HIDUPKATOLIK.COM—Air mata sukacita, di satu pipinya, karena telah bertemu Kristus dan air mata kesedihan, di pipi yang lain, karena belum bisa bergabung dengan-Nya dalam Ekaristi.
MALAM Desember yang dingin di kafe “Le café qui parle”, di Kawasan artistik Paris, Montmartre, dekat Basilika Sacre-Coeur. Mehdi-Emmanuel Djaadi, aktor Prancis yang sebentar lagi menginjak usia 37 tahun, baru saja mengakhiri penampilannya di Teater Galabru yang berjarak beberapa meter. Majalah daring asal Spanyol omnesmag.com dalam artikelnya yang berjudul “Un actor francés converso del Islam” menggambarkan betapa kafe itu penuh sesak dengan orang- orang dan suasana begitu hidup. Dari 150 penonton, hampir semuanya adalah penonton setia yang selama beberapa bulan memenuhi teater setiap Kamis dan Jumat hanya untuk melihat penampilan Mehdi.
Karisma Mehdi memudahkan orang- orang untuk terbuka dengannya dan mereka menyadari betapa otentiknya dia. Ini dapat dilihat saat sepasang suami istri Protestan mengundangnya untuk memberikan kesaksian di komunitas mereka. Lalu seorang gadis memintanya untuk bersama mengunjungi penjara La Sante yang terkenal dengan kelompoknya. Kemudian seorang homoseksual muda menanyakan sesuatu tentang kondisinya. Ada suasana antusiasme yang luar biasa dari para penggemarnya.
Mehdi sendiri pernah dinominasikan untuk penghargaan Cesar pada tahun 2016 sebagai aktor paling menjanjikan dalam perannya di “Je suis a vous tout de suite” dari Baya Kasmi yang bertujuan untuk menjadi jembatan antara manusia, penontonnya, dan Tuhan. “Coming Out”, pentas monolog yang diselenggarakan selama lebih dari satu jam yang sempat menimbulkan kehebohan, merupakan ajang berkisah tentang perjalanan imannya menjadi seorang Katolik. Le Figaro bahkan memujinya dalam sebuah artikel di bulan Oktober dengan judul “The Laugh of a Convert”, dan menurut New York Times, karyanya mematahkan semua stereotip.
Pencuri Kotak Amal
Dalam bincang dengan radio Perancis “RCF Radio” yang berjudul “une histoire d’amitié intime avec Jésus”, pria yang lahir di St. Etienne, Prancis Tenggara pada 29 September 1986, di kawasan imigran kota yang sejak tahun 2000 menjadi komunitas muslim yang ketat ini, mengenang kembali masa kecilnya. Ia mengakui pernah melakukan kesalahan yang fatal saat berusia 14 tahun. Aleteia.org, 1/30/2023, menuturkan bahwa ia pernah mencuri beberapa Euro dari kotak amal masjid untuk membeli kebab. Berita pencurian kecil-kecilan itu dengan cepat merebak ke telinga masyarakat dan fakta itu kian terdistorsi dengan jumlah uang pencurian yang tak terkira.
Ia pun harus rela kehilangan reputasinya sebagai seorang muslim teladan.
Berita buruk ini pun langsung menyematkan Mehdi kecil sebagai seorang anak yang kabur dengan kotak amal. Hal ini sungguh menjadi aib bagi keluarganya yang dikenal sebagai penganut Islam yang taat. Ia pun harus rela kehilangan reputasinya sebagai seorang muslim teladan. Predikat yang diperolehnya selama bertahun-tahun karena menghadiri sekolah Alquran (Madrasah).
Pada akhirnya, ia pun berakhir di garis bidik “kaid” Muslim yang bertindak sebagai polisi di lingkungan dan mencoba untuk membuat hukum mereka menang atas hukum negara. Mengingat situasi itu, Mehdi meninggalkan praktik keagamaan. Ia berhenti melakukan sholat lima waktu. Namun, kenangnya, ia tetap haus akan kebenaran yang absolut.
Awal Kenal Yesus
Sejak kecil Mehdi sangat serius mendalami Islam mesikupun pada saat yang sama ia melakukan beberapa hal buruk dengan anak-anak tetangga lainnya. Ia juga telah menunjukkan bakat beraktingnya tetapi ia gunakan untuk mencuri. “Di situ saya sadar dapat meniru orang lain dan ada panggilan artistik saya sebagai seorang aktor,” akunya.
Berkaca pada bakatnya, anak dari pasangan asal Aljazair ini kemudian mengambil studi teater di Valence pada tahun 2007 lalu melanjutkan ke ‘dramatique Ecole superieure de l’art’ di Lausanne tahun 2010. Sebelumnya, saat menempuh pendidikan dasar, orangtuanya mendaftarkan ia di sekolah Kristen dan diakhir pekan ia belajar agama di Madrasah.
Ketika Mehdi berusia 16 tahun, bersama beberapa teman ia masuk ke gereja Protestan karena penasaran. Awalnya, dia melakukannya untuk memprovokasi pendeta setempat, karena iman kristiani memiliki klaim yang aneh. “Yesus adalah Anak Allah sungguh tidak dapat diterima dari sudut pandang Muslim,” ujarnya. Akan tetapi, rasa haus yang terpadamkan inilah yang menghantarkannya pada sebuah penemuan yang merubah hidupnya.
Akibat Mehdi rajin datang, ia pun diberikan Alkitab oleh si pendeta. Kemudian ketika ia membaca teks demi teks dalam Alkitab, ia sungguh terguncang. “Ketika saya membacanya, Yesus membalikkan dunia saya,” sebutnya kagum. Ia melanjutkan, “Saya mulai berdoa kepadanya dan mengalami persahabatan yang kuat dengannya.” Namun, tahun-tahun berikutnya tidak mudah. Mehdi putus sekolah dan berakhir di lingkaran kejahatan terorganisir yang merampok bank. Di dalam penjara, ia terus meminta kepada Yesus untuk mengubah hidupnya.
Tiga tahun kemudian, ia dibaptis sebagai seorang Protestan dan memilih nama Emmanuel. Pembaptisan tersebut menandai keretakan dengan keluarganya. “Pertobatan saya menyakitkan bagi keluarga yang selalu ada untuk saya,” ucapnya lagi.
Ia menuturkan, ayahnya, yang selalu melakukan perjalanan bermil-mil setiap kali diperlukan untuk menjemputnya dari berbagai institusi tempat dia dipenjara, yang secara teratur mencoba menenangkan hakim remaja, pada awalnya percaya bahwa dia telah menjadi korban dari beberapa kultus. “Dia akan lebih senang mengetahui bahwa saya telah dicuci otak daripada benar-benar yakin akan pilihannya, sebuah fakta yang bagi keluarga Muslim hanya berarti dua hal: aib dan bahaya,” ungkapnya.
Brevir dan Adorasi
“Saat adorasi saya mengalami kepastian bahwa Yesus yang saya kasihi, kepada siapa saya berdoa, sungguh-sungguh hadir…”
Sapaan Tuhan tidak berhenti. Pada tahun 2011, Mehdi diundang oleh teman masa kecilnya yang seorang Katolik, Jonathan, untuk mengikuti sebuah retret di biara Trappist kuno. Tanpa basa-basi, Mehdi pun menerima undangan tersebut. Di sana untuk pertama kalinya ia mengikuti Doa Ofisi/Doa Brevir dan itu bak menerima sebuah tamparan.
“Sebagai orang Protestan saya menyukai Mazmur. Seluruh misteri Wahyu terkandung di sana. Ada penghiburan, penantian, kegembiraan, Yerusalem surgawi,” jelasnya. “Di sana bersama para biarawan,” lanjutnya, “Saya mendengar Tuhan bernyanyi dalam diri saya. Kemudian saya mengikuti Adorasi. Sungguh tidak ada yang sedalam saat Sakramen Mahakudus diangkat dan diarak!”
Mehdi begitu terpukau. “Saat adorasi saya mengalami kepastian bahwa Yesus yang saya kasihi, kepada siapa saya berdoa, sungguh-sungguh hadir. Seolah-olah
saya dapat berbicara dengan-Nya. Saat itu juga! Saya diselimuti oleh kehadirannya,” ucapnya dengan mata berbinar dalam podcast bersama radio RCF. Ketika ia keluar, ia pun berkata kepada Jonathan, “Sekarang saya mengerti.”
Adorasi Ekaristi, kenang Mehdi, membuka dunia yang luar biasa baginya. Ia pun pergi ke biarawan yang menjadi porter dan bertanya kepadanya, “Apakah selalu seperti ini?” Biarawan itu menjawab, “Di setiap Misa dan setiap adorasi.”
Saat meninggalkan biara, pemuda Prancis-Aljazair itu merasakan air mata mengalir di pipinya. Air mata sukacita, di satu pipinya, karena telah bertemu Kristus dan air mata kesedihan, di pipi yang lain, karena belum bisa bergabung dengan-Nya dalam Ekaristi.
Ingin Ikut Ekaristi
Dua tahun berikutnya hanya untuk Tuhan. Setiap hari setelah kelas, pada pukul 6 sore, dia bergegas ke Basilika Notre-Dame du Valentin untuk menghadiri Misa malam dan mengikuti kelas katekismus. Hari besar Mehdi datang pada tahun 2013 ketika dia menerima Komuni Kudus dan Sakramen Penguatan. “Semua yang menerima Sakramen bersama keluarga mereka dan saya seorang diri. Tetapi ketika mereka memanggil saya dan saya menjawab, ‘Ini saya,’ jauh di lubuk hati saya merasa, ‘Ini kami.’ Saya merasa dikelilingi oleh Yesus dan orang-orang kudus,” ujarnya.
Pada tahun 2019, Mehdi berkesempatan bertemu Paus Fransiskus di Vatikan. “Saat memeluknya, saya semakin merasakan hubungan bakti saya dengan Yesus,” cetusnya lagi. Mehdi pun kembali bersyukur atas setiap langkah hidupnya yang membawanya pulang ke pangkuan Gereja menuju perjumpaannya dengan Yesus di Ekaristi.
“Kalau dipikir-pikir, saya berterima kasih atas apa yang saya terima dari orang Protestan. Untuk pendeta di Saint-Étienne yang menawari saya Injil… Roh Kudus bertiup melalui mereka. Dan saya berani mengatakan, umat Protestan memberi kita semangat dan cinta akan Sabda Allah dan terserah kita, umat Katolik, apakah kita mau berbagi keindahan Ekaristi dengan mereka?” tukasnya.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP, Edisi No. 12, Tahun ke-77, 19 Maret 2023