamat. Kapten perahu berusaha meminjam jaket penyelamat ke teman-temannya, dan hanya berhasil mendapatkan dua jaket penyelamat. Akhirnya keluarga kulit putih tersebut tidak jadi naik ke perahu kami.
Saya sendiri tidak merasa kuatir dengan perahu ini. Perahu berukuran sekitar satu kali tujuh meter ini, di kedua sisinya memiliki penyanggah yang panjangnya sepanjang perahu sehingga cukup aman. Setidaknya perahu ini tidak mudah terbalik. Apalagi kedua anak saya bisa berenang.
Karena kapten perahu kehilangan penumpang, maka dia berusaha mencari penumpang lain. Dia berlari-larian ke sana ke mari menawarkan jasanya kepada wisatawan yang masih ada di pantai. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.15. Perahu-perahu lain sudah berangkat. Hanya tinggal perahu kami di pantai. Saya mulai mereka-reka. Apa yang akan terjadi hari ini? Apakah liburan kami akan berakhir dengan tidak jadi melihat lumba-lumba? Padahal dari Tangerang, liburan kami ke Bali kali ini, salah satu tujuan utamanya adalah melihat lumba-lumba.
Sementara sang kapten perahu mencari penumpang, saya bicarakan dengan kedua anak saya bahwa sebenarnya kami bisa menyewa perahu ini secara privat. Bagi saya tidak masalah jika kami harus menambah uang untuk menyewa secara privat. Kedua anak saya setuju-setuju saja.
Sang kapten kembali ke perahu dengan wajah frustrasi dan berkeluh kesah bahwa dia rugi kalau hanya mengantar kami bertiga. Percakapan kami selanjutnya adalah tentang kemungkinan keberangkatan kami secara privat. Sang kapten menyebutkan sebuah angka yang harus kami tambah dan kami langsung setuju. Terlihat wajah sang kapten menjadi senang sehingga hilang ketegangannya. Dengan semangat sang kapten membawa perahu kami berangkat ke laut. Waktu menunjukkan pukul 6.20. Puji Tuhan.
Sekitar sepuluh menit perahu motor ini menuju laut. Di sana terlihat puluhan perahu yang bergerombol. Kesempatan demi kesempatan melihat lumba-lumba kami nikmati. Kadang lumba-lumba muncul tepat dekat perahu kami, kadang agak jauh, kadang tidak terlihat di balik perahu-perahu lain.
Sang kapten sudah melupakan kesedihannya di pagi tadi. Saya merasakan bahwa sang kapten berusaha membuat kami puas. Sekali waktu sang kapten membawa perahu kami sendirian ke tempat terpisah dari rombongan untuk mencari lumba-lumba. Tetapi sebagian besar waktu kami adalah bersama rombongan perahu ini. Kami bersyukur karena kami bisa melihat lumba-lumba muncul belasan kali di kala perahu lain mungkin mendapat kesempatan sedikit. Dan sang kapten sangat bersemangat mengantar kami. Sehingga kami kembali ke pantai ketika perahu yang ada di laut hanya tinggal sepuluh saja. Jarak kami ke pantai ternyata memakan waktu 40 menit. Sang kapten sudah memberikan yang terbaik kepada kami.
Kami sekeluarga merasa puas dengan momen-momen pengejaran lumba-lumba ini. Sepanjang perjalanan di perahu dalam hati saya menyanyikan lagu baru ciptaan saya yang sebagian kata-katanya adalah sebagai berikut:
Tebar kasih jangan putus
Mari buat Yesus tersenyum
Pagi ini saya seakan melihat Tuhan Yesus tersenyum. Tanpa saya sadari, Tuhan sudah membimbing kami untuk membuat sang kapten kembali tersenyum setelah kekecewaannya ditinggal penumpang pagi ini.
Ketika turun dari perahu, kami memberi uang lebih kepada sang kapten. Ekspresi terima kasihnya sangat jelas kentara sehingga dia membungkuk-bungkuk menyalami saya dan anak saya. Semoga hari ini keluarga sang kapten pun turut tersenyum penuh syukur.
Mari tebarkan kebaikan. Mulai hari ini. Kepada siapapun yang kita temui. Mari buat Yesus tersenyum.
Julius Saviordi, Alumni KPKS Santo Paulus Cabang Tangerang