HIDUPKATOLIK.COM – TULISAN “Bermula dari Bawah Jembatan Tol Warakas” (Harian Kompas, Minggu, 7/12/1997) menggambarkan bagaimana polisi membongkar kasus aborsi ilegal. Setidaknya ada 11 mayat bayi ditemukan di bawah jembatan tol Warakas, Jakarta Utara. Mungkin ini salah satu berita yang dibaca pemrakarsa Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan (FKPK), dr. Felix Gunawan di tahun itu.
Mengoyak Nurani
Saat ditemui HIDUP ketika acara peluncuran buku profil FKPK Do Small Things with Great Love pada 18 November 2023 yang menjadi penanda 25 tahun FKPK, Felix mengisahkan bagaimana ia mendengar kasus aborsi di media massa yang marak di tahun 1997. “Waktu itu banyak bayi yang diaborsi, bukan cuman satu tetapi berkarung-karung,” kisahnya pilu.
Mendengar pemberitaan aborsi hari demi hari membuat hatinya bak disayat sembilu meskipun tidak melihat langsung lokasi pembuangan. Nuraninya bergejolak. “Hati saya sedih karena bayi kan manusia juga, lah kok dibunuh?” ungkapnya. Geram dengan hal itu, sebagai Direktur Eksekutif Perdhaki kala itu, Felix langsung menghubungi Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo J. Hadiwiratno, MSF.
“Banyak berita aborsi di media massa, Romo! Apakah kita tidak berbuat satu? Apakah kita diam saja?” kenangnya saat menghubungi Romo Hadiwiratno. Hati Romo Hadiwiratno juga langsung tergugah dengan pemaparan fakta aborsi yang menggunung. “Wah, kita harus segera beraksi bersama-sama karena ini persoalan besar! Bukan cuman bayi yang dibunuh tapi ada latar belakang lain yang mendasarinya,” ujar Romo Hadiwiratno bersemangat.
Sebagai respons, Komisi Keluarga KWI pun mengundang beberapa pimpinan lembaga yang peduli pada masalah aborsi pada 1 November 1997. Lembaga yang hadir dalam pertemuan perdana itu adalah Perdhaki Wilayah Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Perdhaki Wilayah Jawa Barat, Lembaga Daya Dharma (LDD), Komisi Kepemudaan KAJ, panti asuhan, rumah aman, rumah bersalin, dan rumah sakit anggota Perdhaki, serta Dewan Pimpinan Daerah Jakarta Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI).
Melalui diskusi yang panjang penuh makna akhirnya terbentuklah FKPK — saat Peringatan Wajib Santo Yohanes Pembaptis, sang martir yang juga berani menyuarakan kebenaran di tengah kuatnya pengaruh dunia — pada tanggal 29 Agustus 1998. FKPK mempunyai tujuan membentuk jaringan pelayanan untuk menjalin semua kegiatan perlindungan terhadap kehidupan yang sudah dilaksanakan oleh para lembaga/pribadi yang sudah terbentuk; sehingga terbentuklah pelayanan terpadu sejak dari pelayanan preventif sampai kepada bina lanjut.
Dari Website
Usai terbentuk FKPK semakin giat untuk mencari solusi terbaik bagi para ibu yang sedang kesulitan, khususnya mereka yang mengalami keadaan kehamilan tidak diinginkan. Klasifikasi kehamilan tidak diinginkan ini, menurut Wakil Ketua FKPK, dr. Angela N. Abidin, tidak hanya mencakup orang muda yang hamil di luar nikah, tetapi juga mereka yang menjalani perselingkuhan kemudian menghasilkan kehamilan, hamil akibat perkosaan, dan para ibu yang sudah menikah kemudian ditemukan dalam diagnosa prenatal terdapat cacat lahir.
“Bagi iman Katolik kan diagnosa cacat lahir seperti down syndrome bukanlah indikasi untuk aborsi,” urai Angela. “Untuk itu tugas kita juga mendampingi ibu hamil dengan kasus ini supaya tidak mengugurkan janinya.”
Untuk menjangkau para ibu yang kesulitan ini lebih banyak, FKPK mulai merambah teknologi melalui pembuatan website aborsi.net setelah Musyawarah Nasional Gerakan Sayang Kehidupan untuk menyamakan gerak langkah dan membentuk jaringan kerja sama di seluruh Indonesia selesai. “Kami mendapatkan klien dari kasus ini mulanya banyak dari website. Orang yang ingin aborsi ketika buka web ini malah kami arahkan agar tidak aborsi,” timpal Angela. Nama websitenya kini berganti menjadi sayangihidup.org.
Dari sana, FKPK juga semakin gencar mempromosikan untuk melindungi kehidupan dengan mengambil kesempatan berbicara di televisi, radio, koran, maupun majalah. Usai tampil di berbagai media massa tersebut, banyak para ibu yang memiliki kasus serupa langsung menghubungi FKPK.
Alur Pelayanan
Adapun prosedur penerimaan perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan (KTD) yang memerlukan bantuan akan menghubungi konselor atau relawan baik melalui hotline, website, atau sarana lain. FKPK berkomitmen agar proses penerimaan ini tanpa banyak birokrasi.
“Jadi alurnya menghubungi kami, lalu tim FKPK melalui konseling akan mengkaji apa yang dibutuhkan, kemudian diarahkan sesuai kebutuhannya, apakah itu tempat tinggal, perawatan lebih lanjut, atau dirujuk ke lembaga-lembaga FKPK yang bisa menangani,” jelas Angela. Lanjutnya, “Semuanya ini untuk menguatkan si ibu agar siap meneruskan kehamilannya.”
Sebelum bayi lahir, FKPK lewat lembaga pun akan merancang bersama-sama dengan sang ibu masa depan si bayi dan ibunya sendiri. Ada beberapa pilihan yang bisa diambil, misalnya bagi sang ibu apakah akan melanjutkan sekolah/kuliah, bila sebelum hamil si ibu masih dalam jenjang pendidikan; atau kembali bekerja; atau mencari pekerjaan/keterampilan agar bisa digunakan sebagai sumber mata pencaharian; atau kembali tinggal ke rumah orang tua, sendiri, atau bersama orang lain.
Sedangkan bagi sang anak, umumnya ibu akan menghadapi pilihan berat seperti menerima anak itu untuk diasuh sendiri, atau menyerahkan untuk dirawat di panti asuhan (sementara/seterusnya), atau menyerahkan sang anak untuk diadopsi.
Keseluruhan proses yang matang ini semata-mata untuk menghormati martabat manusia dan menghargai kehidupan yang telah diberikan Tuhan. Sejak abad pertama pun Gereja telah menyatakan abortus sebagai kejahatan moral. Ajaran itu belum berubah dan tidak akan pernah berubah (KGK 2271). Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak saat pembuahannya (KGK 2270) sebab Tuhan pun bersabda, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau” (Yer.1:5).
25 Tahun
Sudah 25 tahun FKPK hadir untuk membela kehidupan dan mencegah kehamilan yang tidak diinginkan untuk di aborsi. Mereka yang ditolong pun tidak hanya terbatas pada orang Katolik saja, tetapi terbuka kepada semua orang dari setiap latar belakang suku, ras, pendidikan, maupun agama. Semangat ini tentu bersumber pada ajaran Gereja Katolik yang dengan jelas dinyatakan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK).
Mengapa kehidupan harus dilindungi sejak dalam kandungan? Sebab embrio sejak pembuahan harus diperlakukan sebagai pribadi, maka ia, sebagaimana setiap manusia yang lain, sejauh mungkin harus dipertahankan secara utuh, dirawat dan disembuhkan (KGK 2274).
Banyak tantangan yang diarungi FKPK. Seperti Kisah Angela, “Saya pernah dimarahi orang tua beberapa kali karena mendukung melanjutkan kehamilannya,” lanjutnya, “Tetapi kami tidak bertindak sembunyi-sembunyi, maka sebisanya kami juga memberitahu kepada keluarga yang bersangkutan karena proses melahirkan adalah masalah hidup dan mati.”
Akan tetapi ada juga sukacita yang merekah. Seperti Felix yang menyaksikan kisah seorang perempuan yang akhirnya memilih kehidupan, melahirkan, dan menyerahkan bayinya untuk dirawat kepada pasangan yang sudah lama mendambakan anak. Beberapa tahun kemudian, setiap individu ini memancarkan sukacita karena memilih merawat kehidupan. Kisah ini bak gema suara Tuhan yang berbunyi, “…Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu…,” (Ul. 30:19).
Memasuki babak baru, FKPK terus berkomitmen terhadap kehidupan (seperti yang diharapkan Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Evangelium Vitae) yang diwujudkan secara nyata dalam bentuk bantuan bagi mereka yang berada dalam kesulitan karena kehamilan yang tak dikehendaki.
Ketua Komisi Keluarga KWI, Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF menulis, terbentuknya FKPK menjadi tanda nyata tanggapan Gereja dalam zaman dan konteks Indonesia. “Semoga FKPK menjadi kesempatan yang baik untuk berefleksi dan meningkatkan kiprahnya di dalam Gereja dan masyarakat untuk mempromosikan kehidupan,” harap Bapa Uskup.
Baik Felix dan Angela pun berharap para uskup tergugah untuk membentuk FKPK di tiap-tiap keuskupan agar terbentuklah layanan terpadu dari pelayanan preventif sampai kepada bina lanjut supaya semakin banyak orang dengan gembira dan penuh rasa syukur bersedia menerima, mencintai, melindungi, merawat serta membela kehidupan, baik sebelum maupun sesudah kelahirannya.
Felicia Permata Hanggu
Majalah HIDUP, Edisi No. 11, Tahun Ke-77, Minggu, 17 Maret 2024.