HIDUPKATOLIK.COM – SAMPAI hari ini, kita masih menikmati Indonesia sebagai negara demokratis. Ada masa di mana demokrasi itu dikangkangi dengan berbagai dalih untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu. Secara prosedur, mungkin segala syarat untuk disebut sebagai negara demokrasi sudah terpenuhi, tetapi secara isi semua hal bisa dipertanyakan. Manipulasi pemilu, penempatan alat-alat kekuasaan di lingkup DPR-MPR dan juga progaganda pemilik kuasa mewarnai perjalanan bangsa ini di era Orde Baru. Perjalanan itu berpuncak dalam peristiwa reformasi yang merebut kembali kebebasan untuk berbicara di Indonesia. Mungkin satu puisi indah yang mengiringi peristiwa itu adalah puisi Wiji Thukul yang mengatakan:
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang,
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan,
Dituduh subversive dan mengganggu keamanan,
Maka hanya ada satu kata: lawan!”
Kenabian
Untuk mendapatkan kebebasan berbicara, ada begitu banyak orang yang sudah berkorban, termasuk berkorban nyawa. Lalu “Apakah arti penting dari berbicara?” Arti penting dari berbicara adalah adanya peringatan tentang yang tidak benar atau usulan untuk sebuah perbaikan. Tentu berbicara dalam konteks ini bukan berarti menjatuhkan dan menyalahkan tanpa memberikan solusi perbaikan. Di era inilah, kita mulai mengenal apa yang namanya kebebasan pers yang salah satu pilarnya adalah kebebasan untuk berpendapat berbeda dari apa yang dikehendaki oleh pemilik kekuasaan. Bagi masyarakat Indonesia, kebebasan berpendapat ini adalah kemewahan yang perlu dirayakan selama periode reformasi.
Sayangnya, dalam perhelatan pemilu 2024, kebebasan berpendapat ini cukup dibelenggu. Adanya paksaan kepada beberapa rektor Perguruan Tinggi Katolik untuk memuji kinerja Presiden menjadi salah satu buktinya. Bentuk lain adalah mereka yang memilih untuk diam di tengah perhelatan yang ditengarai penuh dengan kecurangan. Dalam hal ini, Gereja Katolik melalui hiarki dan lembaga pendidikan Katolik adalah tetap menyatakan pendapat.
Dalam konteks Gereja Katolik, menyatakan pendapat melalui suara kritis itu dikenal sebagai suara kenabian. Yang dimaksud dengan suara kenabian adalah menggemakan rencana dan kehendak Allah pada manusia pada zaman ini. Suara ini seringkali perlu digemakan terutama ketika ada ketimpangan di antara apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang senyatanya sedang terjadi. Untuk dapat menggemakan suara para nabi dengan baik untuk umat manusia pada zaman modern ini, kita perlu lebih dahulu melihat dan menafsirkan “tanda-tanda zaman” serta melakukan proses “discernment” secara kritis dan bijak atasnya (A Purwahadiwardaya, 2013, 38).
Belakangan terdengar suara-suara yang mengritisi sikap Gereja karena pilihan untuk bersuara di tengah ketikdakberesan Pemilu 2024. Dalihnya macam-macam mulai dari menambah polarisasi di antara umat, membawa resiko atas keberadaan Gereja ataupun mengatakan tentang kenyataan bahwa suara Gereja dalam hal ini tidak didengarkan. Tentu kalau kita berbicara soal kurun waktu yang singkat, kita bisa melihat bahwa suara kenabian Gereja lebih sering didengarkan. Namun, dalam periode yang panjang, suara kenabian berkali-kali tidak didengarkan dan dianggap sebagai angin lalu saja. Ini adalah hal yang biasa terjadi. Namun, suara kenabian harus disampaikan mengingat bahwa dunia masih harus mendengarkan pesan-pesan dari ruang jernih yang dibawa oleh lembaga-lembaga penjaga kebeningan moralitas.
Pilihan penuh risiko yang diambil oleh Gereja pantas untuk dipuji. Gereja tidak bisa diam di tengah ketidakberesan yang terjadi. Bukankah itu yang dipesankan oleh Paus Fransiskus supaya kita tidak menjadi Gereja yang terpenjara oleh obsesi diri, melainkan menjadi Gereja yang pergi ke jalan dengan risiko tertabrak dan terluka (EG 49). Di sepanjang sejarah, Gereja sudah pernah meresikokan diri untuk menyerukan suara perlawanan terhadap ketidakberesan. Nyatanya, pilihan-pilihan tersebut menjadi pilihan yang terpuji dan layak untuk diperjuangkan. Teologi Pembebasan di Amerika Latin dengan korban Uskup Oscar Romero membawa perubahan tata politik; Pilihan untuk mengadakan doa di Asisi oleh Paus Yohanes Paulus II di tahun 1986 di tengah perang dingin yang mencekam kala itu membawa suasana persaudaraan yang mempengaruhi politik dunia; ajakan untuk mempertimbangkan Golput sebagai salah satu pilihan politik di Pemilu 1997 di Indonesia membawa sikap bijak di antara orang Katolik.
Kita berharap, suara kenabian Gereja pada Pemilu 2024, menjadi suara yang bergema keluar yang menunjukkan bahwa Gereja memang tidak tunduk pada kekuasaan. Ke dalam, bagi umat Kristiani, semoga suara kenabian ini menjadi salah satu bukti bahwa Gereja berdiri tegak di atas pilihan yang jelas sehingga tidak ikut arus di tengah orang-orang yang membenarkan tindakan-tindakan yang jelas-jelas tidak tepat diambil di negara demokratis.
Martinus Joko Lelono, Imam Diosesan Keuskupan Agung Semarang, Pengajar di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma
Majalah HIDUP, Edisi No. 11, Tahun Ke-78, Minggu, 17 Maret 2024