HIDUPKATOLIK.COM – GEREJA dan politik adalah dua term yang saling mengandaikan dan meguatkan. Di satu pihak, Gereja hidup, tumbuh dan berkembang dalam sebuah lokus politik, di lain pihak, Gereja adalah zoon politicon itu sendiri yang hadir sebagai pelaku politik.
Ada catatan penting buat Gereja setelah perhelalatan akbar demokrasi kita di Indonesia yakni Pilpres. Catatan penting yang dimaksud adalah bagaimana masa depan Gereja pasca pilpres? Pertanyaan ini tidak serta merta muncul atau tidak datang dari ruang kosong. Pertanyaan ini sebenarnya adalah simpul dari keberpihakan Gereja pada saat Pilpres yang melahirkan polaraisasi yang tidak menguntungkan bagi Gereja, baik dari eksistensinya maupun misinya.
Kehadiran dan suara Gereja yang cenderung sporadis, juga melahirkan kecurigaan-kecurigaan bahwa Gereja tidak konsisten dalam menghadirkan dirinya sebagai zoon politicon. Gereja Indonesia terkesan Gereja Liturgis, terlalu banyak waktu untuk menyibukan diri dengan hal-hal liturgi lalu sering abai dengan kesaksian dan seruan kenabian terhadap berbagai realitas sosial yang banyak di antaranya juga tidak adil. Gemah Gereja Penetratio in Mundo, kiranya harus selalu diperbincangkan, diwacanakan sehingga gairah kesaksian dan usaha-usaha Gereja untuk menggarami dunia menjadi terasa dan berdampak.
Gereja dan Rasionalitas
Hemat saya, apapun situasi dan kondisi masyarakat saat ini dengan segala polarisasi politiknya, titik acu Gereja dalam berpolitik adalah rasionalitas. Kleden dalam Opini Harian Kompas, 5 Februari 2024 mengartikan pemilih rasional sebagai pemilih yang memperbincangkan, mendiskusikan dan mengkritisi berbagai program kerja para paslon presiden dan wakil presiden untuk menemukan kekuatan dan kerelevanan bagi kesejahteraan bangsa. Pemilih rasional adalah pemilih yang sanggup mengambil jarak dari segala ikatan simbolik yang tidak korelatif dengan kinerja dan kemajuan suatu bangsa.
Ikatan simbolik yang dimaksud di sini adalah ikatan agama, suku, idiologi dan segala bentuk relasi parsial yang bisa menyandra pemilih untuk bertindak tidak rasional. Pemilih rasional adalah pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam memaknai suatu informasi. Proses analisa dalam pemilih rasional mengedepankan data yang afirmatif dan majemuk.
Hemat saya, di sinilah letak lemah Gereja. Adanya arahan dari beberapa hierarki Gereja dalam berbagai media yang terbaca dan terlihat pada surat pastoral, youtube atau pun secara sembunyi-sembunyi dengan berbagai macam cara, untuk memilih paslon tertentu adalah suatu afirmasi bahwa Gereja sedang salah dalam memaknai sebuah informasi, yang juga lagi-lagi dalam hemat saya masih blur, problematis dan debateble. Kesalahan informasi ini pun ditopang dengan kekeliruaan pada pemaknaan yang simbolik untuk mendukung dan mempromosikan figur tertentu dan menolak figur lain dengan begitu lugas. Sebuah sikap yang tidak bijak karena lagi-lagi berdampak pada eksistensi dan misi Gereja itu sendiri.
Tetapi semuanya sudah terjadi dan selesai. Pilpres sudah selesai dan justru yang ditolak Gereja memenangkan perhelatan akbar ini. Kita berharap ini tidak berdampak serius pada Gereja. Kiranya ke depan, Gereja hendaknya lebih bijak dan awas dalam menyampaikan informasi sehingga tidak ikut menyulut api emosi yang sudah ada dalam polarisasi itu. Biarkanlah setiap orang memilih dengan kebebasan dan pengertiannya. Gereja cukup menyuarakan pesan-pesan moral yang universal, tanpa harus tendensius. Pesan moral pun perlu difilter, sehingga kata atau terma atau kalimat sering diucapkan belakangan ini selama kampanye untuk menyudutkan dan mendelegitimasi paslon tertentu jangan dimunculkan lagi. Tetapi justru di sinilah kealpaan Gereja.
“Kiranya ke depan, Gereja hendaknya lebih bijak dan awas dalam menyampaikan informasi….”
Dony Kleden CSsR, Rohaniwan dan Antropolog dari Universitas Katolik Weetebula, Sumba-NTT
Majalah HIDUP, Edisi No. 09, Tahun Ke-78, Minggu, 3 Maret 2024. Tulan ini ditanggapi Yanuar Nugroho dalam Edisi HIDUP, No.10 Tahun Ke-78, Minggu, 10 Maret 2024 (Gereja yang Harus Berpihak). Kedua tulisan ini kemudian ditanggapi oleh Ferry Sutrisna Wijaya dalam HIDUP, Edisi No. 11, Tahun Ke-78, Minggu, 17 Maret 2024 (Belajar Menghargai Pilihan Politik).
Ya, jika setelah Pilpres 2024 menuju Pilpres y.a.d. Gereja masih tak berubah alias seolah berpihak, tentu perlu dilakukan untuk sungguh menjadi Gereja, bukan organisasi profan.