HIDUPKATOLIK.COM – Sesudah ditahbiskan, hasratnya terfokus pada pelayanan dan perjuangan membela yang tertindas dari injakan kaum komunis.
SEKELOMPOK gerilyawan komunis memblokade jalan menuju sebuah Gereja Katolik di Pazin, Kroasia, Minggu, 24 Agustus 1947. Mereka melakukan aksi brutal dengan mencaci, mengutuk, dan mengancam umat yang bersikukuh mengikuti perayaan Ekaristi.
Merasa aksinya tak diindahkan, mereka menerjang masuk ke lingkungan gereja dan langsung menuju sakristi. Di sana mereka mendapati Miroslav Bulešić, seorang imam muda yang akan memimpin Misa.
Pastor yang membantu memberikan pelayanan sakramental di Paroki Pazin itu menjadi sasaran banalitas gerilyawan komunis. Mereka menghujani sang pastor dengan pukulan hingga raga sang gembala itu tumbang berlumur darah di lantai.
Saat tubuh Bulešić terbujur lemah, aksi gerilyawan itu justru kian beringas. Seorang gerilyawan menghunus sebilah pisau. Secepat kilat pisau itu ditikamkan tepat di tenggorokan sang pastor. Darah segar menyembur ke dinding dan terserak di lantai.
Umat yang menyaksikan kebiadaban itu mengisahkan, Pastor Bulešić melewati sakratul maut sembari berseru dua kali: “Yesus, terimalah jiwaku!”. Usai merapalkan kerinduan jiwanya yang paling dalam, Pastor Bulešić menghembuskan nafas terakhir pada usia belum genap 27 tahun.
Jejak Guru
Miroslav Bulešić lahir di Čabrunići, Istria, Kroasia, 13 Mei 1920. Sepuluh hari kemudian, orangtuanya –Butkovic Miho dan Lucija – membawanya ke Gereja Juršići untuk dibaptis. Sejak kecil ia sudah menunjukkan kobaran semangat dalam hidup rohaninya. Ia belajar berdoa dan mengenal iman Katolik melalui bimbingan orangtuanya. Ia pun “melahap” buku doa karya mendiang Uskup Trieste e Capodistria (Koper), Italia, Mgr. Juraj Dobrila (1812-1882): “Oče, budi volja tvoja” (Bapa, Terjadilah menurut Kehendak-Mu).
Kala masih duduk di sekolah dasar, Bulešić kagum dengan semangat dan metode mengajar guru agamanya, Pastor Ivan Pavic. Kualitas sang guru memotivasinya untuk bermimpi mengikuti jejaknya. Impian itu membatin dalam hatinya, menjadi imam dan pewarta Kabar Gembira. Menginjak usia 10 tahun, ia memulai peziarahan sebagai calon imam di seminari.
Gayung bersambut. Pastor Ivan ditugaskan sebagai formator di seminari di mana Bulešić digembleng sebagai calon gembala. Selama delapan tahun di Seminari Koper ia mengenal Bulešić sebagai seminaris yang berwawasan luas dan rajin mengembangkan hidup rohaninya. Dalam rekomendasinya kepada Uskup Poreč i Pula, Kroasia, Mgr Trifone Pederzolli (1864-1941), Pastor Ivan memuji Bulešić sebagai pemuda yang luar biasa, cerdas, jujur, pendoa, dan murah hati. Lantaran penilaian itu, Mgr. Pederzolli mengirim Bulešić untuk melanjutkan studi filsafat dan teologi di Universitas Gregoriana, Roma.
Formasi selama empat tahun di jantung kekatolikan ini kian mengembangkan kerohanian dan intelektualitasnya. Bahkan Bulešić memperoleh kesempatan istimewa untuk merayakan Ekaristi bersama Paus Pius XII (1876-1958) di Basilika St Petrus. Misa itu bertepatan dengan Peringatan St Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa.
Lekat dalam memori Bulešić, Paus mohon perlindungan Bunda Maria bagi umat manusia yang sedang dirundung Perang Dunia II (1939-1945). Pengalaman ini menjadi salah satu pemantik kobaran api semangatnya untuk berbuat sesuatu bagi perdamaian dunia.
Memberi Diri
Perang Dunia yang kian dahsyat memaksa Uskup Poreč i Pula yang baru, Mgr. Raffaele Mario Radossi, OFMConv (1887-1972) menarik Bulešić kembali ke tanah airnya. Di tengah perseteruan dunia yang kian memanas, Bulešić menerima tahbisan imamat di Paroki Ofsvetvinčenat, Istria, 11 April 1943, dengan moto tahbisan “Datanglah Kerajaan-Mu! Terjadilah menurut Kehendak-Mu”.
Dalam buku hariannya ia melukiskan peristiwa tahbisannya demikian, “Ibu, Bapa dan Saudara-saudaraku menangis. Tentu mereka punya alasan mengapa menangis. Putra dan saudara mereka telah mati. Kini ia bukan lagi milik mereka, tapi milik Tuhan.”
Pastor Bulešić menerima perutusan perdana di Paroki Baderna, medan kerasulan yang sangat menantang. Sering terjadi perang terbuka antara pendukung komunisme melawan fasisme. Situasi ini justru membentuk Bulešić menjadi seorang gembala yang berkomitmen kuat untuk melayani sesama.
Dalam suratnya kepada Pastor Ivan pada Mei 1944, ia menulis refleksinya sebagai imam muda di Baderna, “Di antara orang-orang menderita, kita dibutuhkan menjadi orang Samaria yang murah hati: menghibur, menyembuhkan, mengangkat, dan membalut luka mereka.”
Dengan berani dan tak kenal lelah, Pastor Bulešić mendedikasikan diri dalam pelayanan sakramental bagi umat dan karya sosial di masyarakat umum. Baginya, semua manusia sama sebagai citra Allah. Ia tak pernah mengingkari iman Katolik dan imamatnya di tengah maraknya ideologi yang mendiskreditkan Gereja dan para imamnya. Ia sadar, ketegasan dan keterbukaan ini tentu punya implikasi negatif.
Meski demikian, nyala semangatnya tak pernah redup karena rasa takut. “Jika Engkau ingin aku datang kepada-Mu, aku siap. Aku menyerahkan seluruh hidup bagi ‘domba-dombaku’. Aku percaya akan rahmat-Mu. Jika Engkau merasa aku layak bagi-Mu, aku tak takut mati karena-Mu,” tulisnya.
Demi Kristus
Usai dua tahun merasul di Paroki Baderna, Pastor Bulešić berpindah tugas ke Paroki Kanfanar pada 1945. Di ladang baru ini, ia secara kreatif menganimasi kehidupan rohani umatnya. Upaya ini ia tempuh untuk menangkal hegemoni kaum ateis militan yang mengintimidasi orang untuk meninggalkan keyakinannya.
Beragam kegiatan ia lakoni, misalnya mengajar katekismus kepada anak-anak, memberi ceramah dalam komunitas kecil, menggiatkan kerasulan di kalangan orang muda, mendorong umat berdevosi kepada Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria, mengorganisir kegiatan misi, dan rajin berkhotbah dalam pelbagai kesempatan. Secara khusus ia mempersembahkan hatinya kepada umat miskin.
Imam muda yang dikenal murah hati ini dalam sekejab bisa berubah garang ketika hak masyarakat untuk mengekspresikan imannya dipasung. Pastor Bulešić berani memperjuangkan kebebasan beragama bagi semua orang.
Ia tercatat sebagai salah seorang imam yang antiprogram “Rancangan Lima Tahun”, modus propaganda komunisme di Kroasia. Program itu mewajibkan warga untuk tetap bekerja pada hari Minggu; melarang pendidikan agama di sekolah; membelenggu ruang gerak dan mengebiri peranan Gereja dalam masyarakat.
Tak pelak, aksi sang pastor memperuncing antipati kaum komunis atas dirinya. Ia termasuk dalam target operasi eliminasi, yang mengancam nyawanya. Tiga bulan menjelang wafatnya, ia mengatakan dengan tegas di hadapan para seminaris, “Menjadi imam berarti siap menjadi martir!”
Akhirnya, dirinya sendiri menjadi bukti dan saksi iman dengan menumpahkan darah demi Kristus. Pasca wafatnya, Pastor Bulešić dikenang sebagai figur gembala yang berani membagikan cintanya kepada sesama yang tertindas tanpa memandang latar belakangnya. Keutamaan hidup dan perjuangannya berujung mahkota kemartiran dengan mati sahid di tangan kaum komunis.
Pada 27 Agustus 1997 Paus Yohanes Paulus II menggelarinya Venerabilis. Setelah itu, dekrit kemartirannya mendapat pengakuan resmi dari Vatikan pada 12 Februari 2013. Paus Benediktus XVI menganugerahkan gelar Beato padanya. Namun Misa beatifikasi martir Kroasia ini baru digelar pada masa Paus Fransiskus, 28 September 2013. Pestanya diperingati tiap 24 Agustus.
Yusti H. Wuarmanuk