HIDUPKATOLIK.COM – HIDUP korban: Jangan diam! Jangan diam: Lawan! Yel-yel perjuangan sekali lagi menggema di langit Ibu Kota sore hari itu, 29 Februari 2024, ketika puluhan orang berkumpul di kawasan Monumen Nasional, tepatnya seberang Istana Negara. Sambil memegang payung hitam bertuliskan berbagai peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), mereka berdiri melakukan aksi diam, yang kemudian populer dengan sebutan Aksi Kamisan.
Penggagas aksi, Maria Katarina Sumarsih, nampak berdiri di antara mereka. Ia mengenakan rok hitam dan kaos hitam bergambar sang anak, Benardinus Realino Norma Irawan alias Wawan, yang tewas tertembus peluru saat terjadi gelombang demonstrasi massa pendukung reformasi pada tanggal 13 November 1998. “Istana adalah lambang kekuasaan. Payung hitam adalah maskot (kami). Hitam itu lambang keteguhan dalam cinta. Saya mencintai Wawan. Dukacita saya sudah bertransformasi untuk mencintai sesama manusia dan para korban pelanggaran HAM dari berbagai kasus,” ujarnya.
Wawan adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Program Studi Akuntansi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan aktivis Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Saat peristiwa penembakan itu terjadi, ia tengah berusaha menyelamatkan seorang korban yang tergeletak di lingkungan kampus. Namun naas, ia justru terkena peluru tajam di dada bagian kiri hingga menembus jantung dan paru-paru. Nyawanya tak tertolong. Jenazahnya dimakamkan keesokan harinya seusai Misa Requiem yang dipimpin Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ bersama belasan imam di Gereja Maria Kusuma Karmel, Jakarta Barat.
Sejak kepergian abadi sang anak sulung, Sumarsih, yang saat itu masih aktif bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Sekretariat Jenderal DPR-RI, hanya bisa duduk termenung di pojok ruang tamu rumahnya, sembari menunggu kabar perkembangan peristiwa penembakan yang disebut Tragedi Semanggi I tersebut. Aktivitasnya hanya membaca Kitab Suci, berdoa, dan menangis. Hal yang sama ia lakukan setiap hari selama tiga bulan masa cutinya.
Awal Mula Aksi
Hingga suatu ketika Sumarsih, yang pernah meyakini aliran kepercayaan sebelum menganut agama Katolik menjelang pernikahannya pada 1976, menyadari bahwa hidupnya bak air mengalir. “Rupanya orang tua korban lainnya – dengan cara berbeda-beda – mencoba bangkit. Ada yang menemui psikolog. Kalau saya, berkat iman saya, banyak orang berbaik hati kepada saya. Akhirnya saya mempunyai semangat hidup lagi,” kenangnya.
Satu keinginan untuk mengetahui penyebab kematian sang anak pun muncul di benaknya. Ia lantas memutuskan untuk mulai keluar rumah. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengikuti aksi damai yang dimotori sejumlah aktivis perempuan di kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Ia juga pernah mengikuti pertemuan para korban Kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Wisma Sahabat Yesus, Depok, Jawa Barat. Hasil dari pertemuan ini adalah pengadaan peringatan satu tahun kerusuhan dan pembentukan Paguyuban Korban dan Keluarga Korban Mei 1998.
Langkah selanjutnya melakukan audiensi dengan sejumlah lembaga terkait, seperti Komnas HAM dan DPR. Namun pasca penerbitan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, upaya mereka dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan semakin sulit. “Banyak yang lelah dan putus asa,” tuturnya.
Pada 2004, Sumarsih menerima Yap Thiam Hien Award, sebuah pengakuan atas perjuangannya yang gigih dalam penegakan HAM. Tak lama kemudian, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), atau kelompok sosial yang menyuarakan penolakan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh siapa saja, berdiri. Kegiatan awal adalah penulisan buku, salah satunya berjudul “Saatnya Korban Bicara: Menata Derap Merajut Langkah.” Sementara kegiatan lainnya mencakup lokakarya.
“Saya bilang kalau buat buku terus dan mengadakan kegiatan HAM lainnya, kapan melakukan advokasi? Bagaimana kalau mengadakan aksi rutin? Akhirnya (kami) sepakat Kamis mengadakan aksi rutin. Jadi yang saya suarakan tidak hanya kasus penembakan Wawan, tapi hampir semua kasus. Aksi ini aksi diam, artinya aksi damai. Ketika kami diam, aksi kami sampaikan melalui selebaran, spanduk,” imbuhnya. Akhirnya Aksi Kamisan mulai pada tanggal 18 Januari 2007, dan Kamis sore itu merupakan Aksi Kamisan ke-807.
Enam bulan kemudian, ia mulai menulis surat untuk presiden. Secara keseluruhan, sebanyak 339 surat telah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan 446 surat kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Bertahan Meski Lelah
Tahun ini, Aksi Kamisan telah menginjak usia 17 tahun. Tak dipungkiri, rasa lelah acapkali menghantui Sumarsih, kini berusia 72 tahun. Ketika hal ini terjadi, ia hanya mampu berbisik lirih kepada Wawan. “Tetapi saya percaya bahwa kebenaran itu bersinar, bercahaya. Ketika perjuangan untuk mencari kebenaran dan keadilan itu sulit, ketika saya berada di lorong yang sempit dan gelap, selalu ada cahaya yang menyinari supaya saya bisa terus melangkah ke depan,” ungkapnya.
Satu-satunya kekuatannya adalah kutipan ayat Kitab Suci: “Kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan” (bdk. Roma 5:3-4). Juga, cintanya kepada sang anak. Selain itu, ia merasa Pembaruan Janji Baptis yang ia ucapkan setiap tahun bersama umat saat mengikuti Perayaan Ekaristi Malam Paskah semakin meneguhkannya. Bunyinya: “Sanggupkah Saudara-Saudari berjuang melawan segala tindakan dan kebiasaan tidak adil dan tidak jujur yang melanggar hak-hak asasi manusia?” Hal ini sekarang menjadi pijakannya dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Dukungan Gereja, termasuk Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, turut mewarnai perjuangannya. Awal Februari lalu, misalnya, Kardinal Suharyo mengunjungi rumahnya. Tak sekadar berkunjung, prelatus ini juga memberinya lukisan Yesus berjudul “Ecce Homo” karya Nelya Hanchich, seorang seniman asal Ukraina, dan seuntas rosario berwarna putih.
“Romo Kardinal menjelaskan siapa yang melukis, arti judul lukisan. Beliau juga menjelaskan bekas luka tombak Yesus. Saya jelaskan kepada beliau kalau Yesus ditombak di dada kanan, Wawan ditembak di dada kiri, mengenai jantung dan paru-parunya,” ujarnya. Baginya, lukisan kayu itu memiliki makna luar biasa.
Terus Berjuang
Selama belasan tahun, Sumarsih mengaku tak pernah merasa kecewa dengan segala keputusan dan kebijakan pemerintah. Akhir Februari lalu, Presiden Jokowi menyematkan pangkat jenderal kehormatan kepada Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. Awal tahun lalu, Presiden Jokowi mengakui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, yakni peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa Rumoh Geudong 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA 1999, peristiwa Wasior 2001-2002, peristiwa Wamena 2003, dan peristiwa Jambo Keupok 2003. “Saya sudah mati rasa,” ujarnya.
Namun hal ini bukan berarti ia akan berhenti berjuang. “Sekarang tujuan saya mengadakan Aksi Kamisan lebih pada mewartakan kebenaran dan keadilan. Saya hanya ingin mewartakan bahwa ternyata masalah kebenaran dan keadilan harus diperjuangkan. Perjuangan ini tidak mudah. Aksi Kamisan adalah cara kami untuk bertahan berjuang membongkar ketidakadilan, mencari keadilan, melawan impunitas, dan menolak lupa. Ketika itu semua sulit, dalam pikiran saya Aksi Kamisan ini adalah ruang bagi kami untuk mewartakan kebenaran dan keadilan,” ungkapnya.
Hal terpenting, perjuangannya selama ini dalam mencari kebenaran dan keadilan bukan semata-mata untuk sang anak melainkan seluruh masyarakat yang menghadapi masalah kemanusiaan yang belum dapat diselesaikan dengan baik oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
“Saya tetap berbuat sesuatu. Terus terang saja, saya pesimis dalam harapan. Tetapi saya optimis dalam melangkah, optimis dalam berjuang. Saya tidak ingin ada korban lagi. Cukup Wawan yang menjadi korban dan kawan-kawannya,” pungkasnya.
Katharina Reny Lestari
Majalah HIDUP, Edisi No. 10, Tahun Ke-78, Minggu, 10 Maret 2024