HIDUPKATOLIK.COM – Mereka diutus bukan pergi berdua-dua, tetapi sendirian. Mengarungi samudera dunia, mempertobatkan banyak orang sekaligus menguatkan tunas panggilan imam diosesan atau projo.
“SUARA saya sudah 98 tahun, sudah menipis. Waktu saya datang ke Vietnam, saya baru berusia 23 tahun 10 bulan. Sudah 75 tahun dan cepat sekali berlalu. Saya 25 tahun di Vietnam, diusir oleh Komunis. Lalu datang ke Indonesia tahun 1976,” ungkap Pastor Jean Felix Moriceau, MEP saat berbagi sepenggal kisah dalam perayaan ulang tahunnya ke-98 di Wisma Keuskupan Agung Palembang, 8 November 2023 silam.
Opung Jean demikian ia biasa disapa. Ia lahir di Sainte Anne sur Brivet, Perancis, 8 November 1925. Opung atau kakek menjadi panggilan kesayangan yang melekat sejak 1991 bagi imam anggota Société des Missions Étprangères de Paris (MEP) atau Serikat Misi Imam-imam Praja dari Paris.
Cinta Pertama
Pastor Jean lahir dari pasangan Francis Moriceau dan Anne Marie. Jean ingin menjadi imam sejak kecil. Ketika berusia 11 tahun, ia memutuskan masuk seminari dan ingin menjadi imam MEP, yang secara khusus melayani Gereja Katolik Asia. Ia ditahbiskan menjadi imam di Seminari MEP, Perancis pada 29 Mei 1949, setelah mendapat dispensasi dari Roma karena belum genap berusia 24 tahun. Saat ditahbiskan ia baru berumur 23 tahun 5 bulan.
Lima bulan setelahnya, bersama 17 imam MEP ia diutus untuk berkarya ke Vietnam. Pada 27 September 1949 mereka berangkat dari Paris dan tiba di Vietnam 1 Oktober 1949. Sebagai imam muda, dengan penuh semangat ia memulai perutusan baru di tanah misi yang sekaligus menjadi cinta pertamanya sebagai imam di tengah umat. Setelah 25 tahun ia berkarya di tengah umat, suku-suku asli di Vietnam juga di sekitar Kota Saigon, ia bersama para imam menerima kenyataan pahit. Mereka diusir keluar oleh pemerintah Komunis.
Kenyataan itu tak membuatnya patah arang, cintanya pada Gereja Katolik Asia tetap teguh. Pada 30 November 1976 bersama dua rekannya, yaitu Pastor Maurice Le Coutour, MEP dan Pastor François Darricau, MEP datang dan mulai berkarya di Indonesia. Mereka mengawali karya di Paroki St. Petrus dan Paulus Baturaja, Sumatera Selatan serta mengunjungi Paroki Sang Penebus Batuputih. Mereka tinggal bersama para pastor Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) di komunitas Panti Asuhan Rumah Yusup Baturaja. Sambil melayani umat, mereka juga belajar Bahasa Indonesia.
Karyanya di Keuskupan Agung Palembang tak perlu diragukan lagi. Sejak kehadirannya di Baturaja seluruh hidupnya ia persembahkan bagi pelayanan umat. Berbagai tugas dibebankan di atas pundaknya, semua dilaksanakan dengan baik. Setelah purna pelayanannya di Lubuk Linggau, ia kembali ke Paroki Curup dan memilih tinggal di Stasi St. Fransiskus Asisi Sindang Jati, menempati ruang sakristi yang relatif sempit. Pada April 1997, ia kembali ke Curup.
Sejak 15 Maret 2000, Opung Jean mulai tinggal menetap di Sindang Jati. Suasana alam dengan perbukitan hijau dan suasana akrab tinggal di tengah umat yang ia alami bersama cinta pertamanya, umat di Vietnam, menjadi salah satu alasannya memilih untuk tinggal di Sindang. Ia memprakarsai pembangunan gedung Rumah Retret Sindang Jati yang kemudian menjadi tempat tinggalnya hingga akhir hayat.
Pada Minggu, 21 Januari 2024 pukul 01.58 WIB ia menghembuskan nafas terakhirnya di Ruang ICU Charitas Hospital Palembang. Ia meninggal tak lama setelah sahabatnya dalam perutusan di Asia, Pastor Marcel Arnould, MEP yang lama bertugas di Belitung juga meninggal di Paris Sabtu, 20 Januari 2024.
Pemberian Diri
Selain Pastor Jean, cerita yang sama datang dari imam MEP terakhir di Indonesia, Pastor Paul Billaud, MEP. Pastor Paul kini berkarya di wilayah Stasi Hanura, Paroki Katedral Kristus Raja, Tanjungkarang. Medio Maret 1978, ia diutus ke Indonesia bersama 5 imam MEP yaitu Ferdinando Pecoraro, MEP; Joseph Gourdon, MEP; dan Vincent Le Baron, MEP di Keuskupan Tanjungkarang. Sementara Christian Wittwer, MEP di Keuskupan Padang.
Pastor Paul mengatakan MEP tiba di Indonesia sudah sejak tahun 1976 – 1982 yaitu Pastor Roger Bianchetti dan Pastor Georges Aballain di Keuskupan Atambua. Tetapi Indonesia pernah masuk wilayah misi MEP jauh sebelumnya. Dua pastor MEP sempat mengunjungi Nias, tetapi beberapa minggu kemudian meninggal dan kuburannya masih ada sampai hari ini di Nias. “Sejak misionaris MEP diusir dari beberapa negara di Asia, Indonesia menjadi negara pilihan yang tepat karena bahasanya tidak sulit juga para uskup mendukung.”
Pastor Paul sebenarnya sudah diberitahukan wilayah misi sebelum ke Indonesia yaitu Laos. Lagi-lagi karena Komunis berkuasa akhirnya Pastor Paul mendarat di Indonesia, sebuah daerah misi yang baru. “Maka saya tidak punya metode misi apapun selain datang dengan iman saja dan percaya bahwa akan diterima,” sebutnya.
Ia mengisahkan bahwa hal pertama yang dibuat adalah memperkuat kosakata Bahasa Indonesia, sambil mengenal adat istiadat setempat, dan mengamati karakter orang Indonesia. Hadir menyapa mereka, memberi perhatian, mendengarkan saja tanpa berkata apapun. Kadang-kadang Pastor Paul dianggap aneh karena selalu mendengarkan, tanpa berbicara.
MEP adalah projo yang yang berkarya di daerah misi. Maka MEP pada umumnya tidak mempunyai karya-karya khusus, tetapi bermisi di bawah pimpinan uskup setempat. Jadi sebagai bagian dari presbyterium, dan ‘setia’ kepada satu keuskupan. Fokus utama misi MEP selain evangelisasi tetapi juga agar semakin banyak anak muda pribumi tertarik menjadi imam Praja. “MEP melihat sebuah situasi saat itu bahwa setelah penjajahan, para misionaris Eropa akan kembali dan tentu Gereja Indonesia kesulitan soal tenaga pastoral. MEP berusaha agar Gereja setempat bisa mencetak imam-imam MEP yang unggul,” ujar Pastor Paul.
Di Tanjungkarang sendiri banyak imam SCJ dan tarekat atau kongregasi lain yang berkarya waktu itu, tetapi imam diosesan belum ada. Baru tahun 1978, ditahbiskan satu orang imam. “Saya sendiri punya harapan selain Gereja lokal itu bertumbuh dengan hadirnya banyak imam diosesan sebagai jantung hati keuskupan. Kami setia kepada uskup dan semua yang kami miliki, termasuk gedung atau pun rumah yang kami bangun milik keuskupan.”
MEP memiliki semangat bekerja untuk evangelisasi dengan dasar pelayanan adalah Injil dan Kristus sendiri dalam kebersamaan dengan uskup dan umat setempat. Demi misi ini, MEP dekat dekat orang muda dan menanamkan bibit panggilan kepada mereka. Memberi inspirasi agar semakin banyak orang menjadi imam Praja.
MEP setia merayakan Ekaristi dan mendaraskan Doa Ibadat Haria setiap hari. MEP tidak memiliki biara, atau rumah khusus. Biara kami adalah tinggal bersama umat. “Kami diutus bukan pergi berdua-dua, tetapi pergi sendirian. Mengarungi samudera dunia, mempertobatkan banyak orang sekaligus memberi perhatian pada tunas-tunas panggilan bagi imam diosesan,” demikian Pastor Paul.
Yustinus Hendro Wuarmanuk/Laporan Pastor Titus Jatra Kelana (Kontributor, Palembang)
Majalah HIDUP, Edisi No. 08, Tahun Ke-78, Minggu, 25 Februari 2024