HIDUPKATOLIK.COM – GELOMBANG kekerasan dan penderitaan tanpa henti menghantam jalur Gaza seiring berkecamuknya konflik antara Israel dan Palestina. Hantaman teror dan kekerasan bertubi-tubi ini menghantarkan masyarakat sipil ke jurang keputusasaan. Namun, di tengah-tengah lautan tragedi itu, secercah sinar harapan masih bersinar lewat peran yang tak ternilai dari Patriarkat Latin Yerusalem.
Paus Fransiskus mengucapkan terima kasih kepada Patriark LatinYerusalem, Pierbattista Kardinal Pizzaballa, OFM atas kedekatannya dengan masyarakat setempat sejak awal perang di Gaza. Patriark Latin Yerusalem yang melayani umat Katolik Ritus Latin di Siprus, Yordania, Israel, dan Palestina, menyatakan pada 16 Oktober 2023 bahwa ia bersedia ditukar dengan sandera Israel yang ditahan di Gaza oleh kelompok Islam Hamas.
Kepada wartawan ia berujar mantap, “Apakah saya siap untuk pertukaran? Apapun, jika hal ini dapat membawa kebebasan dan anak-anak tersebut dapat kembali ke rumah, tidak masalah. Dari pihak saya, kemauan mutlak.”
Paroki Gaza
Dalam panggilan telepon dengan Kardinal Pizzaballa, Paus mengungkapkan kepeduliannya yang tiada henti terhadap Paroki Keluarga Kudus di Gaza, seperti dilansir Vatican News. Bapa Suci hampir setiap hari melakukan kontak dengan Kepala Paroki Gaza, Pastor Gabriel Romanelli, dan pastor vikarisnya, Pastor Youssef Assad, untuk mengetahui informasi terkini mengenai situasi di sana. Paroki Keluarga Kudus, yang dilayani oleh para imam dari Institut Sabda Inkarnasi (Instituto del Verbo Encarnado-IVE) ini adalah satu-satunya paroki di Jalur Gaza.
Daerah di kantong ini terperosok dalam krisis kemanusiaan yang menyebabkan lebih dari satu juta orang mengungsi setelah rumah mereka hancur, di tengah kekurangan makanan dan kebutuhan lainnya. Paroki Gaza juga menghadapi kekurangan yang sama dan tidak dapat menyediakan pemanas sentral di tengah kondisi musim dingin yang keras. Namun, pihaknya terus menampung ratusan pengungsi.
Pada 1 Januari 2024, hari (1 Januari) yang ditetapkan Paus Paulus VI sebagai Hari Perdamaian Sedunia, Patriark Latin Yerusalem menggarisbawahi bahwa di tengah situasi kelam ini umat harus dan ingin mengalihkan pandangan kepada Kristus dan menimba kekuatan yang diperlukan dari-Nya untuk memperkuat kepercayaan yang dicabik oleh begitu banyak luka.
Pada kesempatan itu, dalam tayangan Christian Media Center milik Custodia Terae Sanctae, ia menyatakan pesan kepada masyarakat Gaza, “Terus teguhlah dalam iman dan dalam hidup. Ingatlah kami tidak akan pernah meninggalkan kalian, meskipun secara fisik kita tidak dapat berada bersama, tetapi seluruh komunitas Kristen berdiri bersama kalian.”
Kepada Aid to the Church in Need (ACN) International, Pastor Gabriel Romanelli menyampaikan situasi di Paroki Gaza secara umum baik, namum pemboman kompleks Gereja Ortodoks Yunani yang menyebabkan tewasnya 18 orang, meninggalkan dampak mendalam, terlebih pada komunitas Kristen di sana.
Berdasarkan keterangannya, dari 2,3 juta penduduk Gaza, hanya 1.000 orang yang beragama Kristen dan mereka adalah saudara yang solid. “Kami saling mengenal dan bekerja sama. Umat di sini adalah sepupu dan suadara,” terangnya. Dengan kejadian tersebut, Komunitas Kristen di Gaza sangat terkena dampaknya dan lebih banyak orang datang ke Gereja katolik untuk mencari perlindungan. Saat ini, lapornya, terdapat lebih dari 700 orang umat, termasuk diantaranya anak-anak penyandang disabilitas.
“Kami hidup seperti umat Kristen mula-mula, membagikan apa pun yang dapat ditemukan dan membantu semua orang sebisa mungkin,” sebutnya. Selain itu, Paroki Gaza juga membuka sekolah-sekolah Katolik sebagai tempat berlindung bagi masyarakat dan tercatat lebih dari 2.500 orang tinggal di Sekolah Katolik Keluarga Kudus.
Pastor Gabriel menuturkan, Paus Fransiskus yang sering meneleponnya selalu memberi penguatan kepada mereka dan memberi tahu bahwa ia dekat dengan kami di sini, bahwa ia selalu berdoa untuk kami. Bapa Suci juga meminta untuk menjaga anak-anak yang dipercayakan. “Kami sungguh berterima kasih kepada Paus dan jutaan orang yang beritikad baik di seluruh dunia yang mau berdoa, berkorban, melakukan penebusan dosa, bekerja demi perdamaian dan keadilan. Semoga Tuhan memberkati Anda, dan semoga Bunda Maria Ratu Damai, memberikan kedamaian kepada semua orang,” harapnya tulus.
Dobel Minoritas
Saat HIDUP berbincang dengan Komisaris Comisariat Terrae Sanctae-Indonesia (CTS-I), Pastor Robert Wowor, OFM, ia dengan lugas menyatakan bahwa tantangan umat Kristiani di Tanah Suci sejauh ia amati ialah menjadi kelompok “dobel minoritas”.
Imam yang akrab disapa Pater Robby ini memaparkan, pertama, karena umat kristiani di sana kebanyakan merupakan etnik Arab yang mana adalah minoritas di Israel. Kedua, menjadi umat Kristiani di dalam etnis Arab juga termasuk minoritas. Untuk itu, identitas minoritas mereka menjadi dobel. “Saya selalu melihat, semua minoritas di mana pun akhirnya mengalami juga ketidakadilan, penindasan, dan itu harus dihadapi dan tidak bisa lari,” ungkapnya prihatin.
Akibat identitas “dobel minoritas” ini, para generasi muda di sana lebih memilih untuk pergi mencari peruntungan hidup di luar negeri. Seperti Jeries Michael, seorang pemuda berusia 25 tahun dari Paroki Gaza, saat diwawancarai oleh kru Christian Media Center pada 22 Januari 2021mengungkapkan, ia ketakutan dan shock karena pengalaman mengungsi akibat mendapat serangan. “Sejujurnya, saya mulai berpikir untuk keluar negeri. Tidak ada jaminan masa depan jika saya tinggal di sini,” akunya.
Akibatnya, semakin hari jumlah umat Kristiani semakin menyusut. Berbeda saat, Sri Paus Paulus VI, Paus yang datang pertama kali ke Tanah Suci sesudah Santo Petrus pergi ke Roma, pada 4 Januari 1964. Kala itu, ujar Pater Robby, penduduk Betlehem dihuni oleh 70% umat Kristiani yang terdiri dari Katolik dan Orthodoks dan 30% Muslim. Akan tetapi sekarang, umat Kristiani tinggal 20% dan umat muslim 80%. Meskipun demikian, konstitusi Betlehem belum diubah dan menyatakan Walikota Betlehem haruslah seorang Kristiani (Katolik/Orthodoks). Kini, kantong Katolik terbesar ada di Nazaret.
“Dengan kondisi demikian maka tugas kami diantaranya adalah safe guarding the Christian presence in the Holyland,” ungkap Pater Robby. Para Fransiskan lewat Custodia Terae Sanctae yang diserahi tugas untuk memelihara Tanah Suci bersama Patriarkat Latin Yerusalem bekerja sama agar kekristenan harus menjadi saksi hidup. Menilik perkataan Paus Benediktus XVI yang menekankan bahwa umat Kristiani di Tanah Suci adalah batu-batu yang hidup.
Membuka Lapangan Pekerjaan
Dampak dobel minoritas itu kian terasa dengan konflik Israel-Palestina memanas di mana Israel mengganti semua pekerja asal Palestina hampir di semua sektor. Lebih dari 80 ribu pekerja India diperkirakan akan tiba di negara tersebut untuk mengambil alih pekerjaan yang pernah dipegang oleh warga Palestina. Informasi ini, yang telah beredar di media Israel, telah dikonfirmasi ke ACN oleh beberapa sumber lokal dan mungkin sebagian terkait dengan pembalasan atas serangan pada bulan Oktober lalu, yang bertujuan untuk mengisolasi dan meminggirkan warga Palestina, Kristen, dan Muslim.
Namun situasi ekonomi bukanlah satu-satunya tantangan dalam kehidupan sehari-hari umat Kristen Palestina, sebuah populasi yang semakin menghadapi ancaman ketika harus menunjukkan identitasnya di depan umum. “Mengenakan salib bisa membuatmu mendapat masalah. Terkadang Anda harus menyembunyikan identitas Anda di tanah air Anda sendiri, untuk menghindari masalah. Kehadiran kelompok-kelompok yang unsurnya semakin radikal di daerah semakin mempersulit keadaan kita. Umat Kristen terjebak di antara dua pihak, sebuah posisi yang sangat rentan”, sumber tersebut menegaskan, mengacu pada Yahudi ultra-Ortodoks dan ekstremis Muslim di berbagai wilayah di wilayah tersebut.
Di Yerusalem berulang kali terjadi kasus pelecehan verbal yang ditujukan kepada para imam, peziarah Kristen, seperti kasus pemuda yang meludahi kepala biara Benediktin di Gereja Dormition, Nikodemus Schnabel, pada awal Februari.
Bekerja sama dengan Patriarkat Latin Yerusalem, ACN telah melaksanakan program rehabilitasi profesional, magang dan pelatihan kejuruan untuk membantu para pengangguran, terutama kaum muda dan pekerja dari keluarga rentan. Sebanyak 62 orang telah menerima manfaat dari tahap pertama program ini, meskipun 700 orang masih menganggur, dan banyak yang masih menunggu untuk mengikuti program serupa.
Felicia Permata Hanggu
Majalah HIDUP, Edisi No. 09, Tahun Ke-78, Minggu, 3 Maret 2024