HIDUPKATOLIK.COM – Seorang Pramudya Ananta Toer, sosok penulis terkenal, pernah mengatakan, “Kalau ingin abadi, menulislah”.
Seorang yang berani menuliskan ide-ide pemikirannya akan menyimpan semua hasil kreasi intelektualnya itu dalam keabadian. Saat ini, digitalisasi media memungkinkan untuk menyimpan seluruh jejak digital seseorang. Jika orang itu mati pun, seluruh ide dan buah pikirannya yang telah dituliskan akan tetap abadi. Hal ini tentu berbeda dengan situasi di masa lampau. Dulu ide ditulis dalam perkamen, kulit hewan, kertas zaman kuno, atau lontar. Sebuah ide akan abadi karena adanya tulisan.
Kalimat di atas dikatakan oleh Vikep Kategorial Keuskupan Agung Semarang (KAS), Pastor Johanes Dwi Harsanto dalam perayaan ekaristi bersama para penulis anggota Komunitas Penulis Deo Gratias (KPDG). Komunitas ini mengadakan perjumpaan dalam sebuah workshop penulisan buku, pada Sabtu-Minggu, 2-3 Maret 2024 di Wisma Pojok, Sleman, Yogyakarta. Kegiatan ini diikuti oleh 27 orang penulis dari berbagai tempat yang tergabung dalam komunitas ini.
Buku “Rumpun yang Merimbun” jilid II, ini seperti jilid sebelumnya akan menyajikan profil komunitas-komunitas kategorial yang tumbuh dan berkembang di KAS. Komunitas itu melayani umat dan Gereja dengan spiritualitas yang dibangun dan diarahkan bagi kemuliaan Tuhan. Kevikepan Kategorial KAS menemani dinamika komunitas itu agar perkembangannya tidak melenceng dari tujuan reksa pastoralnya.
Belajar dari proses penulisan di buku pertama, tim Kevikepan Kategorial KAS ingin meningkatkan kualitas proses dan hasilnya dengan meng-upgrade kapasitas dan kompetensi para penulisnya. Beberapa hal yang menjadi fokus penulisan buku ini adalah menggali pengalaman iman dalam keterlibatan umat melalui komunitas. Agar dapat menarik pengalaman reflektif itu diperlukan kemampuan mewawancarai narasumber dan menuliskannya dengan baik. Keberagaman gaya penulisan dan tim pendamping diharapkan akan menjadi warna cita rasa buku yang dihasilkan.
Dalam workshop itu, hadir sebagai pendamping adalah sastrawan, penulis, dan seniman Mateus Budi Sardjono. Ia berbagi pengalaman saat menulis buku biografi Pastor Charlie Burroes, OMI (Pastor Carolus, OMI), seorang misionaris dari Irlandia yang namanya begitu dikenal di Cilapap. Banyak orang mengatakan bahwa Kampung Laut dibangun Pastor Carolus. Jatuh bangun perjuangan Pastor Carolus yang dibukukan ternyata telah menginspirasi banyak orang untuk turut berbuat baik. Salah satu yang dikembangkan adalah sekolah inklusi, yaitu sekolah yang mencampurkan keberadaan anak penyandang disabilitas untuk belajar bersama anak normal. Anak yang disekolahkan di SLB justru sering terpuruk. Sebaliknya, saat anak-anak belajar dicampur ternyata mereka saling menginspirasi dan mampu berprestasi baik.
Selain mendapat pengayaan menulis yang menarik dan baik, peserta juga belajar teknik wawancara unuk menggali informasi dan data sumber penulisan. Proses ini digulirkan secara spontan dengan teknik role model yang dilakukan oleh dua orang peserta.
Pastor Santo mendukung para penulis untuk menyiapkan jilid kedua ini sebaik jilid pertama bahkan lebih. Romo Pastor mengatakan, “Saya mengapresiasi keberadaan para penulis yang membagikan tulisan dan kabar gembira kepada dunia. Ada banyak cara menyajikan karya tulis, selain dalam media tercetak, termasuk dengan membacakan tulisan melalui media sosial. Dari yang sudah tertulis, bisa dibacakan bagi orang lain dalam bentuk bacaan buku. Karena Injil adalah hal yang dituliskan, maka penulis meneruskan kisah para Rasul di zaman sekarang dengan tulisan yang mereka hasilkan.”.
Keabadian itu bagi kita dijamin oleh Yesus dalam Paskah dengan Tubuh-Nya sendiri yang tersaji dalam Ekaristi. Kita bersyukur karena abadi tubuh dan jiwa-Nya, sedangkan penulis bersyukur karena idenya abadi. Romo Santo mengakhiri pesannya dengan mengatakan, “Semangatlah dan teruslah menulis. Selama ada orang yang mengerti akan tetap ada yang membaca. Lanjutkan tugas menulis dengan sukacita seperti membangun bait Allah di tengah masyarakat dengan tulisan. Pasti ada banyak orang yang diubah karena membaca tulisan kita. Banyak orang tergerak oleh tulisan. Mari budayakan lagi menulis dan membaca, merekam agar abadi sebagai berkah bagi generasi mendatang”.
Veronika Murwaningsih, Kontributor, Yogyakarta