web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menjaga Batu yang Hidup

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Patriarkat Latin Yerusalem didirikan kembali oleh Takhta Suci untuk lebih memperhatikan reksa pastoral dan kesinambungan dari umat Kristiani setempat.

Paus Benediktus XVI mengingatkan untuk menjaga batu yang hidup di Tanah Suci. Umat ​​Kristen di Tanah Suci sering disebut sebagai “batu hidup”. Istilah ini semakin populer seiring berjalannya waktu karena umat Kristen Palestina merupakan keturunan umat Kristen pertama. Nenek moyang mereka ada di sana ketika Roh Kudus turun pada hari Pentakosta, dan merekalah yang pertama-tama menghormati tempat-tempat suci, batu-batu yang sebenarnya, tempat Yesus berjalan dan menderita hingga kematian-Nya. Keluarga-keluarga ini telah tinggal di Tanah Suci selama beberapa generasi.

Istilah ‘batu hidup’ secara biblis ditemukan dalam 1 Petrus 2:5. Batu hidup digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan hubungan aman dan intim yang dimiliki orang percaya dengan Yesus, yang sebelumnya digambarkan sebagai “Batu hidup’ pada 1 Petrus 2:4.

Bersama-sama, kedua ayat ini menggambarkan bagaimana Kristus dan para pengikut-Nya dipersatukan oleh Allah Sendiri: “Ketika kamu datang kepada-Nya, Batu hidup—yang ditolak oleh manusia tetapi dipilih oleh Allah dan berharga bagi-Nya—kamu pun, seperti batu hidup, sedang dibangun ke dalam rumah rohani untuk menjadi imamat kudus, mempersembahkan kurban rohani yang dapat diterima oleh Allah melalui Yesus Kristus” (1 Petrus 2:4–5).

Equestrian Order of the Holy Sepulchre of Jerusalem menulis bahwa fondasi pembangunan Allah adalah Putra-Nya, Yesus Kristus, “Batu hidup”. Selanjutnya, “batu hidup” adalah orang-orang percaya yang datang kepada Yesus dan meletakkan kehidupan mereka di atas landasan ini. Batu hidup itu “berharga” bagi mereka yang percaya (1 Petrus 2:7), namun sebagian orang menolak Batu hidup demi membangun kehidupan mereka dengan cara mereka sendiri, bukan dengan cara Allah (lihat Mazmur 118:22 dan Lukas 6:46 –49). Orang-orang yang tidak percaya membuang Batu Hidup ini, tidak peduli bahwa Yesus adalah satu-satunya fondasi yang benar yang di atasnya mereka dapat membangun dengan kokoh (1 Korintus 3:11).

Patriark Latin Yerusalem Pierbattista Pizzaballa mengadakan kunjungan pastoral ke Yerikho dengan melihat sekolah Katolik Santa Maria pada Januari 2024. (Dok. Patriarkat Latin Yerusalem)

Dalam metafora yang mirip dengan Batu hidup, Yesus digambarkan sebagai batu penjuru dalam Efesus 2:19–22. Petrus menyebut Yesus sebagai batu penjuru dalam Kisah Para Rasul 4:11–12, dengan menyatakan bahwa “keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, karena di kolong kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Tuhan tidak menerima siapa pun yang menolak menjadi bagian dari bangunan-Nya. Dan Tuhan sama seperti semua pembangun—Dia mempunyai fondasi yang di atasnya semua pekerja harus membangun (Matius 7:24-27).

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Maka orang-orang percaya adalah “batu hidup” gereja yang Yesus janjikan untuk dibangun (Matius 16:18). Sebagai batu hidup, kita mempunyai hidup baru di dalam Kristus (2 Korintus 5:17). Sebagai bagian integral dari pembangunan Allah, kita memiliki keamanan di dalam Kristus (Yohanes 6:37). Sebagai Ahli Bangunan, Tuhan menempatkan batu-batu hidup-Nya tepat di tempat yang Dia inginkan (1 Korintus 12:18). Sebagai batu hidup, kita terhubung satu sama lain dalam tubuh Kristus (Roma 12:5). Tuhan kita, Batu Fondasi, hidup selama-lamanya dan tidak akan pernah runtuh. Dia akan mendukung kita selamanya.

Petrus selanjutnya menggambarkan fungsi batu hidup: untuk “menyatakan pujian” kepada Dia yang memanggil kita keluar dari kegelapan dosa menuju terang kehidupan dan kemuliaan (1 Petrus 2:9). Inilah “deskripsi pekerjaan” dari sebuah batu hidup: seorang pembicara pujian, seorang pemberita kebenaran, kasih, dan cahaya. Rumah rohani yang dibangun Allah dirancang untuk kemuliaan-Nya, dan kita, sebagai batu hidup, memuliakan Tuhan dalam segala perbuatan kita (1 Korintus 10:31).

Pada Minggu sore tanggal 10 Mei 2009, Paus Benediktus XVI melakukan perjalanan ke “Betania di luar Sungai Yordan,” wilayah yang merupakan pusat aktivitas Yohanes Pembaptis dan kehidupan publik Yesus. Di sana Paus memberkati batu fondasi Gereja Latin dan Yunani-Melkite. Sebelum memberkati, Paus mengatakan, “Batu fondasi sebuah gereja adalah simbol Kristus. Gereja bersandar pada Kristus, ditopang oleh-Nya dan tidak dapat dipisahkan dari-Nya. Dia adalah satu-satunya fondasi setiap komunitas Kristiani… Bersama Dia, kita juga adalah batu hidup yang dibangun menjadi rumah rohani, tempat bersemayamnya Tuhan.”

Tugas Patriarkat

Selain kehadiran Fransiskan di Tanah Suci untuk menjaga batu yang hidup, Patriarkat Latin Yerusalem juga mengemban tugas yang sama di mana secara yuridis melayani umat Kristiani di wilayah Siprus, Yordania, Israel, dan Palestina. Patriarkat Latin didirikan kembali oleh Takhta Suci untuk lebih memperhatikan reksa pastoral dan kesinambungan dari umat Kristiani setempat.

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

“Sejak diaktifkan kembali fungsinya pada 1847, Patriarkat juga memiliki prioritas nomor satu untuk mendirikan seminari, mendidik para imam diosesan. Patriarkat ini bisa dikatakan seperti Keuskupan Agung,” jelas Komisaris Comisariat Terrae Sanctae-Indonesia (CTS-I), Pastor Robert Wowor, OFM.

Seminari menjadi penting bukan karena tidak ada imam, tetapi semua imam masuk Fransiskan dan sebagian besar imam datang dari Eropa. Untuk itu, Patriarkat ingin menghidupkan kembali Gereja lokal sambil menjaga kesinambungannya dengan mendirikan seminari lalu bekerja sama dengan beberapa kongregasi lain termasuk Jesuit dan Dominikan untuk mendirikan sekolah di sana.

Kini pewartaan di wilayah ini ditunjukkan lebih kepada umat Kristiani setempat yang sudah ada. Siapakah mereka? Pater Robby akrab disapa, menuturkan, mereka adalah orang-orang dari etnis Arab. Etnis Arab ini dibagi menjadi dua lagi, yakni Arab Palestina dan Arab berkewarganegaraan Israel. Sebagai contoh, umat Katolik yang ada di Betlehem adalah Arab Palestina sedangkan paroki terbesar saat ini ada di Nazaret yang umatnya adalah orang Arab berkewarganegaraan Israel. “Patriarkat Latin menggandeng semuanya, tidak peduli mereka warga negara Palestina atau Israel atau pilihan politik mereka apa sebab fokus Patriarkat adalah umat Kristen setempat,” tegasnya.

Belakangan, Patriarkat Latin Yerusalem juga menaruh perhatian kepada para imigran karena banyaknya gelombang kedatangan tenaga kerja asing. Mayoritas datang dari Eropa Timur dan Filipina dan sebagian Afrikan yang kebanyakan umat Katolik. “Dewasa ini Patriarkat pun memberikan perhatian khusus tentang imigran ini di mana dulu hanya penduduk setempat, yakni etnik Arab baik WN Palestina atau Israel,” ujarnya.

Kardinal Pertama Yerusalem

Setelah 4 tahun mengalami sede vacante dalam kepemimpinan Patriarkat Latin Yerusalem, akhirnya Paus Fransiskus secara resmi memercayakan kursi Patriark Latin Yerusalem kepada Mgr. Pierbattista Pizzaballa, OFM di tahun 2020. Ternyata pilihan ini dikritik oleh sebagian orang, yang menyayangkan Roma tidak menunjuk seorang patriark dari wilayah tersebut.

Berbeda dengan pendahulunya yang pada tahun 1987, Paus Yohanes Paulus II memilih Patriark Michel Sabbah, orang Arab Palestina pertama yang menyandang gelar Patriark Latin Yerusalem. Ia digantikan oleh Patriark Yordania, Fouad Twal pada tahun 2008, ditunjuk oleh Benediktus XVI.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Meskipun menerima kritik tetapi pada saat ketegangan antara Israel dan Palestina meningkat, Paus Fransiskus justru menunjuk Patriark Pizzaballa sebagai kardinal. Beberapa detik sebelum ia mengumumkan daftar kardinal baru, Bapa Suci menyampaikan seruan perdamaian di Tanah Suci dari jendela Istana Apostolik.

Oleh karena itu, pemilihan seorang kardinal untuk Tanah Suci menjadi sangat penting saat ini, bahkan jika calon kardinal tersebut bukan berasal dari wilayah tersebut. Lahir di Italia pada tahun 1965, Patriark Pizzaballa masuk Ordo Saudara Dina Fransiskan pada usia 19 tahun. Ditahbiskan pada tahun 1990 di Bologna, ia mengucapkan kaul kekal setahun sebelumnya. Ia juga mantan profesor Biblical Hebrew di Fakultas Ilmu Biblika dan Arkeologi Fransiskan di Yerusalem. Selama kurun waktu itu, ia mengawasi terjemahan Misale Romawi dalam bahasa Ibrani pada tahun 1995.

Pada tahun 2004, ia terpilih sebagai penjaga Tanah Suci (Kustos) – Provinsial Fransiskan setempat – dan terpilih kembali untuk jabatan yang sama pada tahun 2010 dan 2013. Dari tahun 2005 hingga 2008, ia juga menjabat sebagai Vikaris Patriarkat Patriarkat Yerusalem.

Pada tahun 2016, setelah pensiunnya Patriark Latin Yerusalem Fouad Twal – yang berasal dari Yordania – Paus menunjuk Mgr. Pizzaballa sebagai administrator apostolik Patriarkat, dan membiarkannya kosong. Salah satu tugasnya adalah menata ulang sebuah kantor yang pengelolaannya telah menimbulkan masalah keuangan yang serius. Ia mengambil tugas itu meskipun menghadapi sejumlah hambatan internal.

Baginya, penunjukkan sebagai kardinal karena Yerusalem memiliki dua posisi penting yakni keukuspan yang penting karena merupakan Gereja Induk serta secara spiritual dan terologis adalah jantung Gereja sebab semuanya lahir di sini.

“Pada saat yang sama, kita juga merupakan semacam peri-peri. Sebagai orang Kristen, kita hanyalah minoritas yang sangat kecil; Kita hidup di sebuah negara dengan situasi konflik yang sangat khas, di mana dialog antaragama dipertaruhkan, selalu mendapat tantangan dan pada saat yang sama, juga merupakan kehidupan kita bersama. Yerusalem semacam laboratorium dari sudut pandang agama,” pungkasnya.

Felicia Permata Hanggu

Majalah HIDUP, Edisi No.09 Tahun Ke-78, Minggu, 3 Maret 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles