HIDUPKATOLIK.COM – Gambaran Yesus pada replika Kain Turin ditempatkan di tengah altar dengan posisi kepala ke bawah dan kaki ke atas. Di sisi kanan dan kiri juga dilengkapi dengan dua kanvas besar bergambar tengkorak. Instalasi seni yang dilengkapi dengan pancaran cahaya LED berwarna ungu dan berjudul Memento Mori ini membuat semua mata yang melihatnya terbelalak dan bertanya ada apa gerangan.
SEJAK Rabu Abu 14 Februari 2024 lalu, umat Katolik di Wina, Austria dikejutkan dengan Kain Prapaskah yang terpampang di Katedral Stephan. Begitu banyak tanda-tanya besar dalam benak mereka yang masuk ke Katedral mengenai Kain tersebut, mengapa gambar Yesus harus dipasang terbalik dengan kepala di bawah. Bahkan beberapa hari kemudian muncul sebuah petisi untuk membongkar Kain itu dan menuntut Pastor Paroki Katedral, Toni Faber. Tidak berhenti sampai di situ. Sebuah video muncul yang menganggap bahwa pemasangan Kain tersebut bukanlah suatu seni, melainkan aksi satanisme yang berselubung seni.
Gottfried Helnwein (75 tahun) adalah sang seniman yang membuat instalasi seni tersebut. Ia mengaku sebagai seorang Katolik yang taat. Seniman kontroversial asal Austria yang tinggal di Irlandia dan Los Angeles ini mengatakan bahwa karya yang dibuatnya sebagai persembahan bagi Tuhan. Dalam suatu konferensi pers, ia menjelaskan mengapa replika Kain Turin tersebut dipasang secara terbalik dengan menempatkan kepala Yesus pada bagian bawah. Hal ini dimaksudkan untuk mengekspresikan turunnya Kristus ke alam kematian. Di kiri dan kanan mimbar, dua kanvas kecil menunjukkan tengkorak yang tampak identik, juga dalam warna ungu – melambangkan Memento Mori di awal Prapaskah: Ingatlah, manusia, bahwa kamu adalah debu dan kamu akan kembali ke debu.
Di Indonesia dan di Eropa
Sebagaimana kita tahu dan dapat kita temukan di gereja-gereja Katolik di Indonesia, selama Masa Prapaskah semua patung dan salib ditutup dengan kain berwarna ungu. Mungkin sebagian besar dari kita tidak menyadari bahwa kain-kain yang digunakan tersebut dinamakan kain prapaskah. Entah karena tidak tahu atau kurangnya keberanian untuk berkreativitas, hampir kita temukan kain prapaskah di setiap gereja hanya berupa sehelai kain ungu gelap yang menutupi salib dan patung-patung.
Hal ini berbeda dengan gereja-gereja di wilayah Eropa, khususnya Jerman dan Austria yang melibatkan para seniman untuk membuat kain prapaskah yang tematik setiap tahunnya. Warna yang digunakan untuk kain prapaskah tidak selalu ungu. Material tidak melulu dari linen atau sutra. Tema-tema yang dipilih selalu disesuaikan dengan situasi dunia yang aktual.
Kain Puasa
Tujuan dari kain prapaskah (juga dikenal sebagai kain puasa, kain lapar, kain palem, kain sengsara atau kain lesu) adalah untuk menutupi representasi gambar Yesus (salib) dan/atau altar di gereja-gereja Katolik selama masa Prapaskah. Asal usulnya terletak pada tirai kuil Yahudi, yang disebutkan beberapa kali dalam Perjanjian Baru sehubungan dengan kematian Yesus di kayu salib.

Penyebutan paling awal tentang kebiasaan menggantungkan kain prapaskah di depan altar dapat ditemukan pada awal abad ke-9. Kain ini biasanya digantung pada lengkungan tempat dimana paduan suara gereja di depan altar utama dan menutupinya. Seringkali dibagi menjadi dua bagian dan dapat ditarik ke samping.
Kain prapaskah tetap menjadi benda simbolis murni hingga abad ke-12 yang terbuat dari kain polos, baik linen maupun sutra.
Baru setelahnya mulai bermunculan berbagai kreativitas pengembangan desain kain prapaskah dengan oranamen tambahan. Kain prapaskah biasanya berupa kain sederhana atau dibuat dengan sulaman berwarna putih dan juga dihias dengan motif alkitabiah. Penggambarannya berkisar dari sejarah penyelamatan (penciptaan hingga akhir dunia) melalui gambar hewan dan tumbuhan hingga motif yang sangat tidak biasa.
Di kemudian hari, kain prapaskah dijadikan bentuk khusus seni Kristen yang tetap sangat produktif selama beberapa abad. Fokus perkembangan seni di satu sisi berada di kawasan Alpen, khususnya di Carinthia dan Tyrol, dan di sisi lain di Jerman Utara, Westphalia dan Lower Saxony. Tradisi Alpen juga mengubah materialnya, terdiri dari beberapa helai kanvas padat yang dijahit secara horizontal, yang dalam praktiknya sering dilukis dengan apa yang disebut “lukisan kain” dan dengan cat tempera.
Hal ini menghasilkan bentuk awal lukisan kain, meskipun permukaan lukisan yang paling umum tetap berupa kayu hingga abad ke-15. Kain Prapaskah di basilika Romawi di Gurk, yang menampilkan 99 motif individu dalam garis-garis horizontal, dapat dilihat sebagai highlight artistik.
Pencipta kain prapaskah yang berasal dari Westphalia atau Lower Saxony meninggalkan linen sebagai bahan pilihan dan bordir sebagai teknik pengerjaannya. Namun, mereka mengubah desainnya, motif individu kini digambarkan pada persegi panjang lebih kecil yang dihubungkan menggunakan batang linen. Maka jadilah kain paskah dengan model tambal sulam atau mosaik tekstil. Meski begitu, melukis di atas kain linen yang kencang juga tetap dilakukan dari waktu ke waktu.
Kapan Digantung
Kain Prapaskah biasanya digantung mulai hari Rabu Abu di ruang paduan suara gereja. Maka nama latinnya adalah velum quadragesimale atau velum templi, yang diterjemahkan sebagai “kain 40 hari” atau tirai kuil. Pada hari Sabtu Suci kain itu dilepas kembali dan altar dibuka. Dulu merupakan kebiasaan untuk membiarkan kain Prapaskah digantung sampai Komplet (saat matahari terbenam) pada hari Rabu dalam Pekan Suci.
Di beberapa gereja terkadang merupakan kebiasaan untuk tidak menggantungkan kain prapaskah selama masa prapaskah, tetapi hanya satu atau dua minggu sebelum Paskah.
Pada abad pertengahan terdapat kebiasaan bahwa pada hari Minggu Prapaskah kain prapaskah dibuka di depan altar utama, tetapi Kain Prapaskah pada bagian samping altar tidak dibuka. Sebaliknya, kain prapaskah tidak ditarik dari altar utama pada hari kerja.
Terakhir, mulai Minggu Prapaskah ke-5 (“Minggu Sengsara”), salib dan patung ditutup dengan kain ungu. Pintu/sayap (retables) triptych (dari kata triptychos Yunani : dilipat menjadi tiga; tiga karya seni, disatukan oleh ide yang sama) dan altar bersayap sering kali ditutup selama masa prapaskah dan hanya memperlihatkan bagian belakang sayap yang lebih sederhana.
Mengapa Ditutupi
Dengan menutupi salib, perayaan Paskah berikutnya menjadi lebih meriah. Dilepasnya Kain Prapaskah sebelum Malam Paskah dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Yesus sekali lagi berdiri di hadapan manusia dalam keilahian-Nya yang tersingkap dan bahwa Ia telah membuka surga bagi mereka.
Penutupan altar selama Masa Prapaskah merupakan latihan pertobatan bagi orang percaya. Kain Prapaskah awalnya memiliki fungsi memisahkan area umat dari area imam secara visual (serupa dengan ikonostasis di Gereja Timur).
Dengan cara ini, umat beriman hanya bisa mendengarkan acara kebaktian. Jadi puasa dilakukan dengan mata. Di sinilah ungkapan lama “menggerogoti kelaparan” kembali muncul dan dengan demikian merujuk tidak hanya pada kemiskinan materi, namun juga pada jarak yang nyata dan nyata dari Tuhan.
Kebiasaan penggunaan Kain Prapaskah juga mengacu pada ketidaklayakan orang-orang percaya yang terlihat secara lahiriah selama Masa Prapaskah, penutup keilahian Kristus selama penderitaan-Nya dan kesejajaran dengan tirai bait suci, yang menurut tradisi, robek ketika Kristus mati pada hari itu. Dengan demikian salib menunjukkan pembebasan Yesus dari belenggu kematian. Karena dengan wafat di salib, kemudian Ia bangkit.
Tradisi dan Modernitas
Kehidupan Gereja sangat terkait erat dengan tradisi. Salah satu contohnya adalah penggunaan kain prapaskah ini yang merupakan tradisi yang sudah dilakukan berabad-abad lamanya. Di sisi lain, modernitas pun terjadi dengan berkembangnya kreativitas dalam mendesain kain prapaskah agar lebih aktual dengan tujuan membantu umat masuk pada suatu permenungan selama menjalani puasa.
Bagaimana Kain Prapaskah di paroki anda?
Bene Xavier (Kontributor, Vienna, Austria)