web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Gestis Verbisque: Menjaga Keabsahan Sakramen

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COMSEORANG imam di Arizona, Amerika Serikat mengundurkan diri setelah diketahui selama lebih dari dua puluh tahun melakukan pelayanan Sakramen Baptis dengan cara yang salah. Dalam pembaptisan yang dilakukannya, ia tidak mengucapkan kalimat yang sesuai tatanan liturgi Katolik Roma, yaitu “Aku membaptis engkau dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.“ Bisa dibayangkan, selama lebih dari dua puluh tahun, berapa orang yang telah ia baptis dan pembaptisan ini tidak dapat dianggap sah karena melanggar aturan forma sacramenti dalam sakramen yang tidak dapat diubah.

Penulis sendiri pernah memiliki pengalaman seputar pelanggaran forma sacramenti (forma/rumusan kata-kata konsekratoris) dan penyimpangan liturgi. Penulis mengikuti retret yang dipimpin seorang imam dari suatu kongregasi asal Jerman, yang diketahui kemudian imam itu termasuk satu dari sekitar 120 imam yang menyatakan diri sebagai gay. Dalam perayaan Ekaristi yang dipimpinnya, imam itu tidak menggunakan buku Missale Romanum yang semestinya digunakan saat Doa Syukur Agung.

Ia mengucapkan Doa Syukur Agung versi kreativitasnya sendiri dan melakukan beberapa tindakan yang tidak sesuai dengan tatanan liturgi. Tindakan tersebut misalnya Liturgi Sabda yang hanya dilakukan dengan satu bacaan (pada Hari Minggu), Bacaan Injil dilakukan oleh awam (perempuan), pemecahan roti dilakukan bersamaan saat Doa Syukur Agung, dan sebagainya. Berhari-hari penulis berdebat dengan imam tersebut, yang diketahui telah bertahun-tahun melakukan praktik tersebut. Imam itu tetap melakukannya dengan mengatakan itu adalah kebebasannya.

Validitas Sakramen

Dari dua peristiwa di atas, jelas bahwa Sakramen Baptis dan Sakramen Ekaristi yang dirayakan kedua imam tersebut menjadi tidak sah (Bdk. Redemptionis Sacramentum No.51-52). Hal ini akibat terjadinya pelanggaran pada materia dan/atau forma dalam sakramen yang merupakan syarat mutlak keabsahan suatu sakramen.

Materia sakramen terdiri dari tindakan manusia yang melaluinya Kristus bertindak. Di dalamnya kadang-kadang ada unsur material (air, roti, anggur, minyak), pada saat yang lain ada gerakan yang sangat nyata (tanda salib, penumpangan tangan, pencelupan, pengucuran, pengakuan, pengurapan).

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Forma sakramen dibentuk oleh kata-kata. Forma ini mengubah dari makna biasa elemen material dan makna yang murni manusiawi dari tindakan yang dilakukan menjadi bermakna transenden.

 Dokumen-dokumen

Gereja Katolik memiliki beberapa dokumen panduan dalam pelaksanaan perayaan sakramen dan liturgi, yaitu Sacrosanctum Concilium (Konsili Suci, konstitusi tentang Liturgi Suci – Dokumen Konsili Vatikan II), Katekismus Gereja Katolik, Redemptionis Sacramentum (Sakramen Penebusan).

Pada tanggal 3 Februari 2024 lalu, Dicastery for The Doctrine of The Faith (Dikasteri Ajaran Iman) mengeluarkan catatan berjudul Gestis Verbisque (Materia dan Forma) yang menegaskan kembali bahwa demi keabsahan/validitas suatu sakramen, maka materia sacramenti (materi/tindakan) dan forma sacramenti (forma/rumusan kata-kata konsekratoris) tidak dapat diubah atas inisiatif sendiri (tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan Takhta Apostolik).

Catatan ini dirasa mendesak dan perlu dikeluarkan dalam menghadapi semakin banyaknya penyimpangan liturgi yang terjadi dalam pelayanan sakramen. Lebih disayangkan lagi, hal itu justru dilakukan oleh para imam yang semestinya tahu dan semestinya dapat mengarahkan umat pada perayaan liturgi dan sakramen yang benar.

Catatan Gestis Verbisque dibahas dan disetujui dengan suara bulat oleh para kardinal dan uskup yang merupakan Anggota Dikasteri dan hadir pada Sidang Pleno. Catatan setebal 11 halaman yang ditulis dalam Bahasa Italia ini pun langsung disetujui Paus Fransiskus.

Hal ini menegaskan kembali bahwa rumusan dan unsur material yang ditetapkan dalam ritus esensial setiap sakramen tidak dapat diubah sesuka hati atas nama kreativitas. Kenyataannya, melakukan hal ini menjadikan sakramen itu sendiri tidak sah. Oleh karena itu, rahmat sakramental tidak pernah ada dan tidak ada rahmat sakramental yang dianugerahkan.

Pembukaan Pleno

Paus Fransiskus membuka sidang pleno Dikasteri Ajaran Iman dengan ceramah yang menyatakan bahwa Sacrosanctum Concilium masih tetap relevan sejak dikeluarkan enam puluh tahun lalu. Isinya, kata Paus Fransiskus, merupakan keinginan yang tepat untuk mereformasi Gereja dalam dimensi fundamentalnya, untuk membuat kehidupan umat beriman Kristiani semakin bertumbuh setiap hari, untuk menyesuaikan institusi-institusi yang rentan terhadap perubahan dengan lebih baik terhadap kebutuhan zaman, untuk memupuk hal-hal yang dapat memberikan kontribusi pada persatuan semua orang yang beriman kepada Kristus untuk menghidupkan kembali hal-hal yang berfungsi untuk memanggil semua orang ke dalam Gereja.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Saat menyampaikan catatan tersebut, Kardinal Victor Fernández, Prefek Dikasteri Ajaran Iman, menjelaskan bahwa terjadi peningkatan jumlah situasi di mana perlu untuk menyatakan invaliditas sakramen-sakramen yang dirayakan karena adanya modifikasi yang kemudian mengarah pada kebutuhan untuk melacak individu-individu yang terlibat untuk mengulangi ritus pembaptisan atau krisma dan sejumlah besar umat beriman telah dengan tepat menyatakan kegelisahan mereka. Walaupun dalam bidang lain dalam tindakan pastoral Gereja terdapat banyak ruang untuk kreativitas, dalam bidang perayaan sakramental hal ini berubah menjadi kehendak manipulatif.

Sayangnya, perlu dicatat bahwa perayaan liturgi, khususnya sakramen, tidak selalu dilaksanakan sesuai dengan ritus yang ditentukan oleh Gereja. Merupakan tugas Gereja untuk memastikan prioritas tindakan Allah dan menjaga kesatuan Tubuh Kristus dalam tindakan-tindakan yang tidak ada bandingannya karena tindakan-tindakan tersebut adalah sakral par excellence dengan kelayakan yang dijamin oleh tindakan imamat Kristus.

Kardinal Fernández mengatakan, “Gereja juga sadar bahwa memberikan rahmat Allah tidak berarti mengambilnya, namun menjadi alat Roh dalam menyalurkan karunia Kristus yang bangkit.” Ia mengetahui bahwa kekuasaannya (potestas) sehubungan dengan sakramen-sakramen berakhir pada substansinya dan bahwa dalam tindakan sakramental ia harus melestarikan tindakan penyelamatan yang dipercayakan Yesus kepadanya.

Tidak Dapat Diubah

Dalam Gestis Verbisque, dijelaskan bahwa materi sakramen terdiri dari tindakan manusia yang melaluinya Kristus bertindak, juga terdapat unsur material (misalnya air, roti, anggur, minyak), di lain waktu terdapat isyarat yang sangat fasih (tanda salib, penumpangan tangan, pencelupan, persetujuan, pengurapan).

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Bentuk sakramen terdiri dari kata, yang memberikan makna transenden pada materi, mengubah makna biasa dari unsur material dan makna murni manusiawi atas tindakan yang dilakukan. Kata-kata seperti itu selalu mendapat inspirasi dalam berbagai tingkatan dari Kitab Suci, berasal dari tradisi Gereja yang hidup, dan telah ditetapkan secara otoritatif oleh Magisterium Gereja.

Maka materi dan forma tidak pernah dan tidak dapat bergantung pada kehendak individu atau komunitas individu (tidak dapat diubah sesuka hati atas nama kebebasan atau kreativitas).

Catatan tersebut menegaskan kembali bahwa untuk semua sakramen, ketaatan akan materi dan forma selalu diperlukan demi keabsahan perayaan, dengan kesadaran bahwa perubahan sewenang-wenang terhadap salah satu dan/atau yang lain — yang berat dan tidak sah. Penyimpangan liturgi dalam pelayanan sakramen membahayakan penganugerahan rahmat sakramental yang sebenarnya, yang jelas-jelas merugikan umat beriman. Apa yang dibaca dalam buku-buku liturgi yang telah ditetapkan harus ditaati dengan setia tanpa menambahkan, menghapus, atau mengubah apa pun.

Liturgi memungkinkan adanya keragaman yang menjaga Gereja dari “keseragaman yang kaku,” sebagaimana dibaca dalam Sacrosanctum Concilium. Akan tetapi, keragaman dan kreativitas yang mendorong kejelasan ritus dan partisipasi aktif umat beriman, tidaklah tepat jika diterapkan pada hal-hal yang penting dalam perayaan Sakramen.

Pelanggaran materia dan forma jelas membuat sakramen tidak sah (invalid), sedangkan penyimpangan liturgi tidak menyebabkan sakramen invalid, tapi mengurangi penghormatan keluhuran sakramen itu sendiri.

Penyimpangan liturgi dalam pelayanan sakramen membahayakan penganugerahan rahmat sakramental yang sebenarnya, yang jelas-jelas merugikan umat beriman.

Sr. Bene Xavier, Biarawati MSsR tinggal di Wina, Austria

Majalah HIDUP, Edisi No.08, Tahun Ke-78, Minggu, 25 Februari 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles