HIDUPKATOLIK.COM – Dalam pidatonya pada Sesi ke-55 Dewan Hak Asasi Manusia, Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB dan Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa, Mgr. Ettore Balestrero mendesak pembaruan upaya internasional untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung, termasuk kebebasan beragama.
Hak asasi manusia, termasuk pelanggaran terhadap kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama, terus dilanggar dalam skala yang mengkuatirkan di seluruh dunia, kata Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB dan Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa pada hari Rabu (28/2).
Berbicara pada Sesi ke-55 Dewan Hak Asasi Manusia, yang dimulai pada tanggal 26 Februari, Balestrero, mengatakan bahwa diskriminasi dan penganiayaan terhadap umat beriman sedang meningkat di seluruh dunia.
Ia mengutip data dari Yayasan Kepausan Aid to the Church in Need yang menunjukkan bahwa kebebasan beragama dilanggar di hampir sepertiga negara di dunia, dan berdampak pada sekitar 4,9 miliar orang.
Mantan Nunsius untuk Republik Demokratik Kongo (RDC) juga menyesalkan bahwa di beberapa negara Barat, “diskriminasi dan sensor agama dilakukan dengan kedok ‘toleransi dan inklusi’.”
“Perundang-undangan yang awalnya ditujukan untuk memerangi ‘perkataan yang mendorong kebencian’, sering kali diinstrumentasikan untuk menantang hak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama, sehingga mengarah pada penyensoran dan ‘pernyataan yang dipaksakan’.”
Melindungi martabat pribadi manusia
Mengenai topik umum yang dibahas pada sesi tersebut, Ballestrero menggarisbawahi bahwa dalam mengupayakan kerja sama internasional yang “lebih efektif”, sebagaimana diserukan oleh Paus Fransiskus untuk mengatasi tantangan-tantangan saat ini di dunia multipolar, “terutama untuk mengkonsolidasikan rasa hormat terhadap hal-hal yang paling mendasar: hak asasi manusia”, fokusnya harus tetap pada martabat pribadi manusia, yang merupakan landasan perdamaian, sebagaimana dinyatakan pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) tahun 1948.
Untuk meningkatkan diplomasi multilateral, katanya, penting untuk “menjunjung tinggi nilai-nilai yang berakar pada martabat manusia”. Hal ini pada gilirannya memerlukan “pembangunan kembali visi bersama tentang sifat bawaan kita.”
“Kita tidak bisa memisahkan apa yang baik dari apa yang benar dan apa yang sudah mengakar dalam sifat kemanusiaan kita.”
AI dan perlindungan HAM
Martabat manusia, lanjut Balestrero, juga harus menjadi pedoman dalam pengembangan dan penggunaan kecerdasan buatan (AI).
“Kemajuan di bidang ini harus menghormati hak asasi manusia dan harus mengabdi, bukan bersaing dengan, potensi manusia kita,” katanya. “Pengembangan kecerdasan buatan hanya dapat dianggap berhasil jika kita bertindak secara bertanggung jawab dan menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan.”
“Penghormatan terhadap martabat manusia mengharuskan kita menolak segala upaya untuk mereduksi keunikan pribadi manusia untuk diidentifikasi atau direduksi menjadi sebuah algoritma atau sekumpulan data, dan bahwa kita tidak mengizinkan sistem canggih untuk secara mandiri menentukan nasib umat manusia.”
Ballestrero melanjutkan dengan mengatakan bahwa banyak tantangan yang kita hadapi saat ini berasal dari “kurangnya rasa hormat terhadap martabat manusia dan kegagalan untuk mengakui keterhubungan kita.”
“Hak-hak baru” mengancam martabat dan persaudaraan manusia
Beliau mengenang upaya-upaya untuk memperkenalkan apa yang disebut “hak-hak baru” yang mempertanyakan kesakralan setiap kehidupan manusia, dan “tidak selalu sejalan dengan apa yang benar-benar baik bagi pribadi manusia”.
“Hak-hak baru ini,” kata Nuncio, telah mengarah pada apa yang Paus Fransiskus sebut sebagai “kolonisasi ideologis” yang merendahkan martabat manusia, serta persaudaraan manusia, karena hal-hal tersebut menciptakan “perpecahan antara budaya, masyarakat, dan negara, bukannya memupuk persatuan dan perdamaian.”
“Masyarakat kita harus terus bangkit atas dasar pemahaman yang benar tentang persaudaraan universal dan penghormatan terhadap kesakralan setiap kehidupan manusia, setiap pria dan setiap wanita, orang miskin, orang lanjut usia, anak-anak, orang lemah, bayi dalam kandungan, dan orang-orang yang belum lahir, pengangguran, orang terlantar, mereka yang dianggap siap pakai karena mereka hanya dianggap sebagai bagian dari statistik.’”
“Persaudaraan universal merupakan syarat penting bagi realisasi penuh hak asasi manusia di dunia saat ini,” demikian kesimpulan Pengamat Vatikan. “Ketika kita gagal untuk mengakui bahwa kita semua saling terhubung, kita semua menderita.”
Lisa Zengarini (Vatican News)/Frans de Sales